RAHASIA DI BALIK AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR
Muhammad Abdul Qadir dalam bukunya Amar Ma’ruf Nahi Munkar mengatakan bahwa makna ma’ruf menurut timbangan syari’at Islam adalah setiap i’tikad (keyakinan), perbuatan (‘amal), perkataan (qawl), atau isyarat yang telah diakui oleh al-Syâri’ Yang Maha Bijaksana dan diperintahkan sebagai bentuk kewajiban (wujȗb) maupun dorongan (nadb). Jadi, ma’ruf disini berarti al-khayr (kebaikan). Oleh karena itu, amar ma’ruf berarti perintah atau dorongan untuk menjalankan perkara-perkara yangma’rȗf (kebaikan), yang dituntut atau didorong oleh aqidah dan syariat Islam. Sebaliknya, yang dinamakan dengan munkar menurut timbangan syariat Islam adalah setiap i’tikad (keyakinan/keimanan), perbuatan (‘amal), ucapan (qawl) yang diingkari oleh al-Syâri’ Yang Mahabijaksana dan harus dijauhi.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang di lahirkan untuk manusia,” Al-Kalabi telah mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung keterangan yang menyebutkan tentang keadaan umat dalam hal keutamaannya, diatas umat-umat yang lain. Di dalamnya terkandung dalil yang menunjukan bahwa Islam secara mutlak adalah umat yang paling baik. Kebaikan ini dimiliki secara merata diantara generasi pertama dari umat ini hingga generasi terakhirnya, bila dibandingkan dengan umat-umat yang lain, meskipun diantara sesamanya terdapat perbedaan, dalam hal keutamaan, sebagaimana dalam dalil yang menunjukan keutamaan para sahabat di atas golongan yang lain. Pengertianukhrijat yang berarti dilahirkan untuk manusia guna memberi manfaat dan maslahat kepada mereka dan semua generasinya, sehingga umat ini berbeda dan dikenal oleh umat lainnya.
Firman Allah SWT yang selanjutnya yang menyebutkan “Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Merupakan kalimat baru yang mengandung penjelasan tentang ciri khas yang membuat mereka menjadi umat yang terbaik, selama mereka berpegang teguh dan memelihara ciri khasnya tersebut. Namun, apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar-nya, maka akan lenyaplah predikat itu dari mereka. Dan Allah menjadikan mereka sebaik-baik umat bagi manusia karena mereka selalu memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran, dan mereka memerangi orang-orang kafir agar masuk Islam, sehingga keberadaan mereka dirasakan manfaatnya oleh selain mereka. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw: “ Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”Adapun menurut riwayat Ibnu Abbas r.a. dan sejumlah Tabi’in adalah umat yang paling baik dan paling berguna bagi umat lainnya. Oleh karena itu, Allah berfirman “ kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”
Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, Dia berkata “seseorang bangkit dan menuju Nabi ketika di mimbar, lalu bertanya ‘ ya Rasulullah siapakah manusia yang paling baik? beliau bersabda: ‘manusia yang paling baik adalah yang paling tenang, paling bertaqwa, paling giat menyuruh kepada yang ma’ruf, paling gencar melarang kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi. Taghyîr al-munkar (mengubah kemungkaran) adalah kewajiban atas setiap Muslim. Hanya saja, caranya telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya: jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim].
Hadis itu terkait dengan sifat-sifat seseorang tatkala mengubah kemungkaran. Orang yang hendak mengubah kemungkaran berhak mengubahnya dengan berbagai cara yang dapat melenyapkan kemungkaran tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan (tangan). Jika seseorang memiliki dugaan kuat (yakni jika diubah dengan tangan akan muncul kemungkaran yang lebih besar lagi, seperti menyebabkan resiko akan dibunuh atau orang lain bakal terbunuh karena perbuatannya), cukuplah mengubah kemungkaran itu dilakukan dengan lisan, diberi nasihat dan peringatan. Jika ia merasa khawatir bahwa ucapannya itu bisa berakibat pada resiko yang sama. Cukuplah diingkari dengan hati. Itulah yang dimaksud hadits tersebut (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim).
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan atau kekuatan adalah tugas mereka yang memiliki kekuasaan, Sedangkan mengubah kemunkaran dengan lisan adalah tugasnya para ulama, adapun dengan hati adalah reaksi dari kalangan awam atau orang yang hanya bisa mendoakan agar kemunkaran itu enyah dari hadapannya. Ulama yang lain ada yang mengatakan setiap yang mampu melakukannya atau memiliki kekuasaan untuk mencegahnya maka sudah menjadi keharusan baginya untuk mengubah kemunkaran itu sesuai dengan kemampuan dirinya.
Hudzaifah r.a. telah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya mereka lebih suka bila bersama dengan bangkai keledai daripada seorang mukmin yang memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran. Musa a.s. berkata “Wahai Rabbku, apakah balasan yang mengajak saudaranya untuk mengerjakan kebajikan dan mencegahnya melakukan kemunkaran?” Allah berfirman, “Aku akan mencatatkan baginya untuk setiap kalimat yang diucapkannya sama dengan pahala ibadah satu tahun dan aku malu bila mengazabnya dengan neraka-Ku.”
Dalam sebuah hadits Qudsi di sebutkan bahwa Allah SWT telah berfirman “Hai anak Adam, janganlah kamu termasuk orang yang menangguh-nangguhkan taubatnya dan berangan-angan panjang, sehingga pulang ke akhirat tanpa membawa suatu amal apapun.” Ucapan yang dikeluarkannya bagaikan ahli ibadah namun sepakterjangnya sama dengan orang munafik, jika diberi merasa kurang puas, jika tidak diberi tidak sabar untuk segera menerima. Berpura-pura menyukai orang-orang saleh, padahal ia bukan termasuk golongan mereka dan berpura-pura membenci orang-orang munafik, padahal ia termasuk salah seorang dari mereka. Suka memerintahkan kepada kebaikan namun ia sendiri tidak pernah melakukannya, dan melarang perbuatan yang buruk padahal ia sendiri tidak pernah berhenti melakukannya. Naudzubillahi min dzalik!
Diriwayatkan melalui sahabat Rasul ‘Ali karramallahu wajhah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “ kelak di akhir zaman akan datang suatu kaum yang usia mereka masih muda-muda, wawasan pengetahuan mereka tentang agama dangkal, mereka suka mengeluarkan kalam sebaik-baik makhluk, namun hanya di mulut saja tidak sampai masuk kedalam hatinya, mereka keluar dari agama secepat anak panah menembus sasarannya. Rasulullah sewaktu di isra’kan oleh Allah SWT ke langit, beliau melihat sejumlah kaum laki-laki yang lidah mereka dipotong dengan gunting api, lalu beliau bertanya kepada Jibril. “Hai Jibril, siapakah mereka?” ‘Jibril menjawab, “Mereka adalah tukang ceramah dari kaummu yang suka memerintahkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan mereka sendiri melalaikannya.”
Allah menegur keras sikap mereka yang demikian itu, sebagaimana firmannya:Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat) maka tidakkah kamu berpikir? (QS. al-Baqarah [2]: 44), di ayat yang lain Allah juga telah menegaskan “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS al- Shaff [61]: 2-4). Ayat ini menjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang paham tentang agama tapi sifat dan tingkah lakunya tidak berbeda jauh dengan binatang, tidakkah kita berpikir?
Sahabat Rasulullah yang bernama Anas r.a. telah bertanya kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerintahkan kepada kebaikan agar kami dapat mengerjakan semuanya, dan bolehkah kami mencegah kemungkaran agar kami agar menghindari semuanya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan perintahkanlah kepada kebaikan, meskipun kamu masih belum mengamalkan keseluruhannya dan cegahlah kemungkaran meskipun kamu masih belum dapat menghindari seluruhnya.” Hal ini lain halnya dengan para penceramah yang memotong lidah mereka sendiri lantaran mereka menyuruh tapi mereka sendiri tidak pernah mengerjakannya (ta’mur wala ta’mal).
Jadi, sudah seharusnya tugas amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah tugas bagi kita semua selaku muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, Rasulullah saw telah bersabda: “Tidaklah suatu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak melaksanakannya, melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka. (HR. Tirmidzi)
Oleh karena itu pantaslah bila kita sering mendapatkan teguran-teguran dari Allah, mulai dari tsunami, lumpur Lapindo, gunung meletus dan sebagainya, mungkin entah musibah apalagi yang akan menimpa negeri kita. Ini tak lain adalah sebuah peringatan bahwa sesungguhnya kemunkaran itu telah tejadi di mana-mana, tetapi tak pernah ada yang menyuruh kepada yang ma’ruf. Allah telah mengingatkan bagi kita melalui bencana alam oleh karena itu sudah semestinya kit bersama-sama bertafakkur dan bertaubat atas kelalaian yang pernah kita lakukan agar semua siksa yang Allah ratakan tidak terjadi lagi. Marilah kita sama-sama kembali ke jalan Allah SWT dengan mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dengan menanamkan kesabaran dalam diri serta percaya dengan adanya pahala dari Allah SWT, karena sesungguhnya barang siapa yang percaya dengan adanya pahala dari Allah niscaya tidak akan merasakan gangguan menyakitkan yang menimpa diri kita. Semoga kita termasuk orang-orang yang bertaqwa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu’alam bi al-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar