''Memahami Takdir Dengan Benar''
Keimanan
seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir
adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun
takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat
berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat
beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait
masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk
memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.
Antara Qodho’ dan Qodar
Dalam
pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua
istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika
disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala
disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna
qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka
qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada
makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan
terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah
ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu
kemudian disusul dengan qodho’.[2]
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca
yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan
terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus
diimani oleh setiap muslim.
Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala
mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu
yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata
maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah
maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah
Ta’ala.
Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam
lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak
ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah
tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ
ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}
“Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ
لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا
تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ
وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[3]
Ketiga:
Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang
terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik
yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun
di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu
perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
Keempat:
Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala
sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi.
Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta
sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan
Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ
خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ
مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ
اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan
segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah
kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”
(QS.
Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]
Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya
Beriman
dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan
kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan
realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk
melakukan sesuatu.
Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}
“Itulah
hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia
menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.”
(QS. An Nabaa’:39)
نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}
“Isteri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al
Baqoroh:223)
Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,
فَاتَّقُوا
اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا
لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
{16}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk
dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. At Taghobun :16)
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)
Sedangkan
realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa
dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan
kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa
membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti
berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti
gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu
terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah
berfirman,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya
adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang
tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]
Macam-Macam Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:
[1]
Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi
ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}
“Katakanlah:
“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada
Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan
takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum
penciptaan langit dan bumi”[6]
[2] Takdir Kitaabah. Yakni
pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku
Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,
} وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ
مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ
تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً
مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS.
Al A’raaf 172-173).
[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah
ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis
kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah
ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala
berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ
الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ
مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ
وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ
لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً
فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ
مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}
“Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah
kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula)
di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)
[5] Takdir Hauli.
Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah
menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah
berfirman,
حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ
كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا
مُرْسِلِينَ {5}
“Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang
menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam
itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang
besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus
rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)
[5] Takdir Yaumi. Yakni pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,
يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}
“Semua
yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia
dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari
Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah
membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami
bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah
bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan
meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara
prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al
Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah
beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan
Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana
bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah
Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan
As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu
meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka
mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak
menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan
makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya.
Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.
Kelompok
yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir.
Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam
menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam
perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan
semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam
perbuatannya.[8]
Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai
takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman
Allah ‘Azza wa Jalla,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)
Pada ayat (yang
artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang
lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah
menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki
kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh
Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk
Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena Allah
mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir
terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang
baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang
buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini
kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan
dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka
yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan
takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun
perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan
dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang
ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk
lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
Seseorang yang
terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan
tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran
kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu
yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi
(pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil
perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi
adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir
yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun
terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
Namun
yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di
satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain.
Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}
“Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan
yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu,
keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki,
karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]
Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian
orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya
pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini
adalah kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita
untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila
kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita
inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya
sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ
تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ
اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah
atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan
engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau
katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi
hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang
telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya)
dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
Pertama:
Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak
bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung
pada takdir Allah.
Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya
sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan
merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan
keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman
terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat
tersebut.
Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir
Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya
sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang
dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah
berfirman,
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي
أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ
عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ
وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]
[1]
Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan
miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan
jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama.
UNTUK MENGETAHUI SUMBER KETERANGAN INI SILAHKAN BUKA DAN LIHAT DI...: ?????
[2]
Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin
Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah.
Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[3] HR. Muslim 2653.
[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.
[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6] HR. Muslim
[7]
Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad
Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M
[8]
Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as
Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[9]
Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan.
Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.
[11] HR. Muslim 2664
[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.
[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.
(DI TULIS DAN DI TERJEMAHKAN OLEH : FAFA AL-FAQIER AL-KHAQIER AL-DHO'IF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar