Total Tayangan Halaman

Minggu, 24 November 2013

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI

bismillahirrokhmanirrokhim....

HUKUM TAKLIFI


A.    PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI
Menurut bahasa, hukum taklifi adalah hukum pemberian beban. Menurut istilah, hukum taklifi adalah ketentuan Allah swt. yang menuntut mukalaf (baligh dan berakal sehat) untuk melakukuan atau meninggalkan suatu perbuatan .
Pembagian-pembagian hukum taklifi, hukum Taklifi dibagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunnah, haram , makruh ,dan mubah.
1 . Wajib (Al-Ijab)
Wajib menurut Syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.
Contoh melalui lafadz :
Artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diajibkan atas orang-orang sebelum kamu.
Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
1).Wajib dari segi waktu
a. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
b.Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
2).Wajib dari segi orang yang mengerjakan
a.Wajib ‘aini
yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain. Contoh : sholat, puasa
b .Wajib kafai
yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau sakah seorang adayang mengerjakan gugur kewajiban yang lain. Contoh sholat mayit , amar ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.
3).Wajib dari segi kadar tuntutan .
a . Wajib Mukhaddat
yaitu perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang di wajibkan dan mukallaf dianggap belum melaksanakan kewajiban sebelum melaksanakan seperti apa yang diwajibkan syara’. Contoh sholat, zakat, dan lainnya.
b. Wajib Ghoiru Mukhaddat
yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan waktunya , san diwajibkan atas mukallaf tanpa paksaan. Contoh infaq dijalan Alloh ,menolong orang kelaparan, dan lainnya.
4).Wajib juga dibagi menjadi Mua’yan dan Mukhoyar
a. Mua’yan
yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
b. Mukhoyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
2. Sunnah /( An-Nadb)
Sunnah  adalah suatu perkara yang perintahkan oleh syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya .
Sighatnya mandub dapat diketahui dengan lafadznya seperti kata disunnahkan / dianjurkan atau sighot amar, tapi ditemui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu tidak keras.
Contoh ayat
Artinya : Hai orang – orang beriman, apabila kamu hutang piutang tidak secara tunai hendaklah kamu melunasinya.
Dalam ayat lain diterangkan :
Artinya : Maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu menulisnya.
Dari lafadz yang kedua diketahui melunasi hutang itu hanya mandub.
Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
1.     Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
2.     Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
3.     Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
3. Haram (At-Tahrim)
Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau dikerjakan mendapat aiksa kalau ditinggalkan mendapat pahala. Contoh ayat
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji.
Haram dibagi dua yaitu:
1.     Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
2.     Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.
4. Makruh (Al- Karahah)
Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.
Contoh ayat:
Artinya : Hai orang –orang yang beriman jangalah menanya hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
1.     Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
2.     Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
5. Mubah (Al-Ibahah)
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk memilih atau meninggalkannya .
Contoh ayat
Artinya : Dan apabila kamu telah menunaikan ibadah haji maka bolehlah berburu.
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
1.     Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
2.     Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
3.     Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
Lima macam hukum taklifi yang diterangkan diatas adalah pembagian menurut jumhurul ulama, namun menurut ulama hanafiyah dibagi menjadi tujuh. Tiga perkara yang dituntut ialah: fardlu, wajib, mandub, dan tiga perkara yang dilarang yaitu: haram, makruh tanzih, makruh tahrim, dan bagian yang ketujuh adalah mubah.
Perkara dikatakan fardlu bila dalil yang menunjukkannya dari Al Quran dan sunnah yang mutawatir, seperti sholat. Tapi kalau diterangkan dari nash dhonni seperti hadist ahad qiyas dianamakan wajib seperti bacaan fatihah dalam sholat. Kalau tuntutan tidak keras di namakan mandzub kalau larangannya keras dan dalilnya khot’I seperti Al-Quran dan Sunnah mutawatir dinamakan haram, contoh zina. Kalau dalilnya dzanni dinamakan karohiatuttahrim, kalau tidak keras dinamakn karohiatuttahrim tamzih, dan kalau tidak diterangkan hukumnya dinamakan mubah.
B.KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM TAKLIFI

a. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.

b. Fungsi Hukum Taklifi
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.
sumber tulisan: KITAB SYARAH WARAQAT '' karya imam HAROMAIN''  dalam bab hukum-hukum fiqih yang 7.
 di terjemahkan oleh : (Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) zainal mustofa Al-bustani...

wallahu a'lam bi showab...semoga bermanfa'at...

Masalah Madzhab


Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Mazhab artinya jalan. Dalam masalah agama sering disebut aliran. Sebenarnya banyak sekali aliran dan mazhab yang dikenal dalam sejarah Islam. Sejak masa sahabat dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang agama, setiap pendapat lalu disebut dengan istilah mazhab, maka di sana terkenal  mazhab Aisyah, mazhab Adbullah bin Umar, mazhab Abdullah bin Masud dll.

Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 mazhab terkenal yang pendapat mereka dikodifikasikan oleh para pengikut mereka, termasuk di dalamnya mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Selanjutnya mazhab empat tersebut yang  yang paling populer di kalangan umat Islam sunni serta mendapatkan perhatian intelektual yang sangat besar dari para pengikutnya.

Mazhab selain mazhab empat yang juga cukup populer dan benyak pengikutnya adalah Dawud al-Zahiri, Zainul Abidin (dari syiah), Ja'far Shadiq dan Jabir bin Zaid (Ibadliyah)

Sebenarnya tidak ada keharusan bermazhab dalam agama, demikian juga tidak ada keharusan mengikuti mazhab empat. Yang menjadi kewajiban adalah mengikuti al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya secara benar.

Bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, hadist, Ijma' dll., namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.

Pada zaman sekarang ini, pengaruh mazhab ini sedemikian populer dan kuat di kalangan umat Islam, sehingga tidak satu komunitas pun yang sebenarnya bebas mazhab. Ini karena agama yang dianut oleh komunitas tertentu sudah pasti diambil atau dipengaruhi oleh salah  satu mazhab yang ada. Contohnya dalam masyarakat kita Indonesia, meskipun ada yang mengklaim tidak menggunakan mazhab, namun dalam praktiknya tetap saja secara ritual dan tata cara beribadah masyarakat kita cenderung mengikuti mazhab syafi'i, karena melalui mazhab inilah masyarakat Indonesia mengenal Islam. Masyarakat Saudi Arabia juga demikian, meskipun diklaim tidak bermazhab, namun praktiknya mereka menerapkan mazhab Hanbali, karena masyarakatnya mengenal Islam melalui mazhab Hanbali.

Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan masalah bermadzhab, yaitu ijtihad, taqlid dan talfiq.

1. Ijtihad

Ijtihad didefinisikan sebagai "upaya untuk menemukan hukum-hukum shariah (agama). Untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para ulama membuat beberapa persyaratan, yaitu :
1. Mengetahui arti ayat-ayat al-qur'an, baik dari segi bahasa maupun hukum.
2. Mengetahui hadist-hadist hukum, dan mengetahui maksudnya dari segi bahasa maupun hukum.
3. Mengetahui masalah nasikh dan mansukh (abrogasi dalam hukum qur'an dan hadist)
4. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah terjadi konsensus para ulama mengenai hukumnya.
5. Mengetahui masalah analogi hukum Islam.
6. mengetahui bahasa Arab.
7. Mengetahui methodologi pengambilan hukum islam.
8. Mengetahui maqasid shariah (filsafat hukum Islam).

Itjihad dalam masalah-masalah agama senantiasa terbuka sampai kapan pun. Memang sering kita dengar isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup, tapi kalau mau kita sadari, itu adalah isu yang menyesatkan, karena menutup pintu ijtihad sama saja dengan melarang orang berfikir. Agama Islam adalah agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar. Imam Baghawi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu untuk bisa mencapai tingkat ijtihad hukumnya fardlu kifayah. Bila dalam satu masa, tidak ada orang yang mau mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihad maka, berdosalah seluruh umat Islam yang hidup pada saat  itu.

Mencari solusi hukum islam untuk permasalahan-permasalahan baru di zaman sekarang juga termasuk ijtihad.

Ijtihad dibuka dalam segala bidang, termasuk dalam masalah-masalah ritual dan fiqh. Hanya yang perlu diketahui di sini adalah ijtihad dengan cara, metodologi dan etika yang benar, sesuai dengan dalil-dalil yang ada.

2. Taqlid

Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar seindiri, sangat dicela dalam agama.

Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah  furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.

Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan  tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai.

Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan. Kerugiannya, antara
lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik. Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,
aplagi bila kondisi tidak memungkinkan.

Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.

3. Talfiq

Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq. Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan kepada talfiq. Talfiq didefinisikan : mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakannya. Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama. Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidak lah termasuk talfiq.

Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang perlu diperhatikan adalah sbb :
1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah seorang ulama. Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.

2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil.
3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah diketahui atau diyakini kelemahnya.
4. Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil mazhab Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian mengikuti mazhab Hanafi dalam masalah tidak batal memegang kemaluan, padahal tanpa mengetahui dalil masing-masing dan hanya bermazhab buta atau taqlid.

Wallahu a'lam bi showab....
(Zainal mustofa) Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if

Bahan bacaan :
Usulul Fiqh al-Islami, Wahbah Zahaily, teheran 1997.

*Madzhab Qauli dan Manhaji*

*Madzhab Qauli dan Manhaji*

Para Ulama memperkenalkan dua system bermadzhab, yakni:
 1. Madzhab qauli, adalah mencari hukum suatu masalah dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang sudah di dalam beberapa kitab madzhab tersebut.
 2. Madzhab manhaji, yakni memecahkan problem hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra' (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab.

OPO THO JANE SING JENENGANE TALFIQ KUWI....?????

TALFIQ

bismillahirrokhmanirrokhim..... 
  1. Definisi Talfiq
Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan. Adapun “talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ushul fiqh adalah :

اَلْعَمَلُ فِى الْمَسْأَلَةِ بِحُكْمٍ مُؤَ لَّفٍ مِنْ مَجْمُوْعِ مَذْ هَبَيْنِ اَوْ أَكْثَرَ.
“Beramal dalam suatu masalah dengan hukum yang terdiri dari kumpulan (gabungan) dari dua madzhab atau lebih. Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul al-fiqh:
Pertama, Talfiq berarti mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampur adukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.
Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .
Keempat, Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab . contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:

  1. Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudhu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudhu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudhu’nya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok.
  2.  Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudhu’ ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun. Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:
    1. Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapatimam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.
    2. Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi’iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj’i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju’nya bil fi’li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.

  1. Ruang Lingkup Talfiq
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhanniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:


  1. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah, karena dalam masalah ibadah seperti initujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.
  2. Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat mudharat. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
  3. Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.

  1. Sudut Pandang Ulama Tentang Talfiq
Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama‘ terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :
Pertama, kelompok yang tidak membolehkan adanya talfiq, kelompok ini diwakili oleh syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang awam tidak boleh bertalfiq, karena hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif (pembebanan) hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama.
Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali. Beliau melarang praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu. Beliau menyitir ayat al-Quran yang berbunyi :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt.
Kedua, kelompok yang membolehkan praktik talfiq, diantaranya adalah sebagian ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i serta Abu Hanifah: mereka membolehkan talfiq dengan alasan bahwa larangan talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara‘, karenanya seorang mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan. Selain itu, ada hadits Nabi (qauliyah maupun fi‘liyah) yang menunjukkan bolehnya talfiq. Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Aisyah, Nabi bersabda: ” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “. Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.
‘Izzuddin Bin Abdi al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil rukhsah beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan.
Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak ada qoul (pendapat) yang membolehkan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada beberapa klasifikasi talfiq yang perlu diperhatikan. Pertama, talfiq batal secara esensi, seperti melakukan sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang yang haram, seperti menghalalkan khamr, zina dan lainnya. Kedua, talfiq yang dilarang bukan pada esensinya, tetapi karena faktor eksternal. Dalam kasus kedua ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Mengambil pendapat yang mudah-mudah seperti mengambil pendapat setiap mazhab yang termudah bukan karena dharurat atau ‘udzur. Hal ini dilarang agar seseorang tidak melepaskan diri dari pembebanan-pembebanan syar’i.
  2. Talfiq tidak boleh berlawanan dengan keputusan hakim.
  3. Talfiq tidak boleh mencabut kembali hukum atau keputusan yang telah diikuti atau disepakati ulama.
Alhasil, demi kemaslahatan, sebenarnya masih ada ruang untuk talfiq. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi dharurat, maka talfiq menjadi satu-satu pilihan yang mesti kita tempuh asal jangan sampai bertentangan dengan spirit syara‘(maqashid al-syari’ah). Yang penting, praktik talfiq bukan sekedar untuk mengambil kemudahan saja, tetapi bertujuan agar keluar dari jeratan kemudharatan.

Wallahu a'lam bi showab.... semoga bermanfa'at. aamien...

(Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) 

Pengertian Mazhab

Ngaji yuuuk....??????? bersama santri kasab... '' alias ngaji nyambi kerjo....

Apa itu Mazhab ? Pengertian Mazhab bisa dibagi 2. Ada arti menurut bahasa, ada arti menurut istilah. Berdasarkan bahasa atau dilihat dari kosa kata, mazhab merupakan bentuk isim makan dari kata “dzahaba”, artinya jalan atau tempat yang dilalui, sedangkan menurut istilah ulama ahli fiqih, mazhab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai.

Lebih lengkapnya pengertian mazhab menurut fiqih adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum sesuatu masalah yang belum ditegaskan oleh nash. Jadi, masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad ini adalah yang termasuk kategori dzonni atau prasangka, bukan hal yang qoth’i atau pasti. Jadi tidak benar kalau ada istilah hukum shalat 5 waktu adalah wajib menurut mazhab Syafi’i, karena hukum shalat wajib termasuk kategori qoth’i yang tidak bisa dibantah wajibnya oleh mazhab manapun. Berbeda jika masalah yang dihadapi tentang hal-hal yang asalnya masih samar seperti hukum menyentuh kulit wanita yang bukan muhrim. Karena perbedaan pandangan itulah, maka terjadi perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam lainnya. Hasilnya dinamakan ijtihad Imam Syafi’i yang pasti berbeda dengan ijtihad Imam Hanafi dan Imam lainnya yang menentukan batal atau tidaknya wudhu ketika menyentuh wanita muhrim.

Nah, bagi seorang yang mampu berijtihad dalam menghadapi suatu masalah, maka dia boleh berijtihad dan melaksanakan hasil ijtihad yang ia lakukan, sedangkan bagi mereka yang tidak mampu melakukanijtihad atau orang awam, maka ia harus mengikuti hasil ijtihad dari salah seorang mujtahid yang ia percayai. Hal ini sejalan dengan Al Qura’an surat An-Nahl ayat 42 43, yang artinya “Bertanyalah kepada ahli dzikri/ulama jika kamu tidak mengerti”.

Menurut Abu Hasan Alkayya, bermazhab ini hukumnya wajib bagi :
1. Orang awam
2. Ulama/ahli fiqih yang belum mencapai derajat mujtahid.

Mengapa bermazhab itu wajib ? Karena jika diperbolehkan untuk tidak bermazhab atau bermazhab tapi mengambil mazhab sana sini (talfiq), maka pasti kaum muslimin akan mengambil aturan-aturan yang ringan dan mudah saja dan hal ini akan membawa akibat lepasnya tuntutan taklif.



itu sekilas pengertian tentang MADZHAB. semoga bermanfa'at, aamien....


(Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if)

PENGERTIAN TAQLID



PENGERTIAN TAQLID

      Kata taqlid (ﺗﻗﻟﻴﺪ ) berasal dari fi’il madhi (kata dasar) ﺗﻗﻟﺪ  dan ﻗﻟﺪ   yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah ( ﻗﻼﺪﺓ  ), sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya, ﻗﻼﺪﺓ (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Di antara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:

1.      Al-Ghazali memberikan definisi:
ﻗﺑﻮﻞ ﻗﻮﻞ ﺑﻼ ﺣﺟﺔ
Menerima ucapan tanpa hujjah.

2.      Dr. Zakiyyuddin Tsa’ban menta’rifkan Taqlid sbb:
ﺍﻟﺗﻗﻟﻴﺪ ﻫﻮﺍﻷﺧﺫ ﺑﻗﻮﻝ ﺍﻠﻐﻴﺮﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺪﻟﻴﻠﻪ
                   Taqlid ialah, menerima/mengikuti perkataan orang lain tanpa mengatahui dari mana sumber perkataan itu.
3.      Amir Bad Syah dalam Tafsir At-Tahrir mengartikan taqlid dengan:
ﺍﻟﻌﻣﻝ ﺑﻗﻭﻝ ﺍﻟﻐﻴﺮﻣﻦ ﻏﻴﺮﺣﺟﺔ
                 Beramal dengan pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar hukumnya.

                        Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas, dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu:
1.      Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2.      Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3.      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.


Referensi :

·         Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Ciputat: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001.
·         Ahmad Abd. Madjid, Ushul Fiqh, Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, 1994. 
·         Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah, Surabaya: CV. Anika Bahagia, 1995.
INI ADALAH SEKELUMIT PENGERTIAN ATAU TA'RIF MENGENAI (TAQLID) 
wallahu a'lam bi showab.....
semoga bermanfa'at,aamien.... 
(Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) zainal mustofa

PENGERTIAN FIQIH DAN USHUL FIQIH

PENGERTIAN FIQIH DAN USHUL FIQIH

Untuk pembahasan fiqih ini, saya mengambil rujukan dari buku fiqih dan ushul fiqih antara lain karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin dan Drs. H. A. Syafi’i karim dan referensi dari internet. Saya harap meski ada dari kita yang tidak bisa membaca literature bahasa asing terutama bahasa Arab, yang memang mayoritas sumber agama islam berbahasa Arab. Namun kita masih bisa mempelajari ilmu agama termasuk fiqih dengan membaca literatur terjemahan atau karya ulama Indonesia. Apapun kendalanya, dalam belajar semua bisa dipelajari melalui proses dan usaha yang keras, dan yakin bisa.

Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat erat kaitannya dengan istilah syari’ah. Karena hakikatnya fiqih adalah jabaran praktis dari syari’ah. Karenanya, sebelum membahas pengertian fiqih, terlebih dahulu dijelaskan arti syari’ah.

Secara etimologis (lughawi) syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir digunakan orang Arab sampai sekarang. Kata syari’ah muncul dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti pada surat al-Ma’idah: 48, al-Syura: 13, dan al-Jatsiyah: 18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut syari’ah, dalam arti lughawi, karena umat islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syari’ah dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syari’ah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. 

Menurut para ulama, definisi syari’ah adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak. Maka syari’ah itu adalah nama bagi hukum –hukum yang bersifat amaliah.

Pengertian Fiqih
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”

Hadits Nabi :
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).

Menurut bahasa “fiqih” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sinilah ditarik perkataan fiqih, yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Jadi, Fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Definisi fiqih secara umum, ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau hokum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.

Pengertian Ushul Fiqih
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”. Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu sebagai hasil dari kesimpulan pikiran manusia. Maka ushul fiqih adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, definisi ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).

Sedangkan definisi ushul fiqih menurut Abdul Wahab Khalaf, adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan (Atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan ) yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dari dalil-dalilnya secara rinci. 
 
ini adalah sekelumit pengertian tentang fiqih dan ushul fiqih....
semoga bisa bermanfa'at untuk kita semua yg masih ingin sllu tholabul ilmi... aamien...
wallahu a'lam bi showab... 
 
(Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) zainal mustofa

TENTANG QAWAID FIQHIYYAH

(PPMM) KEPEL-AMPEL-WULUHAN-JEMBER-JAWATIMUR 8-JANUARI-2013
(JTM) JAM'IYYAH TALAMIDZIL MA'AKHID
FORUM BAHSUL MASA'IL KANG SANTRI SE JAWATIMUR 
Bismillahirrokhmanirrokhim......

PENDAHULUAN
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
Dalam makalah ini tidak akan membahas keseluruhan kaidah tersebut, akan tetapi hanya akan membahas enam kaidah saja, diantaranya:
  1. الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
  2. الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
  3. الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
  4. اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز (Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)
  5. الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن (Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Yang Terdekat)
  6. اذا تعذر الاصل يصار الى البدل ( Apabila Sukar Menggunakan Hukum Asal Maka Bisa Menjadikan Penggantinya Sebagai Hukum)
Demikian sekedar penjelasan dari makalah kami, semoga dapat diteliti dengan baik dan tanggung jawab juga bermanfaat untuk kita semua amien.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
A. Pengertian
kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam relasi sosial maupun indifidualnya adalah keterlepasannya dari tanggung jawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak indifidu dengan hak indifidu lainnya. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa, pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai dengan kondisi asal.
Kontruksi kaidah ini berasal dari hadis Nabi saw, yang berbunyi:
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه . رواه و مسلم و أبو داود و الترمذى والنسائ و ابن ماجه و أحمد
Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
B. Indikasi Dalil
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a alaih) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, terdakwa adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan” (menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya.
Kewajiban mendatangkan saksi bagi pendakwa dan keharusan bersumpah bagi terdakwa diatas, berlaku selama tidak bertentangan denagn kenyataan yang tampak (al-zhahir). Al-zhahir, dalam persoalan ini bisa dilihat atau difahami dari makna eksplisit maupun implisit. Misalkan ada seorang lelaki bernama Zaini yang mendakwa Aisyah yang telah dewasa, bahwa orang tua Aisyah telah menikahkannya dengan Zaini sebelum meminta izin kepada Aisyah. Pada awalnya, Zaini memang telah meminang Aisyah dan pinangan itu diterima oleh orang tua Aisyah, bahkan orang tuanya langsung mengikatnya melalui tali pernikahan. Ketika orang tua Aisyah menyampaikan perihal pernikahannya itu, wanita pemalu ini hanya diam saja. Padahal diamnya Aisyah bukan karena ia menerima pernikahan sepihak itu, melainkan lebih disebabkan oleh karakter pribadinya yang memang pendiam.
Tak lama berselang, datanglah Zaini yang mendakwa kesediaan Aisyah untuk menjadi istrinya. Padahal hati Aisya sama sekali tidak tertarik pada pemuda ini. Karena itulah, Aisyah akhirnya memberanikan diri untuk menjawab sebagai dakwaan atas dakwaan Zaini. Dia secara tegas mengatakan: “Aku menolaknya”. Nah, dalam kasus ini, yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. Sebab, sekalipuin Zaini berpegang pada hukum asal berupa tiadanya penolakan Aisyah, namun karena ucapan Aisyah sesuai dengan realitas yang tampak (zhahir), yakni, bahwa diri Aisyah belum dimiliki oleh siapapun yang juga merupakan hukum asal, maka yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. 
2. Kaidah الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
Sub-kaidah ini menandaskan, bahwa, pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai tidak memiliki hak apa-apa, sebelum hak tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah:
a.Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal, bahwa ia belum memperoleh keuntungan atau sudah mendapat keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu yang dibenarkan karena dari awal adanya ikatan mudlarabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedang keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).
b.Seseorang makan makanan milik orang lain, ia mengatakan bahwa pemiliknya telah mengizinkan, padahal pemilik makanan itu mengingkarinya. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum yang asal, makan makanan orang lain itu tidak boleh.
c.Usman berhutang kepada Umar dan mengaku telah membayar, sebaliknya Umar mengatakan bahwa, hutang itu belum dilunasi. Dalam hal ini keingkaran Umar yang dibenarkan, sebab menurut asalnya, memang belum adanya pelunasan.  
3. Kaidah الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
Definisi
Dalam bahasa Arab dikenal istilah haqiqah dan majaz, yang memiliki kemiripan dengan makna hakiki dan makna kiasan dalam bahasa Indonesia, walaupun tidak sama persis. Haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya tanpa ada pembiasaan. Sedangkan majaz adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna kedua). Tema ini akan sangat penting untuk dikaji karena berkaitan dengan hukum formal, terutama bagi mereka yang tahu betul tentang bahasa Arab, walaupun tema kita ini tidak berkutat pada orang Arab atau yang berbahasa Arab saja.
Dalam bahasa Arab, kata-kata selamanya tidak akan berubah dari makna haqiqah menjadi makna majaz, selama tidak ada hal-hal yang menuntut kearah perubahan itu. Diantara hal-hal yang mengantarkan sebuah kata pada makna majaz-nya adalah apabila hati seseorang akan lebih cepat menangkap makna majaz dibandingkan makna haqiqahnya. Contoh kemudahan penangkapan makna majaz adalah seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan makan pohon. Ucapan seperti ini secara spontan akan dapat dipahami sesuai dengan makna majaz-nya, yakni memakan buah yang dihasilkan oleh pohon itu. Sehingga orang tersebut tidak akan dianggap melanggar sumpah kecuali memakan buahnya.
Sedangkan contoh-contoh pemaknaan kata yang belum membias ke makna majaz (masih dalam lingkup haqiqah) adalah sebagai berikut:
  • Orang yang besumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan penjualan apapun. Dengan sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah ketika mewakilkan penjualan dan pembeliannya itu pada orang lain. Menurut Al Suyuthi, hal ini karena ucapan tersebut diberlakukan sesuai dengan makna haqiqah-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang hanya dilakukan oleh diri sendiri.
  • Ungkapan seseorang yang akan mewakafkan hartanya pada orang yang hafal Al Quran, maka ucapan ini tidak memasukkan orang yang hafal Al Quran dan pada akhirnya lupa.karena orang yang pernah hafal Al Quran lalu lupa, tidak termasuk dalam “wilayah kata” orang hafal dalam makna hakikinya, kecuali harus merambah pada tinjauan majaz, dalam hal ini adalah majaz mursal.
4.Kaidah اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز (Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)
Hakikat adalah pendapat mu’tabar yang diunggulkan dan merupakan asal, sedangkan majaz merupakan cabang dari hakikat, dan posisi majaz berada pada urutan kedua setelah hakikat. Sebagai contoh makna hakiki pada lafad nikah menurut Abu Hanifah adalah bersetubuh, bukan bermakna majazi yaitu akad, berdasarkan dalil Al Quran yang berbunyi: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. Al Nisa’: 22). namun jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua. kaidah ini mempunyai beberapa contoh antara lain:
  • Seseorang bersumpah tidak makan pohon, sumpah tersebut tidak berarti ia makan batang kayunya, tetapi menurut makna majaz (kiasan) adalah makan buahnya.
  • Seseorang yang berjanji tidak akan menginjakkan telapak kakinya dirumah itu, maksud dari sumpah itu menurut kebiasaan adalah masuk. Seandainya dia meletakkan telapak kakinya ke dalam rumah itu tanpa memasukkan badannya, maka dia tidak termasuk melanggar sumpah. Dan jika dia masuk kedalam rumah  itu dengan berkendaraan meskipun dia tidak meletakkan telapak kakinya, maka dia dianggap melanggar sumpahnya.
5. Kaidah الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن
(Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Adalah Waktu Yang Terdekat)
kaidah ini menandaskan, bahwa, apabila terjadi perbedaan waktu pada perkara baru, maka harus ditentukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa sekarang, yaitu; mengambil masa yang paling dekat, dan tidak memilih masa yang lalu pada suatu peristiwa yang masih diragukan kapan terjadinya. Karena banyak terjadi perbedaan hukum pada suatu peristiwa disebabkan perbedaan tanggal peristiwa itu, ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat. Mengambil masa yang paling dekat ini disepakati karena dilihat dari dua aspek; pertama, wujudnya peristiwa tersebut, kedua, sangkaan yang kuat peristiwa tersebut baru saja terjadi.
  • Seorang yang wudlu dari air sumur, kemudian dia sholat, setelah sholat dia melihat bangkai tikus didalam sumur itumak dia tidak wajib mengqodho sholatnya, kecuali dia yakin bahwa dia wudlu dengan air yang najis.
  • Seseorang melihat air mani dikainnya dan dia tidak ingat kapan dia bermimpi. Maka dia harus mengulangi sholatnya yang telah dilakukan sejak bangun dari tidurnya yang terakhir.
  • Team dokter berhasil memisahkan bayi kembar siam. Beberapa hari kemudian salah seoprang bayi kembar itu mati, dalam kejadian seperti ini team dokter tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas kematian itu. Karena kemungkinan sekali kematian itu lantaran faktor-faktor lain yang dekat dengan saat kematian.
  • Seorang pembeli pesawat TV menggugat penjualnya, lantaran setiba dirumah TV rusak tidak hidup. Gugatan pembeli tidak dapat diterima, karena menurut asalnya pesawat TV itu terjual dalam keadaan baik, dan kemungkinan besar, kerusakan terjadi ketika dalam perjalanan kerumahnya.  
6. Kaidah اذا تعذر الاصل يصار الى البدل ( Apabila Sukar Menggunakan Hukum Asal Maka Bisa Menjadikan Penggantinya Sebagai Hukum)
A. Dasar-Dasar Kaidah
Kaidah ini mempunyai beberapa dalil diantaranya :
  1. Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 184.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
  1. Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 196
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
apabila kamu Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
  1. Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 238-239
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ  فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
  1. Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
  1. Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 43
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
  1. Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
B. Indikasi Dalil
Dalil-dalil yang terkandung dalam kaidah ini memberi pengertian bahwa; suatu hukum yang harus dilaksanakan, namun jika menemui jalan buntu dan tidak mungkin untuk melakukannya atau terhalang oleh perkara lain, maka bisa beralih menggunakan hukum lain sebagai pengganti, karena menjadikan hukum lain sebagai pengganti hanya diperbolehkan ketika hukum asal tidak dapat dilakukan. Sebagaimana contoh dibawah ini:
  1. Seseorang mengambil barang orang lain, dan ia berniat mengembalikan, namun barang tersebut hilang, maka ia dapat mengembalikan pengganti yang mirip dengan barang yang diambil.
  2. Seseorang yang menjalani eksekusi karena memotong telinga kanan orang lain, maka telinga kanannya harus dipotong sebagai padanannya, tetapi jika ia tidak mempunyai telinga kanan, hanya telinga kiri, maka pemotongan telinga kiri sudah dianggap cukup.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Demikianlah, dengan memahami berbagai macam perbedaan yang telah kita paparkan dimuka dapat kami simpulkan:
  1. Sebenarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kawajiban melakukan dan tidak melakukan sesuatu.
  2. Sebenarnya pada diri manusia tidak hak apa-apa terhadap terhadap sesamanya, dan seseorang tidak dapat menuduh orang lain kecuali ada indikasi kuat dan jelas.
  3. Bila suatu ucapan bisa diartikan secara hakiki dan bisa jadi pula diartikan secara majazi, maka arti hakiki yang harus dipegang.
  4. Jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua
  5. Ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat.
  6. Ketika hukum asal tidak bisa difungsikan maka boleh menggunakan hukum pengganti sebagai padanannya.
B. Daftar Rujukan
1. PONPES MIFTAKHUL MUBTADIIEN-KEPEL-AMPEL-WULIHAN-JEMBER JAWATIMUR Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, vol.1, cet. II (Surabaya; Khalista, 2006)
2. Mujib, Abdul , Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, cet. V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001)
3. Bisri, Moch. Adib, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, cet.I (Kudus; Menara Kudus, 1977)
4. Al Burnu, Moch. Sidqi bin Ahmad, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al     Kulliyyati, vol I (tt, Muassah Al Risalah, 1983)
5. Rizqa, Mustafa Ahmad, Syarh Qawaid Al Fiqhiyyah, vol. I ( Damasqus, Dar Al Qalam, 1996)
6. Al Suyuti, Abi Al Fadl Jalal Al Din Abd Al Rahman, Al Asybah wa Al Nadhair, vol III (Beirut-Libanon; Muassasah Al Kutub Al Tsaqofiyyah, 1999)
7. Hakim, Abdul Hamid, Al Sulam, vol.II (Jakarta; Maktabah Al Sa’diyyah Putra,tt)

[1] KAKI LIMA Lirboyo-kediri jawatimur Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, vol. 1 (Surabaya; Khalista, 2006) cet II, hal: 161. lihat pula Abdul Mudjib dalam bukunya Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, cet. V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001) hal: 22
[2] Ibid, hal: 162
[3] Moch. Adib Bisri, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, cet.I (Kudus; Menara Kudus, 1977) hal: 10. lihat pula Abdul Mudjib dalam bukunya Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, cet. V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001) hal: 23
[4] Majaz mursal adalah kata kiasan yang antara makna asal dan makna kiasannya ada kaitan bukan kategori serupa. Teliti lebih lanjut dalam Al Syaikh Baha’ Al Din Abi Hamid Ahmad bin Ali bin Abd Al Kafi Al Subuki Arus Al Afrah, Dar Al Kutub Al Arabi Beirut, Libanon. Vol 1. th 2001, II /244. kata hafal Al Quran adalah dalam sudut pandang majaz mursal dapat bermakna orang yang pernah hafal. Dalam tinjauan majaz ini, kata hafal Al Quran adalah kata yang penyebutannya sesuai dengan ungkapan yang dapat menjangkau keadaan yang terjadi pada masa lampau (pernah hafal).
[5] Moch. Sidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati, vol I (tt, Muassah Al Risalah, 1983) hal: 190.
[6] Mustafa Ahmad Rizqa, Syarh Qawaid Al Fiqhiyyah, vol. I ( Damasqus, Dar Al Qalam, 1996) hal: 79
[7] Loc.cit. Moch. Sidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati. hal:  106.
[8] Abi Al Fadl Jalal Al Din Abd Al Rahman Al Suyuti, Al Asybah wa Al Nadhair, vol III (Beirut-Libanon; Muassasah Al Kutub Al Tsaqofiyyah, 1999) hal: 82. Lihat juga pada Abdul Mudjib dalam bukunya Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, vol V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001) hal: 24
[9] Op.cit. Moch. Sidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati, hal: 111
[10] Ibid, hal: 112
PENGERTIAN QAWAID FIQHIYYAH DAN QAWAID USHULIYYAH
Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Pendahuluan
2. : Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
3. : Pengertian Qaidah Ushuliyyah
4. : Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
5. : Kegunaan Kaidah Fikih
6. : Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
7. : Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
8. : Daftar Pustaka
2. Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
…………
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail……..” (QS. Al-Baqarah : 127).



“…….Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya……..” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :










…………



untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
3. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
4. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a. Kaidah :
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
5. Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
b. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih, dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum islam (rûh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
f. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasaan ilmu dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
6. Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
a. Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
b. Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
c. Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
d. Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
e. Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
7. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
a) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
b) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
c) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
d) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis, seperti :
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
8. Daftar Pustaka
b. Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 2007)
b. Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2006).
c. Abdul Salam, Zarkasji, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Lembaga Studi Islam, Yogyakarta. 1994).
d. Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pengantar Hukum.

[1] Ali Ahmad Al-Nadwi : Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1420 H/2000 M), cet. V. Lihat pula Muhammad al-Ruki : Qawâ’id Al-Fiqhi al-Islami, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1419 H/1998 M), cet. I, hlm. 107.
[2] Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), cet. I
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
[4] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
[5] Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm. 11
[6] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet.
[7] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al­-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5

WALLAHU ALAM BI SHOWAB... semoga bermanfa'at...aamien.... (Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) zainal mustofa