Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Agustus 2013

TENTANG KEBERADA'AN ALLAH SWT AQIDAH IMAM SYAFI’I [ULAMA SALAF]


Para pembaca dan sahabatku semuanya dimanapun berada. Sempga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kita semua...dan menetapkan kita di jalan yg istiqomah Alalkhaq..''

mam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata: إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah.

KEDUSTA'AN DAN PENGHIANATAN SYI'AH YG MENGATAS NAMAKAN PEMBELA DAN PECINTA AHLUL BAIT

Peristiwa Kesyahidan Husein bin Ali bin Abi Thalib

Bulan Muharram merupakan bulan yang agung dan memiliki banyak keutamaan; Nabi Musa ‘alaihissalam diselamatkan dari Firaun dan bala tentaranya di bulan Muharram. Untuk menghormati bulan ini, Allah haramkan peperangan walaupun perang tersebut bertujuan meninggikan kalimat-Nya. Di bulan ini pun terdapat suatu hari, yang dapat mengampuni dosa setahun yang lalu dengan berpuasa di hari tersebut. Namun, bulan Muharram juga mengisahkan sebuah duka, duka dengan wafatnya penghulu pemuda penghuni surga, cucu Rasulullah, Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Terkait peristiwa tersebut, ada sebuah kelompok yang rutin memperingati wafatnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu dengan cara meratapi dan menyiksa diri. Mereka berandai-andai jika saja waktu itu mereka bersama Husein dan menolong Husein yang dizalimi. Mereka menamakan diri mereka Syiah, pencinta dan pendukung ahlul bait (keluarga Nabi). Setiap orang bisa mengklaim diri sebagai penolong keluarga Nabi, namun pertanyaannya adalah benarkah mereka menolongnya?!
Kita tidak hendak saling menyalahkan, tidak juga memicu perpecahan, kita hanya akan mengangkat fakta sejarah bagaimana cucu manusia yang paling mulia ini bisa terbunuh di tanah Karbala.
Kita awali kisah ini dengan memasuki tahun 60 H ketika Yazid bin Muawiyah dibaiat menjadi khalifah. Saat itu Yazid yang berumur 34 tahun diangkat oleh ayahnya Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah umat Islam menggantikan dirinya.
Ketika Yazid dibaiat ada dua orang sahabat Nabi yang enggan membaiatnya, mereka adalah Abdullah bin Zubeir dan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Zubeir pun dipinta untuk berbaiat, ia mengatakan, “Tunggulah sampai malam ini, akan aku sampaikan apa yang ada di benakku.” Saat malam tiba, maka Abdullah bin Zubeir pergi dari Madinah menuju Mekah. Demikian juga Husein, ketika beliau dipinta untuk berbaiat, beliau mengatakan, “Aku tidak akan berbaiat secara sembunyi-sembunyi, tapi aku menginginkan agar banyak orang melihat baiatku.” Saat malam menjelang, beliau juga berangkat ke Mekah menyusul Abdullah bin Zubeir.
Kabar tidak berbaiatnya Husein dan perginya beliau ke kota Mekah sampai ke telinga penduduk Irak atau lebih spesifiknya penduduk Kufah. Mereka tidak menginginkan Yazid menjadi khalifah bahkan juga Muawiyah, karena mereka adalah pendukung Ali dan anak keturunannya. Lalu penduduk Kufah pun mengirimi Husein surat yang berisi “Kami belum berbaiat kepada Yazid dan tidak akan berbaiat kepadanya, kami hanya akan membaiat Anda (sebagai khalifah).” Semakin hari, surat tersebut pun semakin banyak sampai ke tangan Husein, jumlanya mencapai 500 surat.
Tidak terburu-buru menanggapi isu ini, Husein mengutus sepupunya Muslim bin Aqil bin Abi Thalib menuju Kufah untuk meneliti dahulu kebenaran berita tersebut. Tibalah Muslim bin Aqil di Kufah dan ia melihat kebenaran berita yang sampai kepada Husein. Penduduk Kufah pun membaiat Husein melalui Muslim bin Aqil.
Kabar dibaiatnya Husein melalui Muslim bin Aqil sampai ke Syam, tempat Khalifah Yazid bin Muawiyah. Ia segera mencopot gubernur Kufah, Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu karena Nu’man tidak mengambil tindakan apa pun atas kejadian itu. Sebagai penggantinya, diangkatlah Ubaidullah bin Ziyad menjadi amir Kufah.
Ubaidullah langsung bergerak cepat hendak mengupayakan penangkapan Muslim bin Aqil. Langkah pertama yang dilakukan Ubaidullah adalah mengintrogasi sahabat-sahabat dekat Muslim. Ia menangkap Hani’ bin Urwah, kemudian menanyai keberadaan Muslim kepadanya. Hani’ bin Urwah bersikukuh tidak akan membocorkan rahasia persembunyian Muslim, akhirnya ia ditahan.
Penahanan Hani’ bin Urwah memancing reaksi dari Muslim bin Aqil, ia mengerahkan 4000 orang mengepung benteng Ubaidullah bin Ziyad menekannya agar membebaskan Hani’. Sayang, kisah penghianatan penduduk Kufah ternyata berulang, mereka yang sebelumnya membaiat Muslim bin Aqil pergi meninggalkannya. Di siang hari saja jumlah 4000 tersebut menyusut hanya menjadi 30 orang dan ketika matahari terbenam tinggallah Muslim bin Aqil seorang diri. Akhirnya ia pun terbunuh. Sebelum wafat, ia memberi pesan kepada Umar bin Sa’ad untuk menyampaikannya kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib “Pulanglah bersama keluargamu. Jangan engkau terpedaya oleh penduduk Kufah. Karena mereka telah berhianat kepadamu dan kepadaku.”

Husein radhiallahu ‘anhu Menuju Kufah

Pada saat hendak berangkat menuju Kufah, Husein bertemu dan dinasihati oleh beberapa sahabat Nabi agar tidak menuju Kufah. Di antara sahabat yang menasihati Husein adalah:
Abdullah bin Abbas “Kalau sekiranya orang-orang tidak mencela aku dan engkau, akan aku ikat tanganku ini di kepalamu. Tidak akan kubiarkan engkau pergi.”
Abdullah bin Umar, setelah mendengar keberangkatan Husein menuju Kufah, ia bergegas menyusulnya dan berhasil bertemu dengannya setelah perjalanan 3 malam.
Abdullah bin Umar: Hendak kemana engkau?
Husein: Menuju Irak.
Husein mengeluarkan surat-surat penduduk Irak yang menunjukkan mereka berpihak kepada dirinya. Husein mengatakan, “Ini surat-surat mereka, aku akan kesana dan menerima baiat mereka.”
Abdullah bin Umar: Aku akan sampaikan kepadamu sebuah hadis. Sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia memberi pilihan kepada Nabi antara dunia dan akhirat, beliau pun memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Engkau adalah darah daging Rasulullah, demi Allah! Janganlah salah seorang dari kalian (keluarga Nabi) mengambil dunia tersebut atau menggapai bagian yang telah Allah jauhkan dari kalian.
Husein pun tetap pada pendiriannya berangkat menuju Kufah. Melihat pendirian Husein, menangislah Abdullah bin Umar dan mengatakan “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.”
Abdullah bin Zubeir mengatakan, “Hendak kemana engkau wahai Husein? Engkau mau menemui orang-orang yang telah membunuh ayahmu dan menghina saudaramu (Hasan bin Ali)? Janganlah pergi! Namun Husein pun tetap berangkat.
Abu Said al-Khudri mengatakan, “Wahai Abu Abdullah (maksudnya Husein pen.), aku ada sebuah nasihat untukmu dan aku adalah orang yang sangat mencintaimu. Aku mendengar berita bahwa Syiah (pendukung)mu di Kufah menulis pernyataan kepadamu, mereka mengajakmu keluar dari Mekah dan bergabung dengan mereka di Kufah. Janganlah engkau menemui mereka! Sesungguhnya aku mendengar ayahmu sewaktu di Kufah mengatakan, ‘Demi Allah, aku telah membuat mereka (penduduk Kufah) bosan dan marah dan mereka pun membuatku bosan juga membuatku marah. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang memenuhi janji.”
Saat Husein melanjutkan perjalanan, sampailah Amir bin Sa’ad utusan dari Muslim bin Aqil. Amir mengabarkan tentang terbunuhnya Husein dan penghianatan orang-orang Kufah. Mendengar berita tersebut Husein pun sadar apa yang ia lakukan akan sia-sia, ia pun memutuskan untuk pulang. Namun anak-anak Muslim bin Aqil menginginkan perjalanan dilanjutkan menuntut hukuman atas tewasnya ayah mereka.

Husein bin Ali bin Abi Thalib Tiba di Tanah Karbala

Mengetahui Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu berangkat menuju Kufah, Ubaidullah bin Ziyad berencana mencegatnya agar tidak memasuki Kufah dengan mengirim 1000 pasukan yang dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi kemudian ditambah 4000 pasukan dibawah kepemimpinan Umar bin Sa’ad.
Saat tiba di Karbala, Husein bertanya tentang nama daerah tersebut, “Daerah apa ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Husein pun langsung mengatakan, “Karbun (bencana) dan bala’ (musibah).”
Dibayang-bayangi 5000 pasukan membuat Husein semakin menyadari bahwa janji-janji penduduk Kufah itu hanyalah bualan semata. Apalagi pasukan-pasukan itu sendiri adalah penduduk Kufah yang telah mengiriminya surat. Lalu Husein mengajukan 3 alternatif kepada pasukan Kufah sebagai jalan keluar; pertama, Husein meminta agar pasukan Kufah mengawalnya pulang ke Mekah (agar ia dan keluarganya terjaga) atau yang kedua, pasukan Kufah mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan agar ia bergabung dengan pasukan kaum muslimin untuk berjihad atau alternatif ketiga, mereka mengizinkannya menuju Yazid agar ia membaiatnya secara langsung.
Umar bin Sa’ad pun menanggapi positif pilihan yang diajukan Husein, ia mengusulkan agar Husein mengirimkan utusan ke Yazid terlebih dahulu dan ia sendiri mengirimkan utusan ke Ubaidullah untuk memberitakan kabar ini sekaligus alternatif yang diajukan Husein.
Setibanya utusan Umar bin Sa’ad di hadapan Ubaidullah dan menyampaikan apa yang dikehendaki Husein, Ubaidullah pun bergembira dan memberi kemuliaan kepada Husein agar ia sendiri yang memilih sesuai dengan yang ia kehendaki; kembali ke Mekah atau Madinah, menuju daerah perbatasan, atau menuju Yazid di Syam, ia serahkan kepada pilihan Husein. Namun seseorang yang dekat dengan Ubaidullah yang bernama Syamr bin Dzi al-Jasyan angkat bicara atas keputusan Ubaidullah, “Demi Allah, urusannya tidak demikian, dia yang harus tunduk kepada putusanmu.” Maksud Syamr engkau (Ubaidullah) adalah pemimpin bukan dia (Husein), jadi dia yang harus tunduk kepada putusanmu bukan sebaliknya. Ternyata Ubaidullah yang tadinya memuliakan Husein berpaling mengikuti saran dari sahabat dekatnya, Syamr bin Dzi al-Jausyan. Ubaidullah memutuskan menawan Husein dan dibawa ke hadapannya di Kufah sebagai tawanan kemudia ia yang menentukan kemana Husein seharusnya diasingkan.
Setelah sampai perintah Ubaidullah di tanah Karbala, Husein pun menolak kalau dirinya dijadikan tawanan, ia seorang muslim terlebih ia adalah keluarga Rasulullah. Karena Husein menolak untuk ditawan, maka pasukan Ubaidullah itu berusaha menangkap paksa dirinya, Husein mengatakan, “Kalian renungi dulu apa yang hendak kalian lakukan. Apakah dibenarkan (secara syariat), kalian memerangi orang sepertiku? Aku anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang aku dan saudaraku (Hasan bin Ali), ‘Dua orang ini adalah pemimpin para pemuda penghuni surga.’ Akhirnya Husein pun terbunuh bersama keluarga Rasulullah yang lain. Seorang yang secara langsung membunuh Husein dan memenggal kepalanya bernama Sinan bin Anas.
Demikianlah mereka yang mengaku Syiah (pendukung) Ali dan keluarganya, mereka membelot dan menumpahkan darah ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam peristiwa ini, ada tiga orang yang berperan besar sehingga cucu Nabi yang mulia ini tewas. Mereka adalah Ubaidullah bin Ziyad, Syamr bin Dzi al-Jauzyan, dan Sinan bin Anas, ketiga orang ini adalah Syiah (pendukung) Ali di Perang Shiffin, mereka termasuk dalam barisan pasukan Ali bin Abi Thalib. Bisa jadi mereka yang meratapi kematian Husein di hari Asyura, menganiaya diri mereka, berandai-andai bersama Husein, dan merasakan penderitaannya, seandainya mereka berada di hari tersebut. Mereka akan turut serta dalam pasukan Kufah dan membelot dari Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.
Sumber: Huqbah min at-Tarikh oleh Syaikh Utsman al-Khomis.

WALLAHU A'LAM BI SHOWAB....

KECINTAAN RASULULLAH KEPADA CUCU-CUCNYA

Sewaktu Sayyidina Hassan dan Hussin masih kecil, apabila Rasulullah SAW sembahyang, baginda meletakkan mereka di sampingnya. Kedua-dua cucunya ini memperhatikan gerak gerik baginda dalam sembahyangnya. Bahkan, ketika baginda sujud, kedua-dua anak itu melompat ke belakang baginda. Maka ada seseorang yang mencuba melarang kanak-kanak itu, tapi baginda mengisyaratkan supaya dibiarkan saja kedua-dua cucunya bermain di belakangnya.
Jika Rasulullah SAW hendak mengerjakan sembahyang, maka baginda meletakkan Hasan dan Husain. Kemudian baginda bersabda: “Sesiapa yang kasih kepadaku hendaklah ia kasih kepada yang dua ini (Hasan dan Husain).
Pada suatu hari Rasulullah SAW keluar bertemu dengan kaum muslimin, sedang bersamanya ada Hasan dan Husain. Seorang di bahu kanan dan yang seorang lagi di bahu kiri. Baginda mencium Hasan, kemudian mencium Husain pula.
Ketika Rasulullah SAW membawa Hasan dan Husain, tiba-tiba seorang lelaki bertanya kepada baginda, “Ya Rasulullah, apakah engkau sangat cinta kepada mereka berdua?” Baginda terus menjawab, “Sudah tentu. Sesiapa yang mengasihi kedua cucuku ini maka bererti telah mengasihi aku, dan sesiapa yang memarahinya bererti ia memarahi aku.”
Umar bin Khattab pernah menyaksikan Rasulullah SAW sedang mengendong Hasan dan Husain, seorang di bahu kanan dan yang seorang lagi di bahu kiri baginda. Maka Umar berkata kepada Hasan dan Husain, “Kuda yang paling baik ialah di bawah kamu (Rasulullah).” Rasulullah melirik kepada cucunya lalu berkata, “Dan penunggang kuda yang paling mahir adalah kamu berdua.”
Di dalam rumahnya sendiri, Rasulullah SAW membawa Hasan dan Husain di atas belakangnya, kemudian baginda berjalan dengan tangan dan kaki sambil berkata: “Unta yang paling baik ialah unta kamu, dan sebaik-baik pasangan ialah kamu berdua.”
Pada suatu hari Rasulullah SAW diundang makan ke rumah seorang Sahabat. Ketika baginda dan para Sahabat berjalan menuju rumah orang yang mengundang makan itu, baginda melihat Husain sedang bermain-main dengan kanak-kanak di tengah jalan. Baginda ingin bergurau dengan Husain, maka baginda berjalan lebih laju sehingga baginda agak ke depan berbanding rombongannya. Apabila tiba dekat Husain, baginda membuka kedua-dua tangannya sambil mengisyaratkan supaya Husain melompat kepadanya. Lalu Husain melompat ke arah baginda dan beliau tertawa sambil mendakap serta mencium Husain sambil bersabda: “Husain sebagian dari diriku, dan aku sebagian darinya. Allah mengasihi orang yang mengasihi Husain.”
Pernah berlaku, ketika para Sahabat duduk di sekeliling Rasulullah SAW ketika matahari hampir tenggelam, maka datang orang memberitahu baginda bahwa Hasan dan Husain telah hilang entah ke mana.
Mendengar yang demikian membuat Rasulullah takut lalu berkata kepada para Sahabat, “Bangkitlah kamu, pergi cari anakku!”
Kemudian baginda mengajak salah seorang di antara Sahabat ikut bersamanya. Rasulullah SAW menyeru semua Sahabat supaya sama-sama mencari Hasan dan Husain sebelum malam tiba, tapi tidak juga ditemui. Tiba di suatu tempat, melihat Hasan dan Husain berpelukan dan amat ketakutan karena di hadapan mereka ada seekor ular besar yang dari mulutnya keluar api.
Dengan pantas, Rasulullah SAW mengambil perhatian ular itu supaya beralih kepadanya. Tidak lama kemudian ular itu pergi ke celah-celah batu. Baginda terus mengambil Hasan dan Husain, memisahkan keduanya, lalu menyapu wajah keduanya. Sambil memeluk keduanya, Rasulullah SAW bersabda: “Demi ayah dan ibuku, kamu berdua teramat mulia di sisi Allah.”
Sesudah itu barulah nafas Hasan dan Husain kembali seperti biasa. Kemudian baginda pun mengangkat keduanya, seorang ke bahu kanan dan seorang lagi ke bahu kirinya.
Pernah berlaku, Rasulullah sudah berdiri di atas mimbar, lalu baginda berkhutbah kepada umat Islam. Maka datanglah Husain ke dalam masjid sedangkan di lehernya ada perca kain yang ditarik dan dihulur-hulurkannya.
Husain pun berjalan di celah-celah jemaah Jumaat yang sedang duduk mendengar khutbah dari Rasulullah. Perca kain itu dihulur dan ditarik-tariknya. Tiba-tiba kaki Husain tersandung lalu jatuh dengan mukanya ke tanah.
Melihat itu, Rasulullah SAW meluru ke arah Husain. Apabila orang lain melihat baginda datang, maka mereka cepat mengambil Husain dan memberikannya kepada baginda. Husain diciumi Rasulullah sambil mengucapkan: “Semoga Allah membunuh syaitan, dan sesungguhnya anak adalah fitnah.”
Ketika itulah baginda memandang kepada sidang jemaah sambil meminta maaf. Baginda berkata, “Demi Allah, aku tidak sedar telah turun dari mimbar hinggalah aku mendatanginya (Husain).”
Pernah Rasulullah SAW masuk ke rumah puterinya Fatimah bertujuan untuk berziarah dan memberi ketenangan jiwa kepadanya, lalu baginda bertanya tentang keadaan dirinya dan rumah tangganya. Baginda juga bertanya tentang suami dan anak-anaknya.
Rasulullah berkata kepada Fatimah, “Suruhlah suami dan anak-anakmu datang ke mari.” Lalu Fatimah memanggil mereka semua, maka mereka pun datang sambil memberi salam kepada Rasulullah dan menyambut kedatangan baginda dengan gembira. Dalam kesempatan itu Rasulullah bergurau senda dan beramah mesra dengan mereka.
Setelah suasana telah tenang maka baginda menyuruh mereka duduk di hadapannya lalu baginda berdoa untuk mereka: “Ya Allah, mereka ini adalah keluarga Muhammad. Berikan rahmat dan keberkatan-Mu kepada mereka sebagaimana telah Engkau berikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mulia. Ya Allah, inilah keluargaku, hilangkanlah dari mereka kekotoran dan bersihkan mereka dengan kesucian. Ya Allah, redhailah mereka sebagaimana aku redha kepada mereka.”
Tetaplah kamu dalam rumahmu dan janganlah kamu berhias seperti dandanan perempuan jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah sembahyang dan bayarkanlah zakat, dan ikutlah Allah dan Rasul-Nya. Allah hanya mengkehendaki, supaya Dia menghilangkan kekotoran (dosa) daripadamu, hai ahlul bait dan supaya Dia membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya.” Surah Al Ahzab: Ayat

Terbunuhnya Cucu Nabi, al-Hasan dan al-Husein. Siapa Dalangnya?

Terbunuhnya Al-Hasan dan Al-Husein
DI TULIS DAN DI SALIN OLEH: ZAINAL MUSTOFA DARI SUMBERNYA
KITAB:
Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.


Al-Hasan dan Al-Husein adalah putera dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak perempuannya Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Mereka termasuk kalangan ahlul bait Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapat pujian-pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya beliau bersabda:
إِنَّ الْحَسَنَ وَ الْحُسَيْنَ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا. (أخرجه البخاري مع الفتح ٧/٤٦٤، ٢۷٥٢؛ والترمذى وأحمد عن ابن عمر)
Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husein adalah kesayanganku dari dunia. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz VII, hal. 464, hadits 3753 dan Tirmidzi, Ahmad dari Ibnu Umar)

Juga bersabda:

الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ. (رواه الترمذى والحاكم والطبراني وأحمد وغيرهم عن أبى سعيد ورواه أيضا عشرة فى الصحابة صححه الألبانى فى الصحيحة ص ٤٢٢، ٧٩٦)
Al-Hasan dan Al-Husein adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah. (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abi Sa’id al-Khudri; dishahihkan oleh Syaikh Al­Albani dalam Silsilah Hadits Shahih, hal 423, hadits no. 796 dan beliau berkata hadits ini diriwayatkan pula dari 10 shahabat)
Sedangkan khusus tentang keutamaan Hasan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَسَنُ مِنِّى والْحُسَيْنُ مِنْ عَلِيٍّ. (أخرجه أبو داود وأحمد والطبرانى عن المقدام بن معدى كرب؛ وصححه الألبانى فى الصحيحة ص ٤٥٠، ۸١١)
Al-Hasan dariku dan Al-Husein dari Ali. (HR. Abu Dawud, Ahmad, Thabrani dari Miqdam Ibnu Ma’di Karib; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Shahih, hal 450, hadits no. 711)
عَنِ الْبَرَاءِ بْنُ عَازِبٍ قَالَ رَأَيْتُ الْحَسَنَ بْنِ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَقُوْلُ: ((اللَّهُمَّ إِنِّى أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ)). (رواه البخارى مع الفتح ٧/٤۷٤، ٢٧٤٩؛ ومسلم بشرح النووى، ١٥/١۸٩ حديت رقم ٦٢٠۸)
Dari Barra’ bin ‘Azib, dia berkata: Aku melihat Al-Hasan bin Ali di atas pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarah Nawawi, juz XV, hal 189, hadits no. 6208)
Sedangkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-Hasan dengan lafadz:
اللَّهُمَّ إِنِّى أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ وَأَحِبَّ مَنْ يُحِبُّهُ. (رواه مسلم بشرح النووى ١٥/١۸۸ رقم ٦٢٠٦)
Ya Allah sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang mencin­tainya. (HR. Muslim dengan Syarah Nawawi, juz XV, hal. 188, hadits no. 6206)
Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ. (رواه البخارى مع الفتح ٧/٤٦٤ رقم ٣۷٥٢)
Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Abu Bakrah berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar sedangkan Al-Hasan di sampingnya, beliau melihat kepada manusia sesekali dan kepadanya sesekali yang lain dan bersabda:
ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٤٦٣ رقم ٤۷٤٦)
Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 4746)

Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiya­llahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpen­dapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka sa­ling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-­wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-­Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatangi­nya, berbicara dengannya dan memohon pada­nya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٦٤۷ رقم ٢۷٠٤)
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau mene­rimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat Al­Bidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-­Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sem­bilan keturunannya adalah maksum. Dan dari kon­sekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang ber­sumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al­-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-­Awashim minal Qawashim hal. 197-198).
Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengka­firkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para peng­khianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap Al­Hasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlang­sung dengan persatuan kaum muslimin karena Al­lah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengor­banan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang membunuh­nya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya: “Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Is­lam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.

Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya
Beliau dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan menamakannya Al-Husein. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal. 152.
Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal Qawashim: “Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu). Kemudian Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membai’at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu Abbas radhiyal­lahu ‘anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair mengisya­ratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berang­katlah Al-Husein. Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil telah terbunuh dan dise­rahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. “Cukup bagimu ini sebagai peringat­an bagi yang mau mengambil peringatan” (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.). Tetapi beliau radhi­yallahu ‘anhu tetap melanjutkan perjalanannya de­ngan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ke­tuaan. Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein, maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al-Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232)
Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya ‘Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein adalah bahwa niat Al-Husein dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin Al-Khatib dalam ta’liq-nya terhadap buku Al-Awashim Minal Qawashim.
Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah bin Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Mekah. Namun mereka tetap mem­bunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga beliau meninggal dengan syahid radhiyallahu ‘anhu. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedus­taan dan pengada-adaan riwayat tersebut. Dise­butkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad. Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerin­tahkan untuk membunuhnya (Husein) dan meme­rintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.
Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 507-508)
Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husein dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509)
Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari Jum’at, pada hari ‘Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H dalam usia 54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati Al-Husein dan mengampuni seluruh dosa­dosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih. Amin.

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu’awiyyah
Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nya sebagai berikut:
Belum terjadi sebelumnya manusia mem­bicarakan masalah Yazid bin Muawiyyah dan tidak pula membicarakannya termasuk masalah Dien. Hingga terjadilah setelah itu beberapa perkara, sehingga manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan bisa jadi mereka menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya. Sedangkan kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat or­ang tertentu. Kemudian suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat petunjuk.
Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang berlawanan:
Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan Madinah) untuk menebus dendam keluarganya yang dibunuh dalam keadaan kafir seperti kakek ibunya ‘Utbah bin Rab’iah, pamannya Al-Walid dan selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula bahwa dia terkenal dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.
Pada sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang adil, mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau pembesar shahabat serta salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian dari mereka meyakini bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa barangsiapa tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia dalam neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin ‘Adi bahwa dia adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang berhenti (tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka karena ucapan mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh Hasan bertambahlah perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka ghuluw kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa yang ada di atasnya Syaikh ‘Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena jalan beliau sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid’ah-bid’ah yang seperti itu, kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin ‘Adi sehingga terjadilah fitnah yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.
Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid bin Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu dan tidak pernah bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para ulama. Dia tidak pula terkenal dalam masalah Dien dan keshalihan. Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan pula zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai oleh sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain. Dia memiliki keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.
Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu:
1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu ‘anhu se­dangkan Yazid tidak memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi taringnya dengan besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia memerintahkan untuk melarang Husein dengan melepaskannya dari urusan walaupun dengan memeranginya. Tetapi para utusannya melebihi dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan mendorong ‘Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya. Ibnu Ziyad pun me­nyakitinya dan ketika Al-Husein radhiyallahu ‘anhu meminta agar dia dibawa menghadap Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang kafir bersama tentara Yazid -pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya dan tetap menawannya. Atas perintah Umar bin Sa’d, maka mereka membunuh beliau dan sekelompok Ahlul Bait radhiyallahu ‘anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein -dan ‘Utsman bin ‘Affan sebelumnya- adalah penyebab fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah. Ketika keluarga beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi Yazid bin Mua’wiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke Madinah.
Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan berkata: “Aku sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein.” Tetapi dia tidak menampakkan pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan kedustaan-kedustaan atasnya.
2. Ahlil Madinah membatalkan bai’atnya kepada Yazid dan mereka mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan tentara kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan jika mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari mereka akan memasuki Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka. Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka, merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita yang suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan mengepungnya. Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung Mekkah dan hal ini meru­pakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya.
Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah mereka tidak melaknat dan tidak mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada ayahku: “Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid.” Maka beliau rahimahullah menjawab: “Wahai anakku, apakah akan mencintai Yazid seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?” Aku bertanya: “Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya?” Beliau menjawab: “Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang?”
Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin Mu’awiyyah?” Dia berkata: “Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?”
Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja (Islam -pent). Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu: Bahwa seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr. Acap kali dia didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dicambuknya. Maka berkatalah seseorang: “Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. ” (HR. Bukhari)
Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan laknat terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi pelakunya.
Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang muslim yang memegang pemerintahan di zaman para shahabat dan dibai’at oleh mereka. Serta mereka berkata: “Tidak benar apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki kebaikan-kebaikan, atau dia melakukannya dengan ijtihad.”
Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa mereka tidak mengkhususkan kecin­taan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin meng­ampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَأَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِى يَغْزُوْنَ مَدِيْنَةَ قَيْصَرَ مَغْفُوْرٌ لَهُمْ. (رواه البخارى)
Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari)
Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya.

Catatan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan ucapannya: “Kadang-kadang sering tertukar antara Yazid bin Mu’ awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat, bahkan orang-orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang pemimpin Syam yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika mengantarkan­nya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid bin Abu Sufyan: “Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan) atau aku yang akan turun.” Maka berkatalah Abu Bakar: “Aku tidak akan naik dan engkau jangan turun, se­sungguhnya aku mengharapkan hisab dengan langkah-langkahku ini di jalan Allah. Ketika beliau wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu Mu’awiyah untuk menggantikan kedudukannya.
Kemudian Mu’awiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman pemerintahan ‘Utsman ibnu ‘Affan dan dia tetap di Syam sampai terjadi peristiwa yang terjadi.
Yang wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan berpaling dari membicarakan Yazid bin Mu’awiyah serta bencana yang menimpa kaum muslimin karenanya dan sesungguhnya yang demikian merupakan bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah kesalahan yang nyata.” (Diambil dari Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)

Bid’ah-bid’ah yang Berhubungan dengan Terbunuhnya Al-Husein
Kemudian muncullah bid’ah-bid’ah yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan orang-or­ang terakhir berkenaan dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya dan lain-lain. Mulailah mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada hari terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari ‘Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri, mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah (para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan ahlul bait serta kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Husein radhiyallahu ‘anhu telah dimu­liakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan mati syahid pada hari ‘Asyura dan Allah telah menghi­nakan pembunuhnya serta orang yang mendukung­nya atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan pada masa kejayaan Is­lam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang telah didapati oleh ahlul bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya.
Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyari’atkan untuk mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika musibah dalam ucapannya:
…وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
…. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 155-157)
Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ، وَشَقَّ الْجُيُوْبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ. (رواه البخارى ومسلم)
Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata: “Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ فِى اْلأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى اْلأَنْسَابِ وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُجُوْمِ وَالنِّيَاحَةُ. (رواه مسلم)
Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga dengan kedudukan, mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَإِنَّ النَّائِحَةَ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ الْمَوْتِ جَائَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانِ، وَدَرْعٌ مِنْ لَهَبِ النَّارِ. (صحيح رواه أحمد والطبرانى والحاكم)
Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak bertaubat sebelum matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-­macam.
Demikianlah keadaan orang yang meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek bajunya dan lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu kezaliman terhadap or­ang-orang mukmin (para shahabat), melaknat mereka, mencela mereka, serta sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul bid’ah dalam kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah lebih mengetahuinya.

Maraji’:
Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Kamis, 29 Agustus 2013

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ?

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah ?

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah
 
2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka). 
   
BERLANJUT PADA HALAMAN SELANJUTNYA,,,,>>>>>>> 2



6.      Ahlussunnah         : Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah                     : Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma'’hum, seperti para Nabi.

7.      Ahlussunnah         : Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah                     : Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai'at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8.      Ahlussunnah         :  Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.
Syiah                     : Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.

9.      Ahlussunnah         : Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a)      Bukhari
b)      Muslim
c)      Abu Daud
d)      Turmudzi
e)      Ibnu Majah
f)       An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Syiah                     : Kitab-kitab Syiah ada empat :
a)      Al Kaafi
b)      Al Istibshor
c)      Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d)      Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah). 

10.  Ahlussunnah         : Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah                     : Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11.  Ahlussunnah         : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Syiah                     : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12.  Ahlussunnah         : Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah                     : Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain.
Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Keterangan           : Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri. Berlainan dengan Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
13.  Ahlussunnah         : Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.
Syiah                     : Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14.  Ahlussunnah         : Khamer/ arak tidak suci.
Syiah                     : Khamer/ arak suci.

15.  Ahlussunnah         : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.
Syiah                     : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16.  Ahlussunnah         :  Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Syiah                     : Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.
(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17.  Ahlussunnah         : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.
Syiah                     : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18.  Ahlussunnah         : Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Syiah                     : Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.

19.  Ahlussunnah         : Shalat Dhuha disunnahkan.
Syiah                     : Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).
 
Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).  Sengaja  kami  nukil  sedikit saja,  sebab apabila kami nukil
seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.
Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap).
Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu).
Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah.
Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat teratasi.
Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita.
Semoga Allah selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. Amin.



( ZAINAL MUSTOFA Al-faqier Al-khaqier)