Total Tayangan Halaman

Senin, 23 Desember 2013

HUKUM Mengucapkan Selamat Natal bagi muslim

Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal?


Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca: cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.

Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-
Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.
Fatwa Pertama: Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama
Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
Beliau rahimahullah pernah ditanya,
“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Qs. Az Zumar [39]: 7)
Allah Ta’ala juga berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah [5]: 3)
Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat Natal?
Memberi ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca : bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.
Mengenai agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imron [3]: 85)
Bagaimana Jika Menghadiri Perayaan Natal?
Adapun seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.
Bagaimana Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?
Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan, “Menyerupai orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-
Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.
Allah-lah tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.
Fatwa Kedua: Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka
Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.
Syaikh rahimahullah ditanya: Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?
Beliau rahimahullah menjawab:
Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)
Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena Yahudi tersebut dulu ketika kecil pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam. Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.
Fatwa Ketiga: Merayakan Natal Bersama
Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.
Pertanyaan:
Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?
Jawaban:
Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah [5]: 2)
Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Saatnya Menarik Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan:
Pertama, Kita –kaum muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.
Kedua, Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An Nisa’ [4]: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.
Oleh karena itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika menyelisihinya.
Ketiga, jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.
Keempat, tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.
Kelima, membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.
Keenam, diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.
Demikianlah beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.


(Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if ) zainal mustofa

Rabu, 18 Desember 2013

PENGERTIAN BUDAK DAN MACAMNYA DALAM ISLAM



Muqaddimah

Qadhiyah perbudakan dalam Islam adalah qadhiyah yang masih kontroversi. Antara yang kukuh dan tetap mempertahankan, dan sebagian yang menganggap bahwa perbudakan sudah tidak ada dan tidak relevan lagi, dengan argumen Islam telah mencabut segala macam bentuk perbudakan sampai ke akar-akarnya, dan membuka pintu selebar-lebarnya dalam memerdekakan budak.

Para ulama salaf dan khalaf, mengabadikan konsep perbudakan ini ke dalam kitab-kitab karangan mereka. Hal ini dianggap sebagai hal yang menarik dan sangat urgen untuk diketahui oleh umat Islam. Melihat umat Islam saat ini yang sebagian besar masih kurang tahu menahu tentang konsep perbudakan dalam Islam. Terkadang kita mencampur adukkan dan menyamaratakan sikap non muslim dan muslim itu sendiri dalam bermuamalah dengan budak. Adalagi yang beranggapan perbudakan itu dipelopori oleh Islam. Persepsi  semacam ini sekuat mungkin kita buang jauh-jauh dari pikiran kita, dan tugas kita adalah mencari tahu bagaimanakah sistem perbudakan dalam Islam yang sebenarnya.

Apakah betul perbudakan telah dibumihanguskan oleh Islam? Bagaimanakah sikap dan cara Islam dalam memandang sistem perbudakan? Apakah betul yang dikatakan orientalis bahwa Islam menjadi pelopor dalam menghalalkan free seks dengan bolehnya menggauli budak perempuan? Bagaimanakah cara sebenarnya yang ditempuh Islam dalam memerdekakan budak? Dan beberapa pertanyaan lagi yang menyangkut perbudakan, akan kita bahas dan mendiskusikannya bersama pada kajian eksternal mujaddid di kesempatan ini. Penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari peserta diskusi. Dan semoga dari makalah sederhana ini bisa sedikit menambah wawasan kita tentang konsep perbudakan dalam islam.

1. Sejarah perbudakan 
Sebelum agama Islam datang, perbudakan sudah menjadi sistem bagi sebagian negara-negara besar, semisal Romawi, Persia, Babilonia dan Yunani. Bangsa ini telah menerapkan dan memakai sistem perbudakan. Perbudakan sangat terkait dengan sistem perekonomian dan politik yang mereka terapkan. Perbudakan menjadi komodoti negara dengan memperjualbelikan sejumlah budak. Bahkan setiap budak mempunyai taraf harga yang berbeda-beda.

Budak dikala itu bagaikan manusia setengah hewan, pekerjaan-pekerjaan berat dan kotor semuanya menjadi pekerjaan budak. Budak menjadi hak paten bagi pemiliknya. Tidak ada norma-norma maupun rasa kemanusiaan yang diberikan kepada budak. Budak menjadi momok mengerikan yang penuh dengan penindasan dan kedzaliman. Bahkan tak jarang ditemukan budak yang disiksa oleh tuannya dengan berbagai macam siksaan, yang berujung pada kematian.

Kita mencoba mengambil satu contoh suatu bangsa dalam memperlakukan budak-budak mereka, semisal bangsa Romawi. Para pemimpin dan para pembesar Romawi, mereka mempunyai ribuan budak yang menjadi pelayan dari seluruh keinginan mereka. Penderitaan yang dialami budak-budak mereka, tidak menjadi tanggungan terhadap apa yang mereka lakukan. 

Para budak mereka perlakukan dengan bengis. Mereka membelenggu dengan ikatan yang kuat yang tidak mungkin bagi mereka melarikan diri, mereka juga tidak memberikan pada para budak makanan, kecuali sekadarnya saja, jadilah budak itu seperti hewan yang penuh dengan cemoohan.

Inilah sedikit gambaran, akan penindasan dan penganiayaan yang dialami oleh para budak, dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa undang-undang Roma memberikan hak mutlak kepada pemilik budak untuk mengurusi budak mereka, tak ada larangan maupun undang-undang yang mengatur hak-hak bagi sang budak. Siksaan cacian dan makian sampai pada pembunuhan tidak menjadi larangan bagi pemilik budak. Pemilik budak melakukan sekehendak hati terhadap budak, jadilah mereka seperti hewan bahkan lebih rendah dari hewan.

2. Sebab-Sebab Munculnya Perbudakan

Sebelum islam datang, banyak faktor-faktor yang meyebabkan terbukanya jalan menuju perbudakan, inilah yang menjadi sebab munculnya perbudakan dimasa  Roma, Persia, Babilonia dan Yunani.
1.     Nafsu untuk memperbudak, ketika suatu kelompok menang dalam sebuah peperangan.
2.    Karena kemiskinan dan kefakiran, dan tidak adanya kesetiaan terhadap agama.
3.    Munculnya perbudakan karena hukum dari tindak kriminal, seperti mencuri dan membunuh.
4.    Karena mencari pekerjaan dan tempat tinggal.
5.    Karena penyanderaan dan penculikan.
6.    Karena tradisi para raja, pembesar dan kaisar.

3. Sikap Islam Terhadap Perbudakan

Setelah melihat dan menyaksikan perlakuan kepada budak yang tidak manusiawi, maka hadirlah Islam, mengatur dan membuat aturan-aturan yang menjamin hak-hak dan kehidupan bagi sang budak. Para budak tidak lagi menjadi hinaan dan cemoohan, tapi Islam mengangkat para budak setingkat dengan orang yang merdeka. Islam tidak memandang dengan mata sebelah para budak, bahkan budak mendapatkan posisi dalam masyarakat.

Sebelumnya juga sudah disinggung, sebelum Islam datang ada beberapa wasilah yang bisa menjadikan seseorang menjadi budak. Kemudian apa tindakan Islam terhadap wasilah ini? Islam datang untuk mempersempit jalan masuk menuju perbudakan. Dalam artian tidak menghilangkannya secara mutlak sistem perbudakan. Bisa dikatakan bahwa Islam menetapkan dan mengakui adanya perbudakan, namun Islam membatasi jalan-jalan menuju kesana. Islam menutup seluruh jalan untuk masuk kedalam perbudakan, kecuali satu jalan saja, dan itu pun menjadi sebuah alternatif, yaitu memperbudak terhadap tawanan perang.

Perang yang didalamnya dibolehkan memperbudak tawanan dalam syariat islam adalah perang yang berlandaskan syariat, dan dalam memperbudak tawanan ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Abdullah Nashih U’lwan, dosen dirasah islamiyah universitas kerajaan Abd. Aziz di Jeddah, menjelaskan, ada beberapa karakter yang masuk kategori dalam perang menurut syariat, yaitu :

1.                      Memerangi musuh Islam di jalan Allah. Annisa : 76. Maksudnya adalah perang ini tidak berlandaskan perang dengan syahwat, dan tidak bertujuan untuk menjajah.
2.                     Tidak boleh seorang muslim memerangi kelompok lain, kecuali setelah memberikan peringatan dan memberikannya tiga altenatif. Pertama, apakah dengan mengajaknya memeluk agama islam. Kedua, memerintahkannya membayar jizyah. Dan Jika kedua altenatif ini tidak dipenuhi maka yang ketiga adalah baru mengadakan  perang kepada mereka.
3.                     Bagi muslimin agar mengadakan perdamaian jika pihak musuh menginginkan perjanjian perdamaian, namun dengan syarat tidak adanya kemaslahatan hanya pada pihak musuh, dan kerugian bagi pihak muslim.

Inilah beberapa cara yang ditempuh dalam menjadikan  perang sesuai dengan syariat. kemudian, apa yang dilakukan jika tawanan perang sudah ada pada kita? Syekh U’lwan menambahkan, ada  empat cara yang dilakukan terhadap para tawanan. pertama, membebaskannya. kedua, para tawanan ditebus. ketiga, dibunuh. Dan keempat dijadikan budak.  Kesemuanya ini dipegang penuh oleh imam muslimin/khalifah, atau panglima perang. Imam memilih salah satu pilihan,  yang disesuaikan dengan kemashlahatan.

4. Muamalah Islam dengan Budak

Belum pernah kita dapatkan aturan-aturan kemasyarakatan atau pemerintahan dalam menyikapi budak secara adil dan berperikemanusiaan selain Islam. Sistem pemerintahan Roma dan bangsa yang lainnya telah memperlihatkan akan keganasan dalam memperlakukan budak lebih rendah dari binatang. Olehnya Islam datang untuk memperbaiki metode dalam bermuamalah dengan budak. Disini kita akan coba merumuskan dalam tiga rumusan. pertama, Islam memandang bahwa budak juga manusia yang berhak memperoleh hak dan kemuliaan.

Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya. Didalam Al Quran Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang bertakwa”.

Kedua, persamaan budak dengan manusia menyangkut hak dan kewajiban. Begitu juga Islam menerapkan persamaan ini tentang ‘uqubat (sangsi), dan hudud (hukum). Sebagaimana rasulullah bersabda, “ Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan balas membunuhnya, dan barang siapa memotong budaknya,  maka kami akan memotongnya juga, dan barangsiapa yang mengebiri budaknya, maka kami akan mengebirinya juga”.(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Dalam persoalan pahala dan nikmat akhirat, Islam tidak mempetak-petakan dan mendiskriminasi golongan tertentu, tapi islam mengggunakan sistem persamaan. Contohnya, Allah akan mempersiapkan bagi hamba-Nya yang taat kepadanya, berupa nikmat surga. Allah berfirman, “…Barang siapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki didalamnya   tidak terhingga”.

Lafadz ayat ini mengandung keumuman, bagi setiap laki-laki, perempuan, hamba sahaya, orang merdeka, orang fakir, orang kaya dan sebagainya. 

Ketiga, Islam memperlakukan budak dengan manusiawi dan mulia. Dalam hal ini islam memiliki metode tersendiri dalam memperlakukan budak secara adil dan manusiawi, yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Misalnya dalam hal,

a.    Memberi makanan. Islam sangat menganjurkan bagi pemilik budak untuk berbuat baik dalam memberikan makanan dan pakaian kepada budaknya. Rasulullah bersabda, ”Barang siapa yang memiliki budak, maka berilah makan seperti yang ia makan, dan berilah pakaian seperti yang ia pakai”.
b.    Memanggil dengan panggilan yang tidak merendahkan. Bahkan islam melarang seseorang memanggil dengan panggilan yang merendahkan dengan sebutan ini hamba sahayaku atau ini budakku. Rasulullah bersabda,” Janganlah kamu mengatakan ini adalah budak laki-laki ku, dan ini budak perempuanku, tapi hendaklah kamu mengatakan ini adalah putra putriku”.(HR. Muslim)
Dengan metode seperti ini, secara otomatis akan membuat para budak merasa tenang, karena ia menjadi bagian dari keluarga tuannya.
c.    Larangan menzalimi budak. Islam sangat melarang keras bagi pemilik budak dalam berperilaku keras dan aniaya terhadap budak mereka. Dari Ibn Umar rasululullah saw bersabda, ”Siapa yang menampar, atau memukul budaknya, maka kaffaratnya adalah dengan cara memerdekakannya”.( HR. Muslim)
d.    Anjuran dalam berbuat baik pada budak. Islam juga memerintahkan kepada penganutnya agar berbuat baik kepada  seluruh orang lain, tanpa mengecualikan golongan tertentu, seperti budak. Allah berfirman,…”Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membanggakan diri”.

Muhammad Qutb  dalam kitab Assyubhat memberikan contoh bagaimana Islam bermuamalah dengan budak. Rasulullah saw, mempersaudarakan sebagian dari budak-budak dengan beberapa pemuka Quraisy, Bilal bin Rabbah dipersaudarakan dengan Khalid bin Ruwaihah Al khatsma’i, Zaid bin Haritsah dengan Hamzah bin Abdul Muthalib, Zaid dipersaudarakan dengan Abu Bakar As Siddiq.

Rasulullah saw, memberikan sebuah contoh dalam berbuat baik dengan budak, yaitu dengan mempersaudaran mereka dengan beberapa pembesar Quraisy, nyatalah bahwa islam agama yang tidak menginjak-injak dan menganiaya para budak, tapi islam agama yang mengajarkan, agar selalu memerhatikan para budak. Diriwayatkan dari Ali ra, rasulullah saw, bersabda, ”Bertakwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki”.

Inilah sebagian rumusan yang ditawarkan oleh islam semenjak berabad-abad lamanya dalam bermuamalah dengan budak. Sebuah sikap  yang mencerminkan kelembutan dan kasih sayang ajaran-ajarannya. Adakah sistem yang lebih baik dari islam?

5. Cara Islam Memerdekakan Budak.

Islam semenjak awal telah memerdekakan budak dari dalam sanubari mereka, perlakuan dengan manusiawi yang telah berlangsung berabad silam diperuntukkan bagi para budak, agar mereka merasa hak dan kewajiban mereka setara dengan orang-orang merdeka. Inilah konsep yang Islam berikan. Setelah pembebasan dari dalam, kemudian Islam sungguh-sungguh membebabaskan dari luar. Inilah pembebasan yang sebenarnya.
Selain Islam yang mengupayakan pembebasan para budak, di negara barat juga telah meneriakkan akan kebebasan bagi tiap individu, atau biasa kita kenal dengan istilah HAM.

Muhammad Quthb mengatakan, pembebasan perbudakan secara dekrit undang-undang, seperti yang pernah dikeluarkan oleh Abraham Lincoln, tidak akan menghasilkan kebebasan yang sebenar-benarnya, kenapa? Karena dalam kehidupan, mereka masih berada dibawah bayang-bayang perbudakan.

Adapun metode islam dalam memerdekakan budak mencakup beberapa hal:
1.     Memerdekakan karena mengharap ridha Allah
Seorang majikan melakukan hal ini, tidak lain untuk mendapatkan rahmat dari Allah swt. Allah menyuguhkan banyak keistimewaan dan pahala yang berlipat, bagi siapa saja yang ingin memerdekakan budaknya. Islam sangat mendorong untuk memerdekakan budak dengan cara ini, walaupun hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Allah berfirman, “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. tahukah kamu jalan yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak”.
dalam Hadis nabi saw, juga banyak menjelaskan keistimewaan dan pahala bagi orang-orang yang membebaskan budaknya. Nabi bersabda, “Siapa saja memerdekakan seorang budak muslim, maka Allah menjanjikan akan membebaskan dengan setiap anggota tubuh budak itu, setiap anggota tubuhnya dari api neraka”. (HR.Abu Daud dan Nasai)
           
Para sahabat tidak mau ketinggalan dalam pelaksanaan amar ma’ruf ini, Abu Bakar As siddiq menginfakkan sejumlah hartanya untuk membeli budak-budak dari para pembesar Quraisy dan kemudian memerdekakannya.

2.    memerdekakan karena kaffarat
Ini adalah wasilah yang sangat penting dalam membebaskan para budak. Di dalam Al Quran banyak sekali kita dapati dalil yang memerintahkan membebaskan budak dengan cara seperti ini, yaitu membebaskan budak karena telah melakukan pelanggarn syariat Islam. Dan sudah pasti dalam realita, tidak sedikit yang membuat pelanggaran.  Artinya dengan cara ini Islam benar-benar ingin membebaskan budak sebanyak-banyaknya. Diantara sarana dalam membebaskan budak dengan cara kaffarat disebutkan dalam Al Quran :
Ø  Membunuh karena tidak bersalah (tidak disengaja). Maka baginya memerdekakan budak dan membayar diyat. Annisa :92.
Ø  Membunuh dari seorang kaum kafir yang berada dalam perjanjian damai dengan mereka. Maka kaffaratnya adalah dengan memerdekakan budak. Annisa 92.
Ø  Orang yang melanggar sumpah, kaffaratnya dengan memerdekakan budak. Al maidah :89.
Ø  Orang yang menzhihar istrinya, kemudian bertaubat, kaffaratnya dengan membebaskan budak. Al mujadalah :3.
Ø  Berhubungan dengan istri di siang hari ketika ramadhan, kaffartnya membesakan budak.

3.    Memerdekakan karena mukatabah
Memerdekakan karena keinginan budak sendiri, dengan cara membayar imbalan yang telah disepakati oleh tuan dan budak secara berangsur. Allah berfirman,” …dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang di karuniakan-Nya kepadamu...”.
4.    Memerdekakan budak atas tanggungan daulah/Negara
Ini termasuk sarana optimal dalam memerdekakan budak, karena negara yang turun langsung dan menghandle dalam memerdekakan budak. Islam telah menetapakan bagi negara dana khusus yang diambil dari dana zakat, dana ini disebut dalam Al Quran dengan dana “wafi rriqabi”. Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang  fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hambasahaya, untuk membebaskan orang-orang berutang, untuk jalan Alllah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah maha mengetahui, maha bijaksana”.

Sejarah mencatat di zaman khulafaurrasydin, mereka lah (pemerintah) yang langsung mendatangi pasar-pasar yang disana banyak budak yang diperjualbelikan, kemudian mereka membeli para budak tersebut dan membebaskannya.

Dalam suatu kesempatan Yahya bin Sa’id berkata, “Aku diutus oleh Umar bin Abdul Aziz untuk memberi sedekah kepada orang-orang di afrika, kemudian aku mengumpulkannya  dan mencari fuqara’, tetapi aku tidak mendapatkan seorang orang fakir dan orang yang berhak mendapatkan sedekah ini, karena Umar bin Abdul Aziz telah mencukupkan mereka, maka saya membeli sejumlah budak dan memerdekakannya”.
5.    Memerdekakan karena  “ummu walad”.
Ini juga wasilah dalam membebaskan budak. Ketika seorang perempuan menjadi budak seorang muslim, maka seorang muslim boleh memperlakukan budaknya sama seperti ia memperlakukan seperti isterinya. Jika mereka memperoleh anak dari hubungan mereka, maka dalam syariat hal ini  dianggap sebagai “ummu walad”.Dan majikan tersebut haram menjual budaknya kepada orang lain. Kemudian jika sang majikan ini meninggal dan budaknya belum dimerdekakan, maka secara otomatis budak tersebut menjadi merdeka.

Inilah salah satu perbedaan yang mendasar antara sistem perbudakan dalam islam dari sistem-sistem yang lain. Dimana para budak wanita hanya dijadikan pelayan dan pemuas nafsu bagi majikannya, hak-haknya dirampas. Mereka dihinakan, dan diperlakukan seperti hewan. Dengan seenaknya mereka menukar dan memberikan budak mereka pada orang lain. Tapi dalam Islam, hal ini tidak kita temukan dan tidak akan pernah kita temukan. Islam sangat menjaga dan menghormati para perempuan, walaupun status mereka adalah budak. Bagi budak perempuan, pintu-pintu menuju kebebasan sangat terang. Yaitu dengan jalan mukatabah, dan mereka akan bebas secara otomatis ketika majikannya telah meninggal dunia.
6.    Memerdekakan karena berbuat zalim
Sebagian fuqaha’ semisal hanabilah, memasukkan kategori ini, dalam wasilah memerdekakan budak. Sebagaimana Islam sangat menekankan sikap yang lemah lembut kepada para budak. Agar mereka bisa merasakan keberadaan dan status mereka sebagai manusia.

Begitu juga rasulullah saw, sangat membenci bagi siapa saja yang berlaku  kasar dan berbuat semena-mena terhadap budaknya. Suatu ketika rasulullah saw, melihat Ibn Mas’ud memukuli budaknya, kemudian rasulullah bersabda, ”Ketahuilah Ibn Mas’ud, Allah swt, telah menguasakan  budak ini kepadamu”. Dalam hadis lain nabi bersabda,” Barang siapa memukul budaknya, bukan karena kesalahan yang ia lakukan, maka kaffaratnya  adalah dengan memerdekannya”.(HR. Muslim).





Macam-macam budak dan pengertianya
  • Qinah, adalah budak perempuan yang dimiliki oleh seseorang beserta kedua orang tuanya. Dan kalau budaknya laki-laki disebut qinun.
  • Mudaabbaroh, adalah budak perempuan yang diomongi oleh majikanya demikian, ”Jika aku mati, maka engkau merdeka". Kalau budaknya laki-laki disebut mudabbar.”
  • Mastauladah, adalah budak perempuan yang dihamili oleh majikanya dan melahirkan anak dari hubungan seksual dengan majikannya
  • Mukatabah, adalah budak perempuan (kalau laki-laki disebut mukatab) yang akan dimerdekakan oleh majikanya apabila membayar sejumlah uang kepada majikanya dalam waktu yang telah ditentukan dengan jalan mengangsur.
  • Musytarokah, adalah budak perempuan yang dimiliki oleh lebih dari satu orang karena diwariskan oleh keluarganya yang meninggal dunia kepada ahli waris yang lebih dari satu orang atau karena ada dua orang yang membeli seorang budak perempuan dengan jalan syirkah.
  • Majusiyah, adalah budak perempuan yang menganut agama majusi, yaitu agama yang mengangap ada dua tuhan, yaitu: tuhan terang (Ormuz), dan tuhan gelap (Ahriman).
  • Murtadah, adalah budak perempuan yang telah memeluk agama Islam kemudian lari dari agama Islam.
Budak qin
   Hamba sahaya/amat yang mutlak kehambaannya atas tuannya.

Budak mudabbar
  Hamba sahaya/amat yang bebas atau merdeka menunggu kematian tuannya.

Budak mukatab
  Hamba sahaya/amat yang ingin merdeka dengan cara dibayar pada tuannya.

Budak maba'adl
  Hamba sahaya/amat yang separuh dari dirinya sudah merdeka.

Budak mu'alaq
  Hamba sahay/amat yang kemerdekaannya digantungkan dengan sesuatu sifat atau yang lainnya.

Budak musha bi ithqihi
  Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya disebabkan adanya wasiat dari tuannya.

Ummu walad
  Hamba sahaya/amat yang mempunyai keturunan dari tuannya.



Penutup.

Demikianlah sekilas pembahasan tentang perbudakan dalam Islam. Sebuah sistem perbudakan yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan.  Islam telah menunjukkan akan kesamaan derajat manusia, tanpa harus membagi-bagi antara kaya dan simiskin antara tua dan muda antara orang merdeka dan budak, karena yang paling mulia disi Allah adalah orang yang bertakwa.




[1][1] Syekh Abd. Aziz jawisy, Al islamu dinul fitrah wal  hurriyah, darul maarif .hal 88 
[2][2]Abdullah nashih U’lwan, Nidzamurriq fil islam, Dar el-salam. Hal 13
[3][3]  Ibid, U’lwan hal 11-12
[4][4] Foot note Manahilul irfan, sanggahan Syekh Muhammad Abd. Adzim Azzarqani, oleh Hani Al haj hal 341 jilid 2
[5][5] U’lwan, Op. cit hal. 23
[6][6] QS. Al hujurat : 13
[7][7]  Memotong disini maksudnya, memotong sebagian anggota badan, semisal memotong tangan, hidung, telinga.
[8][8] QS. Al Mu’min : 40
[9][9] Fiqih sunnah, sayyyd sabiq dar el fath lil I’lam arabiy, jilid 3 hal 430
[10][10] Annisa 36
[11][11] U’lwan, op. cit,  37
[12][12] QS. Al balad 11-13
[13][13]  Zihar yaitu mengatakan pada istrinya, kalau punggung istrinya sama dengan punggung ibunya.
[14][14] QS. Annur : 33
[15][15] QS.  At taubah : 60
[16][16] U’lwan Ibid, hal 60

Minggu, 24 November 2013

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI

bismillahirrokhmanirrokhim....

HUKUM TAKLIFI


A.    PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI
Menurut bahasa, hukum taklifi adalah hukum pemberian beban. Menurut istilah, hukum taklifi adalah ketentuan Allah swt. yang menuntut mukalaf (baligh dan berakal sehat) untuk melakukuan atau meninggalkan suatu perbuatan .
Pembagian-pembagian hukum taklifi, hukum Taklifi dibagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunnah, haram , makruh ,dan mubah.
1 . Wajib (Al-Ijab)
Wajib menurut Syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.
Contoh melalui lafadz :
Artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diajibkan atas orang-orang sebelum kamu.
Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
1).Wajib dari segi waktu
a. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
b.Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
2).Wajib dari segi orang yang mengerjakan
a.Wajib ‘aini
yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain. Contoh : sholat, puasa
b .Wajib kafai
yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau sakah seorang adayang mengerjakan gugur kewajiban yang lain. Contoh sholat mayit , amar ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.
3).Wajib dari segi kadar tuntutan .
a . Wajib Mukhaddat
yaitu perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang di wajibkan dan mukallaf dianggap belum melaksanakan kewajiban sebelum melaksanakan seperti apa yang diwajibkan syara’. Contoh sholat, zakat, dan lainnya.
b. Wajib Ghoiru Mukhaddat
yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan waktunya , san diwajibkan atas mukallaf tanpa paksaan. Contoh infaq dijalan Alloh ,menolong orang kelaparan, dan lainnya.
4).Wajib juga dibagi menjadi Mua’yan dan Mukhoyar
a. Mua’yan
yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
b. Mukhoyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
2. Sunnah /( An-Nadb)
Sunnah  adalah suatu perkara yang perintahkan oleh syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya .
Sighatnya mandub dapat diketahui dengan lafadznya seperti kata disunnahkan / dianjurkan atau sighot amar, tapi ditemui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu tidak keras.
Contoh ayat
Artinya : Hai orang – orang beriman, apabila kamu hutang piutang tidak secara tunai hendaklah kamu melunasinya.
Dalam ayat lain diterangkan :
Artinya : Maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu menulisnya.
Dari lafadz yang kedua diketahui melunasi hutang itu hanya mandub.
Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
1.     Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
2.     Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
3.     Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
3. Haram (At-Tahrim)
Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau dikerjakan mendapat aiksa kalau ditinggalkan mendapat pahala. Contoh ayat
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji.
Haram dibagi dua yaitu:
1.     Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
2.     Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.
4. Makruh (Al- Karahah)
Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.
Contoh ayat:
Artinya : Hai orang –orang yang beriman jangalah menanya hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
1.     Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
2.     Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
5. Mubah (Al-Ibahah)
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk memilih atau meninggalkannya .
Contoh ayat
Artinya : Dan apabila kamu telah menunaikan ibadah haji maka bolehlah berburu.
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
1.     Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
2.     Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
3.     Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
Lima macam hukum taklifi yang diterangkan diatas adalah pembagian menurut jumhurul ulama, namun menurut ulama hanafiyah dibagi menjadi tujuh. Tiga perkara yang dituntut ialah: fardlu, wajib, mandub, dan tiga perkara yang dilarang yaitu: haram, makruh tanzih, makruh tahrim, dan bagian yang ketujuh adalah mubah.
Perkara dikatakan fardlu bila dalil yang menunjukkannya dari Al Quran dan sunnah yang mutawatir, seperti sholat. Tapi kalau diterangkan dari nash dhonni seperti hadist ahad qiyas dianamakan wajib seperti bacaan fatihah dalam sholat. Kalau tuntutan tidak keras di namakan mandzub kalau larangannya keras dan dalilnya khot’I seperti Al-Quran dan Sunnah mutawatir dinamakan haram, contoh zina. Kalau dalilnya dzanni dinamakan karohiatuttahrim, kalau tidak keras dinamakn karohiatuttahrim tamzih, dan kalau tidak diterangkan hukumnya dinamakan mubah.
B.KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM TAKLIFI

a. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.

b. Fungsi Hukum Taklifi
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.
sumber tulisan: KITAB SYARAH WARAQAT '' karya imam HAROMAIN''  dalam bab hukum-hukum fiqih yang 7.
 di terjemahkan oleh : (Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) zainal mustofa Al-bustani...

wallahu a'lam bi showab...semoga bermanfa'at...