Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 September 2013

Pengertian Bid'ah Menurut Empat Imam Madzhab



إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ 
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa`i)
 Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi):
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat):
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara':
Cara yang pertama: cara atau jalan yang dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuataan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam;
1. Bid'ah wajib.
2. Bid'ah haram
3. Bidah sunah
4. Bid'ah makruh
5. Bid'ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah menegembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lih. Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk . (lih. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam. Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lih. Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
 Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i —sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi— bahwa beliau berkata, "Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua ketagori, pertama, perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela." (Riwayat Al Baihaqi. Lih. kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya`. 9/113)
 Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya` Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum), "Bid'ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh…" di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah). (lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)
 Adapun Ibnu Al Atsir berkata, "Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji… dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah. Karena itu hadits Nabi SAW, "Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah." Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lih. An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya: Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya. Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda, "Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya." Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula, "Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya." Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar, "Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik". Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih. Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku." Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…" Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah" dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lih. Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
 Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah:
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
a. Bid'ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
b. Bid'ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
c. Bid'ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
d. Bid'ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur`an.
e. Bid'ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan, ni'matil bid'atu hadzihi (ini sebaik-baik bid'ah).
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata: aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata, "Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal." Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata, "Ni'matil bid'atu hadzihi (inilah sebaik-baik bid'ah). Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam." (HR. Bukhari)
2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah, kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab, "Bid'ah". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
 Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama: pertama, seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
Kedua, pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.
Wallahu a'lam bi showab....

Rabu, 18 September 2013

Tafsir AQ Al-maidah ayat 44-47

Ayat ke 44

Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.  (5: 44)

Sebelum ayat ini telah dijelaskan mengenai sekelompok orang-orang Yahudi yang lari dari hukum Taurat dan mendatangi Nabi Muhamma Saw untuk meminta ketetapan hukum dari perbuatan maksiat yang mereka lakukan menurut  agama Islam. Mereka berharap akan memperoleh hukuman yang lebih ringan. Namun Nabi Muhammad Saw justru menetapkan hukuman bagi mereka sesuai dengan kitab Taurat.

Ayat ini dan ayat sesudahnya masih meneruskan pembahasan ini dan mengatakan, tidak saja para nabi, tapi para ulama Yahudi sesudah Nabi Musa as berkewajiban menetapkan hukum berdasarkan kitab Taurat. Mereka juga  bertanggung jawab dalam menjaga kitab dan hukum-hukum Ilahi. Mereka tidak boleh menyembunyikan atau mengubah hukum Ilahi dengan alasan penentangan masyarakat atau demi memperoleh kepentingan pribadi karena perbuatan seperti itu termasuk sejenis Kufur kepada Allah.

Ayat ini menjelaskan tanggung jawab yang berat para ulama rabbani dalam menjaga ajaran-ajaran  samawi, serta tetap kukuh dalam menentang keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak pada tempatnya, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari masyarakat luas. Bahkan mereka diseru untuk memberantas kepincangan, khurafat dan penyelewengan-penyelewengan.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.  Para ulama hendaknya melihat segala permasalahan dengan pandangan yang bijaksana. Mereka tidak boleh takut dari ancaman apapun dalam rangka menjaga ajaran  agama.
2.  Dengan adanya aturan dan undang-undang dari langit, maka aturan manusia merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus

Ayat ke 45

Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.  (5: 45)

Dari sisi lain, ternyata ulama dan pembesar Yahudi tidak menjelaskan dengan baik dan benar mengenai masalah qishas. Mereka selalu melaksanakan dengan pilih kasih dan diskriminatif. Mereka tidak menjalan hukuman qishas ini pada satu kabilah, tetapi melaksanakannya pada kabilah yang lain. Dengan menjelaskan masalah qishas yang juga ditetapkan di dalam Islam, al-Quran mengingatkan bahwa hukuman jenis ini juga telah disyariatkan dalam Kitab Taurat. Bahkan setiap berbuatan yang mengakibatkan orang lain terluka baik luka kecil maupun besar semua itu terdapat qishasnya. Dalam pelaksanakan hukum ini tidak ada diskriminasi antara bangsawan dan rakyat jelata.

Jika suatu masyarakat menolak hukum ini dan memilih hukum lain, maka mereka telah menzalimi diri sendiri. Tapi tidak boleh dilupakan bahwa memberikan maaf  kepada  orang lain atas kesalahan yang dilakukannya dalam segala kondisi sangatlah baik dan terpuji. Karena itu al-Quran mengatakan, siapapun yang melepaskan haknya artinya memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah pasti akan memaafkan kesalahan yang diperbuatnya

Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.Setiap orang sama di hadapan hukum Allah, baik dia miskin maupun kaya, kulit putih ataupun hitam bahkan bangsawan maupun rakyat jelata.
2.  Hukum qishas tidak hanya khusus dalam Islam. Sejak zaman Nabi Musa as hukum ini telah diberlakukan di kalangan masyarakat dan hingga saat inipun masih terus berlanjut.
3.  Sedekah tidak hanya merupakan infak berupa uang, memaafkan kekhilafan dan kesalahan orang lain juga merupakan sejenis sedekah.
4.  Islam sangat tegas dalam melaksanakan sanksi hukum terhadap para penjahat, tetapi senantiasa diiringi dengan rahmat dan kecintaan.
5. Sanksi membayar denda dan penjara saja masih belum cukup untuk mencegah timbulnya kejahatan. Pelaksanaan qishas merupakan penjamin keamanan masyarakat.

Ayat ke 46-47

Artinya:
Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu:  Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.  (5: 46)

Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.  (5: 47)

Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan hukum Allah dalam kitab Taurat dan orang-orang Yahudi kemudian dipesan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut sesuai dengan Taurat. Sementara dua ayat ini berbicara kepada orang-orang Kristen dan mengatakan, Injil adalah kitab Allah yang menjadi petunjuk dan pencerah, sekaligus menetapkan  hukum-hukum  yang ada pada kitab Taurat. Begitu juga terkait ciri nabi yang akan datang setelah Nabi Musa as memiliki kesesuaian dengan Nabi Isa as. Bila memang demikian adanya, kalian harus menaati semua ajaran yang ditetapkan di  dalam Injil dan janganlah kalian menolak serta mengingkari perintah-perintah Allah Swt. Karena jika demikian kalian akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang munafik.

Bagaimanapun juga, setiap yang disebutkan al-Quran tentang Taurat dan Injil, maka yang dimaksud adalah Taurat dan Injil yang belum diselewengkan. Sedangkan Taurat dan Injil yang sudah disimpangkan, maka ia tidak lagi memiliki sifat-sifat sebagai kitab pemberi petunjuk. Seandainya seseorang benar-benar mengamalkan ajaran kitab Taurat dan Injil, maka sudah tentu ia akan beriman pula kepada nabi akhir zaman yang kitab sucinya ialah al-Quran. Karena Taurat dan Injil yang sudah menyimpang dari aslinya sudah tidak dapat lagi diamalkan. Kalaupun seseorang mengamalkan ajaran Taurat dan Injil yang ada sekarang dengan baik dan benar, tetap saja Allah tidak menerimanya.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.  Semua kitab samawi mengajak dan menyeru manusia kepada kebersihan dan takwa. Karena itu hanya orang-orang yang bersih dapat menerima teladan dan pengaruh.
2.  Semua kitab samawi serta para nabi berada di jalan yang sama. Satu sama lain saling membenarkan, bahkan di  kalangan mereka tidak terdapat perselisihan dan pertentangan.
3.  Semua kitab samawi tidak hanya untuk dibaca, tetapi untuk diamalkan baik pada pribadi, keluarga dan masyarakat.

Senin, 16 September 2013

SINGA CAP WEDOS

  Tiap hari Facebookan membosankan juga ya...???? sekarang tak Nulis2 di bloger aja lah...wlpun di anggap tulisanku TANPO WATHON tdk masalah yg penting sedikit bisa menjadi inspirasi untuk melakukan hal yg positif'' selamat membaca.....
SINGA CAP WEDDOOOS,,,,!!! (KAMBING)

Al Kisah..

Tersebutlah seekor anak singa yang terpisah dari induknya sejak lahir. Ganasnya belantara membawanya kebingungan menyambung hidup di rimba raya. Akhirnya terdamparlah dia di satu kelompok kambing.. Karena si singa masih mungil, rombongan kambing tidak takut. Malah disambut
dan diterima hidup bersama ditengah kawanan kambing itu..

Akhirnya si singa belajar hidup sepenuhnya dari kambing... Dia belajar makan rumput, belajar mengembik, belajar hidup berkelompok ala kambing, bahkan mengadopsi perilaku dan tata cara hidup kambing keseluruhannya. Meskipun dengan
bersusah payah, karena dia memang bukan seekor kambing...

Setelah beberapa lama, jadilah dia seekor singa dewasa yang pinter bersuara embek-embek, doyan makan rumput, bahkan muntah-muntah ngliat daging, bermain dan bergaul dengan kambing dengan akrab, dan tentu saja kawanan kambing amat suka ria. Khusus pada singa ini, kawanan kambing tak perlu takut dan khawatir..

Syahdan.. Kabar berita perihal singa berperilaku kambing ini terdengar oleh sang Singa senior.. Tadinya sang singa senior tidak yakin kebenaran beritanya. Maka dicarinya singa cap kambing itu untuk melihat langsung. Diintainya kawanan
kambing yang ditengahnya ada singa cap kambing itu. Saat singa senior menampakkan diri, maka kawanan kambing itu segera ngibrit ketakutan. Termasuk singa cap kambing itu, karena dia melihat kawan-kawannya lari ketakutan saat melihat makhluk aneh, berambut gondrong, bertaring, dan
mengaum keras-keras...

Singa senior baru percaya. Ternyata ada juga singa cap kambing itu. Bukan hanya isapan jempol saja. Maka yang perlu dilakukan sang Singa senior adalah mengembalikan pemahaman singa cap kambing itu akan jati dirinya yang sesungguhnya. Agar bisa makan ala singa, mengaum ala singa, bergaul ala singa, dan hidup ala singa...

-

Siapakah yang dimaksud singa cap kambing dalam kisah di atas tsb ??

Singa cap kambing itu adalah gambaran mayoritas umat Islam sekarang ini Dari sejak lahir telah kehilangan identitas dan jati diri Islamnya. Cara merayakan kelahiran, cara menamai anak, cara mendidik, cara bergaul, cara berpakaian, dan bahkan cara hidupnya jauh dari Islam, dst.. Parahnya lagi.. Cara ibadahnya pun banyak yang melenceng dari islam, malah ada yang ikut2an agama lain..

Kenapa bisa sampai demikian son...?? piya jaall son...????

Karena rupanya sudah lama umat ini kehilangan induk. Akhirnya dipelihara dan dibesarkan dengan cara orang-orang yang cuma meniru, membebek, dan ikut-ikutan nenek moyang dan adat-adat daerah, bahkan masih ikut dan niru agama diluar islam... Satu-satunya yang masih Islam cuma agamanya.

Saat ada orang Islam yang sungguh-sungguh menjalani Islam yang murni dengan segala ajaran sunnahnya, atributnya, dan identitasnya, "singa cap kambing…" eh, orang Islam yang kehilangan jati diri ini, malah menganggapnya aneh, nyleneh, asing, bahkan mereka kadang sampai ketakutan... Ibarat kambing melihat singa sebagaimana dalam kisah diatas..

Keberadaan orang Islam yang kehilangan jati diri itu amat penting bagi kawanan "kambing" musuh Islam.. Kenapa musuh Islam sangat senang jika ada umat Islam yang meniru2 mereka ?? Apa tujuan mereka para musuh islam tsb ?? Apalagi kalo bukan menghilangkan jati diri umat Islam itu sendiri.. Mereka tak akan tersenyum puas hingga kelak Islam hanya tinggal nama..

Maka upaya mengembalikan jati diri keislaman akan selalu mendapat tantangan, perlawanan, bahkan cacian... Bahkan yang ada adalah upaya pengaburan jati diri itu sendiri..

Menunjukkan jati diri, menegakkan sunnah, dan menjauhi segala macam inovasi, renovasi, modifikasi, imitasi, dst (belajar untuk mengamalkan agama dengan baik), maka akan dianggap primordialisme (mbuh ki panganan opo…). Jenggot, celana cingkrang, jilbab panjang dlsb, dianggap cuma identitas arab, tak ada kaitannya sama Islam.. Maka orang lantas bicara soal esensi. Identitas dhohir tak perlu, yang penting esensinya apa.

Ada orang membahas dan mengajak ke sunnah malah dianggap gak tau jaman, ada yang melakukan Jaulah dari rumah ke rumah untuk mengajak sholat berjama'ah,untuk meramaikan masjid malah di anggap orang bodoh kok berdakwah .., Bukankah Umat pada jaman Nabi adalah generasi terbaik yang seharusnya dijadikan tauladan..????

bahkan  ibarat saat ini setiap orang pun tahu, jus jeruk dengan jus rasa jeruk itu beda. Jus jeruk adalah jeruk yang dibikin jus, sehingga 100 persen kandungannya adalah tetep jeruk, hanya saja terblender jadi jus.

Sedangkan jus rasa jeruk, itu hanyalah minuman bergula, bahkan gulanya pun tak alami, ditambahi esens dan aroma jeruk.

Yang satu menyehatkan, yang satu bisa meracuni !!

Ajaran islam dengan segala penegakan sunnah dan atributnya tentunya lain dengan ajaran yang cuma diambil esensinya saja,.. Apalagi dengan ajaran2 yang sudah terkontaminasi dengan ajaran2 diluar islam.. Meskipun ada beberapa ajaran Islam yang memang bisa sekedar diambil esensinya, tapi tentu saja mendatangkannya secara utuh akan lebih baik.

Ha wong umat Islam itu disuruh Islam secara kaffah. Kaffah itu ya keseluruhan. Dari rasa, warna, aroma sampai sak ampasnya, semuanya Islam.. Sedangkan yang cuma diambil esensnya saja trus dicampuri tetek bengek racun dan campur aduk yang akhirnya rasa, aroma, warna dan wujudnya menyerupai aslinya,.. tetep itu bukan Islam yang sesungguhnya... Ya tho ??
 Bukankah kita di suruh untuk menerima syari'at islam ini secara Kaffah,,,secara Kulliyah...'' tidak boleh secara parsial=separo separo...????

Nah.. Itu sedikit cerita tentang Singa cap trenggiling.. Eeeh.. Singa cap kucing.. Hayyaah...'' keliru maning...'' maksude nyong ki Singa cap Kambiiing !! aliyas WEDDDOOOSSS.....!!!''

Lha sekarang monggo, silakan diambill yang benernya saja...oke son...????

Jumat, 13 September 2013

Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa sampai Muhammad beragama Islam |

Nabi Isa merupakan salah satu Nabi dan Rasul Islam. Ia beragama Islam. Ia Muslim serta menyebarkan agama Islam kepada kaumnya. Ia bukanlah orang Kristen, karena agama Kristen dan penuhanan Nabi Isa baru ada 3 abad setelah pengangkatan beliau. Agama Kristen, dan pengangkatan serta pelantikan Isa sebagai tuhan hanya melalui permusyawaratan antar-manusia pada Konsili Nicea pada di ke-3 M.

Nabi Isa adalah manusia biasa, layaknya kita, ia makhluk Allah yang diciptakan dengan tiupan roh dan firman Allah: "kun" (jadilah!), maka kehendakNya pun terjadi. Sebagaimana pula kita diciptakan dengan roh dan firman Allah: kun! (jadilah!) maka kitapun terjadi.

Ia lahir dari rahim seorang gadis perawan yakni Siti Maryam. Maryam adalah seorang muslimah yang berakhlak mulya dan tak tersentuh oleh lelaki yang bukan muhrim, yang diasuh oleh Nabi Zakariya. Saat dewasa Maryam suka menyendiri di tempat ibadah, tepatnya di Masjidil Aqsa.

Sejak dalam buaian, Isa dapat berbicara. Mukjizat ini Allah berikan, karena setelah melahirkan, Maryam berpuasa dari berbicara. Sehingga Maryam menunjukkan pada Isa di saat dituduh telah berzinah. Isa pun berkata dalam buaiannya:

''Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi yang di berkati di manapun aku berada, dan Dia (ALLAH) memerintahkankuuntuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup''.
(Q.s;maryam/19:30-31)

Setelah Nabi Isa diangkat menjadi Nabi dan Rasul, ia menyiarkan agama Islam pada kaum Yahudi. Ia mengajak kaum Yahudi agar kembali menyembah Allah serta menjauhi taghut (sesembahan selain Allah).

Nabi Isa juga mengajarkan shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu sebagaimana syariat Nabi Ibrahim, terhadap mereka. Salah satu ajarannya pula memberi kabar akan datangnya Nabi Muhammad.

“Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku,yaitu Taurat danmemberi kabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku yaitu Ahmad (Muhammad).”

Diantara mereka yang masuk Islam adalah ke-12 sahabat Isa dari Al-Hawariyyin, Israel. Mereka adalah Muslim. Mereka tidaklah menyembah Nabi Isa, melainkan menyembah Allah Yang Maha Esa, sebagaimana disebut di dalam Al-Qur'an.

"Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan agama Allah?"
Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong agama Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang MUSLIM" (QS. Ali'Imran:52)

Sebenarnya, Islam sudah ada sejak Nabi Adam diciptakan. Allah hanya menurunkan dan meridhai Islam. Setiap Nabi itu "Ma'shum" alias dijaga dari melakukan maksiat, apalagi melakukan kekafiran, apalagi menganggap dirinya taghut (sesembahan selain Allah). Mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, mereka mengajarkan untuk menyembah dan berserah diri kepada Allah (Muslim).

Penuduh menyangka bahwa Islam ada sejak 7 Masehi. betapa minim nya pengetahuan penuduh akan Islam. Perlu penuduhmengetahui Islam itu sudah ada jauh sebelum zaman nabi Muhammad. Islam itu artinya berserah diri, jadi mulai Adam, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Dawud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad dan semua para nabi dan rasul itu hanya berserah diri kepada Allah.
Nabi Muhammad hanya sebagai Penerus ajaran Islam sebagai Mana Firman Allah.
Firman Allah swt: “Muhammad itu sekali-kalibukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab:40)
serta Hadis Nabi:
“Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku,” sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam, “Ialah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan. Kemudian ia memperindah dan mempercantik bangunan tersebut, kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum dan berkata, ‘Amboi, jika batu bata ini diletakkan?’.

Nabi Isa disalib bukan karena ia ingin menebus dosa warisan dari Adam, melainkan karena ia menyebarkan agama Islam yang hanif (lurus). Pemerintah Romawi tidak menyukai kehadiran Nabi Isa yang dianggap membahayakan imperium mereka. Mereka bermaksud membunuh Nabi Isa.
Salah seorang murid Nabi Isa yang bernama Yudas berkhianat. Dialah yang menunjukkan tempat persembunyian Nabi Isa. Tetapi Allah melindungi Nabi Isa, beliau diangkat kelangit. Sedang Yudas yang berkhianat diserupakan wajah dan penampilan seperti Nabi Isa, maka Yudaslah yang ditangkap dan disalib tentara Romawi. Ajaran penebusan dosa dalam ajaran Kristen, merupakan kelanjutan episode ajaran Pagan, yang diadopsi oleh st. Paulus, seorang Yahudi yang kebetulan paham dengan ajaran Pagan Yahudi, Yunani, dan Romawi.

Allah juga membantah tuduhan kaum kafir, yang menuduh Nabi Ibrahim beragama Yahudi ataupun Nasrani. Melainkan beliau adalah Muslim.

Dari Nabi Ibrahim Sampai Nabi Isa


Dari Nabi Ibrahim Sampai Nabi Isa


 


Untuk periode tersebut, Bibel tidak memberi  keterangan
angka-angka   yang   dapat   menyampaikan  kita  kepada
evaluasi tepat  sebagaimana  kita  mendapat  keterangan
mengenai nenek moyang Nabi Ibrahim dari Kitab Kejadian.
Untuk  mengukur  waktu  yang  memisahkan  antara   Nabi
Ibrahim  dan  Nabi  Isa, kita harus mencari bantuan dan
sumber lain.
 
Pada waktu ini orang menempatkan  Nabi  Ibrahim  kurang
lebih  18  abad  S.M.  Hal  ini jika digabungkan dengan
keterangan  Kitab  Kejadian  mengenai  perbedaan  waktu
antara  Nabi  Ibrahim dan Nabi Adam, akan memberi hasil
bahwa Adam hidup 38 abad sebelum Nabi Isa.  Perhitungan
ini  sudah  terang  salah. Kesalahannya disebabkan oleh
perhitungan  Bibel  mengenai  waktu  antara  Adam   dan
Ibrahim,  yaitu  perhitungan yang dijadikan dasar untuk
membikin kalender Yahudi. Pada  waktu  ini  kita  dapat
membantah  mereka  yang  mempertahankan kebenaran Bibel
dengan menunjukkan kepincangan antara ilmu  pengetahuan
modern  dengan  perkiraan  khayalan yang dilakukan oleh
pendeta-pendeta   Yahudi   abad   VI    S.M.;    selama
berabad-abad  perkiraan pendeta tersebut selalu menjadi
dasar hubungan antara zaman sejarah  kuno  dengan  Nabi
Isa.
 
Bibel  yang diterbitkan sebelum zaman modern menyajikan
kronologi  kejadian-kejadian  yang   terjadi   semenjak
penciptaan  alam  sampai  waktu Bibel tersebut dicetak.
Kronologi tersebut biasanya  dimuat  dalam  suatu  kata
pengantar  yang  mengandung  angka-angka  yang  sedikit
berlain-lainan menurut waktu pencetakan Bibel tersebut.
Sebagai    contoh,   Vulgate   Clement   (tahun   1621)
menempatkan Ibrahim pada  waktu  yang  lebih  kuno  dan
menempatkan  penciptaan  alam  pada  abad  XL SM. Bibel
Walton yang dicetak pada abad  XVII  menyajikan  kepada
pembacanya,  suatu  tabel yang mirip dengan tabel nenek
moyang Nabi Ibrahim, sebagai tambahan kepada teks dalam
beberapa   bahasa;  pada  umumnya  perkiraannya  sesuai
dengan angka-angka yang tersebut dalam tabel yang  kita
muat.
 
Pada    zaman    modern,   orang   tidak   lagi   dapat
mempertahankan  kronologi  khayalan  yang  bertentangan
dengan   ilmu   pengetahuan  modern  yang  telah  dapat
membuktikan bahwa penciptaan alam  telah  terjadi  pada
waktu  yang  sangat  jauh  lebih  dahulu.  Tetapi orang
merasa puas hanya dengan menghilangkan  kata  pengantar
dan  tabel,  dan  tidak  berani  mengatakan kepada para
pembaca tentang kelemahan  teks  Bibel  yang  dijadikan
dasar  untuk  membuat  tabel,  sehingga  teks Bibel tak
dapat dianggap mengatakan kebenaran. Orang  lebih  suka
memasang  tabir, dan mencari cara untuk berdebat secara
halus agar teks Bibel  tersebut  dapat  diterima  tanpa
dikurangi.
 
Karena  inilah maka silsilah keturunan (genealogi) teks
Sakerdotal  sampai  sekarang  masih  dihormati   orang,
meskipun orang pada abad XX ini tak dapat lagi menerima
dasar-dasar khayalan.
 
Mengenai tahun munculnya manusia di  atas  bumi,  hasil
pengetahuan modern baru dapat memberi penjelasan sampai
batas tertentu. Kita dapat merasa yakin  bahwa  manusia
telah ada di atas bumi ini, dengan kekuatan berfikirnya
dan   kekuatan   bertindaknya,   dua   kekuatan    yang
membedakannya daripada binatang-binatang yang bentuknya
hampir serupa manusia, yaitu  dalam  waktu  yang  lebih
mutakhir  pada  periode yang dapat diperkirakan, tetapi
tidak dengan kepastian yang mutlak.
 
Orang sudah dapat mengatakan sekarang bahwa bekas-bekas
manusia  yang  berfikir  dan bertindak telah ditemukan,
dan umur bekas-bekas  itu  dapat  diukur  dengan  jarak
puluhan ribu tahun.
 
Penetapan  perkiraan  waktu  ini ada hubungannya dengan
type manusia prasejarah yang telah diungkapkan  sebagai
yang   paling   baru,  seperti  manusia  neo-Anthropien
(cromagnon).  Memang  ada  bekas-bekas   lain   tentang
manusia  telah  diungkapkan  di  beberapa tempat, yaitu
mengenai  manusia   yang   kurang   berevolusi   (paleo
Anthropies)  yang  diperkirakan  umurnya  sudah ratusan
ribu tahun. Tapi apakah mereka itu betul manusia?
 
Bagaimanapun juga,  bukti-bukti  ilmiah  adalah  pasti,
mengenai  neo-Anthropien,  mereka  adalah sebelum zaman
manusia pertama yang dilukiskan  oleh  Kitab  Kejadian.
Dengan   begitu   maka   terdapat   kepincangan  antara
angka-angka yang tersebut dalam Kitab Kejadian mengenai
munculnya  manusia  di  atas  bumi  dengan  pengetahuan
ilmiah yang sudah pasti di waktu ini.



BIBEL, QUR-AN, dan Sains Modern Dr. Maurice Bucaille   Judul Asli: La Bible Le Coran Et La Science Alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasyidi Penerbit Bulan Bintang, 1979 Kramat Kwitang I/8 Jakarta

Silsilah Nabi Muhammad saw Keturunan Nabi Ibrahim as

Nabi Muhammad s.a.w. merupakan Nabi dan Rasul yang terakhir diutuskan oleh Allah SWT bagi menjadi model terulung untuk seluruh alam serta kedatangannya juga adalah untuk "Menyempurnakan Akhlak" (Makarrimal Akhlak) manusia. Nabi Muhammad SAW merupakan keturunan kepada Nabi Allah Ismail dan Nabi Allah Ibrahim.Berikut merupakan kronologi salasilah keturunan berikut diterangkan penama-penama yang merupakan atuk moyang kepada Baginda Nabi Muhammad SAW:
  • Nabi Muhammad s.a.w. (Muhammad bin Abdullah)
  • Abdullah bin Abdul Muttalib
  • Abdul Mutallib bin Hashim
  • Hashim bin Abdul Manaf
  • Abdul Manaf bin Qusai
  • Qusai bin Kilab
  • Kilab bin Murrah
  • Murrah bin Kaab
  • Kaab bin Luay
  • Luay bin Ghalib
  • Ghalib bin Fahr
  • Fahr bin Malik
  • Malik bin An-Nadr
  • An-Nadr bin Kinanah
  • Kinanah bin Khuzaimah
  • Khuzaimah bin Mudrikah
  • Mudrikah bin Elyas
  • Elyas bin Mudar
  • Mudar bin Nizar
  • Nizar bin Ma'ad
  • Ma'ad bin Adnan
  • Adnan bin Add (diriwayatkan merupakan Pemerintah Pertama bagi kota suci Makkah)(lahir tahun 122 SM)
  • Add bin Humaisi
  • Humaisi bin Salaman
  • Salaman bin Aws
  • Aws bin Buz
  • Buz bin Qamwal
  • Qamwal bin Obai
  • Obai bin Awwam
  • Awwam bin Nashid
  • Nashid bin Haza
  • Haza bin Bildas
  • Bildas bin Yadlaf
  • Yadlaf bin Tabikh
  • Tabikh bin Jahim
  • Jahim bin Nahish
  • Nahish bin Makhi
  • Makhi bin Ayd
  • Ayd bin Abqar
  • Abqar bin Ubayd
  • Ubayd bin Ad-Daa
  • Ad-Daa bin Hamdan
  • Hamdan bin Sanbir
  • Sanbir bin YathRabi
  • YathRabi bin Yahzin
  • Yahzin bin Yalhan
  • Yalhan bin Arami
  • Arami bin Ayd
  • Ayd bin Deshan
  • Deshan bin Aisar/Aizar
  • Aisar bin Afnad
  • Afnad bin Aiham
  • Aiham bin Muksar
  • Muksar bin Nahith
  • Nahith bin Zarih
  • Zarih bin Sani
  • Sani bin Wazzi
  • Wazzi bin Adwa'
  • Adwa' bin Aram
  • Aram bin Haidir
  • Haidir bin Ismail (anak Nabi Allah Ismail) (dipanggil Kedar dalam Injil Kristian)
  • Ismail bin Ibrahim (Ishmael bin Abraham) (Nabi Ismail a.s.)
  • Ibrahim bin Azar (Nabi Ibrahim a.s.)

Kamis, 12 September 2013

Asal Usul Hajar Aswad

Asal Usul Hajar Aswad

Oleh Fafa Al-faqier Al-khaqier


hajar aswad close up 490x326 Asal Usul Hajar Aswad
HAJAR Aswad adalah batu hitam yang terletak di sudut sebelah Tenggara Ka’bah, yaitu sudut dari mana Tawaf dimulai. Hajar Aswad merupakan jenis batu ‘ruby’ yang diturunkan Allah dari surga melalui malaikat Jibril. Hajar Aswad terdiri dari delapan keping yang terkumpul dan diikat dengan lingkaran perak. Batu hitam itu sudah licin karena terus menerus dikecup, dicium dan diusap-usap oleh jutaan bahkan milyaran manusia sejak Nabi Adam, yaitu jamaah yang datang ke Baitullah, baik untuk haji maupun untuk tujuan Umrah.
Hadist Sahih riwayat Imam Bathaqie dan Ibnu ‘Abas RA, bahwa Rasul SAW bersabda: “Allah akan membangkitkan Al-Hajar (Hajar Aswad) pada hari kiamat. Ia dapat melihat dan dapat berkata. Ia akan menjadi saksi terhadap orang yang pernah memegangnya dengan ikhlas dan benar”.
Hadis tersebut mengatakan bahwa disunatkan membaca do’a ketika hendak istilam (mengusap) atau melambainya pada permulaan thawaf atau pada setiap putaran, sebagai mana, diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA.  “Bahwa Nabi Muhammad SAW datang ke Ka’bah lalu diusapnya Hajar Aswad sambil membaca Bismillah Wallahu Akbar”.
ASAL – USUL HAJAR ASWAD
Ketika Nabi Ibrahim a.s bersama anaknya membangun Ka’bah banyak kekurangan yang dialaminya. Pada mulanya Ka’bah itu tidak ada bumbung dan pintu masuk. Nabi Ibrahim a.s bersama Nabi Ismail mau membangunnya dengan meninggikan bangunannya dan mengangkut batu dari berbagai gunung. setelah bangunan Ka’bah itu hampir selesai, ternyata Nabi Ibrahim masih merasa kekurangan sebuah batu lagi untuk diletakkan di Kaabah.
Nabi Ibrahim berkata pada Nabi Ismail, “Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia.”
Kemudian Nabi Ismail a.s pun pergi dari satu bukit ke satu bukit untuk mencari batu yang baik dan sesuai. Ketika Nabi Ismail a.s sedang mencari batu di sebuah bukit, tiba-tiba datang malaikat Jibril a.s memberikan sebuah batu yang cantik. Nabi Ismail dengan segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim a.s. merasa gembira melihat batu yang sungguh cantik itu, beliau menciumnya beberapa kali. Kemudian Nabi Ibrahim a.s bertanya, “Dari mana kamu dapat batu ini?”
Nabi Ismail berkata, “Batu ini kuterima dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril).”
Nabi Ibrahim mencium lagi batu itu dan diikuti oleh Nabi Ismail a.s. Sehingga sekarang Hajar Aswad itu dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah. Siapa saja yang bertawaf di Ka’bah disunnahkan mencium Hajar Aswad.
Hadis Siti Aisyah RA mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda: “Nikmatilah (peganglah) Hajar Aswad ini sebelum diangkat (dari bumi). Ia berasal dari surga dan setiap sesuatu yang keluar dari surga akan kembali ke surga sebelum kiamat.”
Umar bin Khatabpun juga pernah mengatakan “Aku tahu bahwa kau hanyalah batu, kalaulah bukan karena aku melihat kekasihku Nabi SAW menciummu dan menyentuhmu, maka aku tidak akan menyentuhmu atau menciummu.

Selasa, 10 September 2013

Pentingnya Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal

Pentingnya Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal

(Oleh: Fafa Al-faqier Al-khaqier)selasa 10-09-2013

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, kalau kita membicarakan Ilmu dalam islam, maka kita membicarakan sesuatu yang tidak ada habisnya untuk di bahas. Sejarah mencatat, kehidupan umat manusia sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah jauh dari petunjuk ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan, karena itulah masa tersebut masa jahiliyah, yaitu masa kebodohan.
Ketika keadaaan manusia seperti itu maka Allah pun menurunkan Rasul-Nya, dengan membawa bukti keterangan yang jelas, supaya Rasul tersebut bisa membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang berderang dengan keterangan yang sangat jelas, dengan bukti-bukti yang sangat jelas, Allah ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (yaitu syaithan dan apa saja yang disembah selain dari Allah ta’ala) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Islam adalah agama yang sarat (penuh) dengan ilmu pengetahuan, karena sumber ilmu tersebut adala wahyu yang Allah ta’ala turunkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perantara malaikat Jibril ‘alaihis salam. Allah ta’ala Berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An-Najm: 3-4) Dengan ilmu inilah Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang terakhir dan sekaligus Rasul yang diutus kepada umat manusia dan jin. Maka ketika Rasulullah wafat, beliau telah mengajarkan ilmu yang paling bermanfaat dari wahyu Allah ta’ala, ilmu yang sempurna, ilmu yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup untuk kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Ilmu Dahulu Sebelum Amal
Imam besar kaum muslimin, Imam Al-Bukhari berkata, “Al-’Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali”, Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat…, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya, tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Ucapan ini beliau katakan ketika memberi judul suatu Bab di dalam kitab beliau “Shahihul Bukhari” dalam kitab Al-Ilmu.
Pentingnya Ilmu Agama
Berikut ini adalah penjelasan singkat dari sebagian Ulama berkaitan dengan perkataan Al-Imam Al-Bukhari di atas:
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin berkata: “Al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan ayat ini (Muhammad: 16) atas wajibnya mengawali dengan ilmu sebelum berkata dan beramal. Dan ini merupakan dalil atsari (yang berdasarkan periwayatan) yang menunjukkan atas insan bahwa berilmu terlebih dahulu baru kemudian beramal setelahnya sebagai langkah kedua. Dan juga di sana ada dalil ‘aqliyah (yang telah diteliti) yang menunjukkan atas ‘ilmu sebelum berkata dan beramal’. Hal itu karena perkataan dan amalan tidak akan benar dan diterima sehingga perkataan dan amalan tersebut mencocoki syariat, dan manusia tidaklah mungkin mengetahui bahwa amalnya mencocoki syariat kecuali dengan ilmu.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh ‘Utsaimin)
Asy-Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh berkata, “Ilmu itu jika ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka akan diberkahi pelakunya meskipun perkaranya kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu, walaupun bisa jadi perkaranya itu sebesar gunung, akan tetapi itu semua tidaklah di atas jalan keselamatan…Karenanya kami katakan, Jadikanlah ilmu tujuan penting dan utama, jadikanlah ilmu tujuan penting dan utama, ilmu di mulai sebelum yang lain, khususnya ilmu yang membuat ibadah menjadi benar, ilmu yang meluruskan aqidah, ilmu yang memperbaiki hati, ilmu yang menjadikan seseorang berjalan dalam amalannya sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan di atas kebodohan.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh Abdul Aziz, Maktabah Syamilah)
Ibnu Baththal berkata, “Suatu amal tidak teranggap kecuali di dahului oleh ilmu, dan maksud dari ilmu ini adalah ilmu yang Allah janjikan pahala padanya”. Ibnu Munir berkata, “Imam Al-Bukhari bermaksud dengan kesimpulannya itu, bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat, di mana niat itu akan memperbaiki amalan.” (Dinukil dari Taisirul Wushul Ila Nailil Ma’mul, Syarh Tsalatsatul Ushul)
Pelajaran yang dapat kita petik adalah, kita hendaknya “Berilmu sebelum berkata dan beramal” karena ucapan dan perbuatan kita tidak akan ada nilainya bila tanpa ilmu, amalan yang banyak yang kita lakukan bisa tidak teranggap di sisi Allah kalau tidak didasari dengan Ilmu.
Anjuran Berilmu Agama
Dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat begitu banyak anjuran yang memerintahkan agar kita berilmu agama. Bahkan sesungguhnya Allah ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya. Menyiapkan bagi siapa saja yang berjalan di atas titian ilmu tersebut balasan yang baik, pahala, ganjaran, Allah ta’ala mengangkat derajat kedudukan mereka di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Keutamaan Ilmu Agama, Pencarinya, dan Ulama
Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, sudah suatu kepastian bahwa setiap manusia pada asalnya adalah bodoh, dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Namun hendaknya setiap pribadi muslim tidak membiarkan dirinya terus menerus dalam keadaan bodoh akan ilmu agamanya sendiri. Sebab kebodohan itu apabila terus menerus dipelihara dapat mengantarkannya kepada kehinaan dan kerugian yang besar. Sebaliknya ilmu agama islam ini adalah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan seseorang meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhiratnya.
Berikut ini di antara motivasi yang Allah dan Rasul-Nya tunjukkan akan betapa mulianya ilmu:
1. Pencari ilmu akan Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim)
2. Orang yang dikaruniai ilmu agama merupakan tanda kebaikan dari Allah ta’ala baginya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan memahamkan ilmu agama kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dari hadits ini kita bisa mengambil kesimpulan, seseorang yang tidak Allah berikan pemahaman agama kepadanya maka ini merupakan tanda Allah tidak menginginkan kebaikan kepadanya, dan sebaliknya seorang yang paham dengan agama Allah merupakan tanda kebaikan pada dirinya.
3. Ulama adalah pewaris para Nabi. “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham (harta) akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya maka sungguh ia telah mendapatkan bagian yang sangat banyak.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud dan At-Tirmidzi)
4. Seorang yang berilmu adalah cahaya yang menjadi petunjuk bagi manusia dalam urusan agama maupun dunia, bila seorang ulama meninggal maka itu adalah musibah yang dialami kaum muslimin. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu secara langsung dari hati hamba-hambanya akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika Allah tidak lagi menyisakan ulama, jadilah manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh sebagai ulama, mereka bertanya kepadanya dan ia pun menjawab tanpa ilmu sehingga ia sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Rasulullah Berdoa kepada Allah agar ditambahkan ilmu agama. Cukuplah kemuliaan bagi ilmu dengan Allah ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi pilihan untuk berdoa meminta tambahan ilmu, bukan meminta tambahan harta atau yang selainnya dari perkara dunia, Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), “Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu bagiku.” (QS. Thaha: 114)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan ucapan para Ulama dalam hal ini, namu cukuplah apa yang telah kami sebutkan di atas untuk mewakili banyaknya keutamaan-keutamaan tersebut.
Ilmu Apa Yang Wajib Dipelajari
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk di amalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk di amalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu tentang tauhid, tentang 2 kalimat syahadat, ilmu tentang iman, adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu tentang shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari, kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini, akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, maka ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari, karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat, kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itu amalan yang benar, adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik, kita berlindung dari berbuat syirik kepada Allah ta’ala.
Mewaspadai Bahayanya Kebodohan
Pembaca kaum muslimin yang dimuliakan Allah, demikianlah beberapa bentuk kemuliaan yang Allah ta’ala berikan terhadap para pemilik ilmu sehingga tidak sama kedudukannya dengan mereka yang tidak memiliki ilmu. Allah ta’ala berfirman: “Katakanlah (ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (jahil)?.” (QS. Az-Zumar: 9)
Sebaliknya orang yang jahil akan ilmu agama-Nya disebutkan oleh Allah ta’ala sebagai seorang yang buta yang tidak bisa melihat kebenaran dan kebaikan. Allah ta’ala berfirman, “Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu adalah al-haq (kebenaran) sama dengan orang yang buta? (tidak mengetahui al-haq).” (QS. Ar-Ra’d: 19)
Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya memiliki penglihatan dan pandangan yang hakiki hanyalah orang-orang yang berilmu. Adapun selain mereka hakikatnya adalah orang yang buta yang berjalan di muka bumi tanpa dapat melihat. Allah ta’ala berfirman: “Tidak sama antara penghuni an-nar dengan penghuni al-jannah.” (QS. Al-Hasyr: 20)
Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa berilmu sebelum berkata dan beramal. Semoga Allah menolong kita untuk meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat dengan mempelajari ilmu agama islam yang benar yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah bimbingan Ulama Pewaris Nabi. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

(Fafa Al-faqier Al-khaqier) 

Selasa, 03 September 2013

Kewajiban Seorang Hamba Adalah Bersyukur Serta Tidak Kufur niqmat


Memang benar jika dikatakan bahwa sebagian besar manusia itu adalah orang yang tidak mau bersyukur atau tidak pandai berterima kasih. Bagaimana tidak, ketika Alloh Ta’ala telah begitu banyak memberinya nikmat, baik yang sifatnya dzohir maupun batin, hal itu tidak membuat mereka sadar dan tergerak untuk semakin menambah ibadah mereka kepada Alloh. Meskipun bukan berarti Alloh butuh terhadap ibadah tersebut sebagai balasan atas nikmat yang telah Alloh berikan. Bahkan sebaliknya, kenikmatan itu justru membuat mereka semakin jauh dari ibadah kepada Alloh Ta’ala. Lalu bagaimana sikap yang benar yang harus dilakukan oleh seorang hamba?
Kewajiban Seorang Hamba Adalah Bersyukur Serta Tidak Kufur
Banyak sekali dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan melarang kita untuk kufur terhadap nikmat-Nya.
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku.” (QS. 2: 152)
Syaikh Abdurrahman Naashir As-Sa’di rohimahulloh berkata, “Yakni bersyukurlah kalian terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada kalian dan juga terhadap tercegahnya adzab dari kalian. Di dalam syukur harus terkandung pengakuan dan kesadaran bahwa nikmat itu semata-mata dari Alloh semata, dzikir dan pujian yang diucapkan melalaui lisannya serta ketaatan anggota badannya untuk semakin tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Beliau menambahkan, “Dan karena lawan dari syukur adalah kufur, maka Alloh Ta’ala telah melarang darinya: ‘Dan janganlah kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku’. Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah sesuatu yang menjadi lawan dari syukur, yakni kufur terhadap nikmat-Nya. Namun terkandung juga di dalamnya, makna kufur yang sifatnya umum, yang paling besar adalah kufur kepada Alloh, kemudian berbagai macam dan jenis maksiat.” (Taisir Karimir Rohman)
Di tempat lain Alloh juga berfirman yang artinya, “Mereka mengetahui nikmat-nikmat Alloh, (tetapi) kemudian mereka meningkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 16: 83)
Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang, ‘Ini adalah harta kekayaan yang diwariskan oleh nenek moyangku’. Aun bin Abdulloh mengatakan, “Yakni kata mereka, ‘Kalau bukan karena fulan tentu tidak akan menjadi begini’.” Dan menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, “Mereka mengatakan, ‘Ini berkat syafaat sesembahan-sesembahan kita’.” (Kitaabut Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimy)
Segala Nikmat yang Kita Terima adalah Murni Datangnya dari Alloh
Alloh berfirman yang artinya, “Dan tidak ada kenikmatan yang ada pada kalian kecuali datangnya dari Alloh.” (QS. 16: 3). Syaikh Sholih Alusy-Syaikh hafidzohulloh berkata, “Ini adalah dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan bahwa nikmat apa saja itu adalah dari Alloh, karena lafadz ‘nikmat’ dalam ayat ini datang dalam bentuk ‘nakiroh’ dan dalam konteks penafian. Sehingga ketika lafadz ‘nikmat’ dalam ayat ini menunjukkan sesuatu yang umum (maksudnya nikmat apa saja -ed), maka tidak bisa dikecualikan darinya suatu macam nikmat tertentu itu datangnya selain dari Alloh. Maka nikmat apa saja, baik yang besar maupun yang kecil, yang banyak maupun yang sedikit, itu semua datangnya dari Alloh semata.
Adapun hamba hanyalah merupakan sebab sampainya nikmat tersebut ke tangan mereka atau kepadamu. Apabila ada hamba yang menjadi sebab terselamatkannya dirimu dari kesusahan atau menjadi sebab dalam keberhasilanmu, maka tidaklah menunjukkan bahwa hamba tersebut adalah waliyyun ni’mah (yang memberikan nikmat), kerena sesungguhnya waliyyun ni’mah hanyalah Alloh Azza wa Jalla. Keyakinan seperti ini termasuk kesempurnaan tauhid seorang hamba, karena seorang muwahhid (orang yang sempurna tauhidnya) akan meyakini dengan seyakin-yakinnya di dalam hatinya bahwa di sana tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan mudhorot kecuali hanyalah Alloh Robbul ‘alamin.” (At Tamhid Lii Syarhi Kitabit Tauhid).
Menjadi Hamba yang Bersyukur
Syukur merupakan salah satu maqom (derajat) yang tinggi dari seorang hamba. Rasa syukur itulah yang dapat membuat seorang hamba menjadi sadar dan termotivasi untuk terus beribadah kepada Alloh. Seperti yang diceritakan dari Nabi bahwasanya beliau sholat malam sampai bengkak kakinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan ini wahai Rosululloh, padahal sungguh Alloh telah mengampuni seluruh dosa-dosamu baik yang telah lewat ataupun yang akan datang?” Maka Rosululloh menjawab, “Tidakkah aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur?” (HR. Bukhori dan Muslim)
Sehingga ketika mengetahui ini, Iblis la’natulloh alaih, sebelum dia terusir ke dunia, berjanji kepada Alloh ‘Azza wa Jalla untuk menggelincirkan manusia dan akan menghalangi mereka untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur.
Alloh menceritakan perkataan Iblis ini, “Kemudian sungguh akan kami datangi mereka (bani Adam) dari arah depan, arah belakang, samping kanan dan samping kiri mereka, sehingga tidak akan Kau dapati kebanyakan di antara mereka yang bersyukur.” (QS. 7: 17)
Dan terbuktilah apa yang dikatakan oleh iblis, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh yang artinya, “Dan sedikit sekali golongan hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. 34: 13)
Termasuk bersyukur adalah kita menerima apa pun yang ada pada kita saat ini, baik yang sedikit maupun yang banyak. Karena pada hakekatnya kenikmatan yang kita terima itu tiada terkira banyaknya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. 16: 18)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Lihatlah orang yang yang ada di bawahmu dan janganlah kamu melihat orang yang ada di atasmu. Hal itu akan lebih baik bagimu agar kamu tidak meremehkan nikmat Alloh yang yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhori Muslim)
Bagaimana Menjadi Hamba-Nya yang Bersyukur
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Syukur itu menurut asalnya adalah adanya pengakuan akan nikmat yang telah Alloh berikan dengan cara tunduk kepada-Nya, merasa hina di hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Maka barangsiapa yang tidak merasakan bahwa itu adalah suatu kenikmatan maka dia tidak akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat namun dia tidak mengetahui dari mana nikmat itu berasal, dia juga tidak akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan mengetahui pula dari mana nikmat itu berasal, namun dia mengingkarinya sebagaimana orang yang mengingkari Alloh yang memberi nikmat, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya dan tidak mengingkarinya, akan tetapi ia tidak tunduk kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya atau ridho kepada-Nya, maka ia tidak mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya, tunduk kepada yang memberi nikmat, mencintai-Nya dan meridhoi-Nya, dan menggunakan dalam kecintaan dan ketaatan kepada-Nya, maka inilah baru disebut sebagai orang yang bersyukur.”
Ancaman dan Bahaya Untuk Orang yang Kufur Nikmat
Alloh berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah juga) ketika Robb kalian mengatakan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih’.” (QS. 14: 7). Dalam ayat yang mulia ini, Alloh Azza wa Jalla memberikan janji kepada para hamba-Nya yang mau bersyukur, sekaligus memberikan ancaman yang keras bagi mereka yang berani untuk kufur kepada-Nya.
Bukti dari ancaman Alloh ini dapat kita lihat dari kisah-kisah orang di sekitar kita, atau dari apa yang Alloh ceritakan langsung dalam ayat-Nya tentang kisah Qorun. Alloh berfirman yang artinya, “Qorun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasannya Alloh sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan Qorun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Alloh dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS 28: 78-79 & 81). Wal iyyadzu billah… semoga Alloh menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang bersyukur. Amiin.

(Fafa Al-faqier Al-khaqier)