(Oleh: Al-faqier Al-khaqier)
BISMILLAHIROHMANIRROKHIM,ALHAMDULILLAHIROBBIL ALAMIEN WAS SHOLATU WASALAMU ALA ROSULILLAHI WA ASKHABIHI WA AHLI BAITIHI AJMA'IN.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat,
maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai
Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam
Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur
Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut
sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut
Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama
yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.
Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh
aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy'ariyah.
Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran
al-Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah
berkembang di Samargand.
Kota tempat aliran ini lahir
merupakan salah satu kawasan peradaban yang maju. menjadi
pusat perkembangan Mu'tazilah disamping ditemukannya aliran
Mujassimah. Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut Adam Metz. juga terdapat
pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang besar.[1]
Al-Maturidi saat itu terlihat dalam banyak pertentangan dan dialog
setelah melihat kenyataan berkurangnya pembelaan terhadap sunnah.
Hal ini dapat dipahami karena teologi mayoritas saat itu
adalah aliran Mu'tazilah yang banyak menyerang golongan
ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat lagi dengan unsur terokratis
penguasa.
Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap
mazhab Mu'tazilah. Bahkan al-Asy'ary pada awalnya adalah seorang
Mu'taziliy namun terdorong oleh keinginan mempertahankan sunnah maka
lahirlah ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam
ahlussunnah wal jama'ah.Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa
keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa
Pada
masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan
Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar
Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut
fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada
golongan Muktazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman
itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang
mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum
Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama
Muktazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman
gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya disokong oleh pemerintah.
B. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:
a. Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”
b. Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
c. Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”
d.
Al jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw.
Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[2]
Secara
etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang
senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para
sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan
Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu
Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu
'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli
dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata
"Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan
atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang
shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari
perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua,
lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian
ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah,
seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu
i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna
itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan
dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah
adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada
beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau
aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah
waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang
semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif
tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya
menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di
nearka kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang
selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas
menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub
“aljamaah”. (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat; “ maa
ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) . baiklah penulis kutipkan
sebagian hadits tentang firqah atau millah:.
Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1,
Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;
“yang dimaksudkan
dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi
ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan
dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para
sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah
diberi hidayah oleh Allah SWT”.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“
Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani
kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan.
Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat :
Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah
menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”. (HR Abu
Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut
suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang
‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi
yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Umat Nabi
Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya?
Bilangan 73 apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak,
sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam
firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,
berarti apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan
pendapat mereka asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad
sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak
boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi ma alainaa.’
Pengertian
semua di nereka kecuali satu, yaitu mereka yang tidak persis sesuai
dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi
tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih
ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke
surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة النـاجية (kelompok yang
selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya (ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin
berada di berbagai tempat, masa dan jamaah. tidak harus satu
organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.
Istilah
ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham
gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718
M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat
dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman
khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq
(813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran
Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran
yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim,
tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah.
Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah
menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang
diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab
ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan
kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah
muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi
barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya
Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan
istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka
mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang
dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah,
Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
C. Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya Al-Asy’ari
1. Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama
lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin
Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok
Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi
pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan
pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada
tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru
kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang
ketua Muktazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham
Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang
ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan
antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah
(kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada
bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya,
“Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku,
karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada
sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga
pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah,
Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah
itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah
bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan
keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi
Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari
telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada
malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu,
Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]
Setelah
itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya
menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul
Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang
pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Toko-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah
a. Abu Hasan Al-Asy’ari
b. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)
c. Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
d. Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
e. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
f. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)
3. Metode Asy’ariah
Madzhab
Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh
memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat
bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan
argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya
sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir
dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak
menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki
pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi
harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum
asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak
akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian
rasional.
Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum
mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di
dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan
matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan
bias meneguhkan naql dan membela agama.[7]
4. Pandangan-pandangan asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
a.
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan
cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
b. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
c. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
d. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
e.
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
f.
Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu
seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya,
melainkan tidak seperti apa pun.
g. Menolak konsep
tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8], sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada
kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.
Berkenaan
dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,
melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi
mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan,
dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata,
“Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena
kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman.
Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid,
mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu
yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk.
Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut
Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya,
Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[9] Karena
Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan
memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun
yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus
pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut
Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan
kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada
para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
5. Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari
Formulasi
pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya sintesis
antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi
lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang kali di
pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab).
Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini:
Corak
pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi
teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854
M).[10]
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah
(antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan
sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain
pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki,
telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah,
melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[11]
Al-asy’ari
berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah,
melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah).
Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri,
tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari
esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[12]
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam
hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta
mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni
Jabariah yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata
dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat
bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan
segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[14]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun
Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan
wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[15]
Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada
wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.[16]
d. Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah
mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim
serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa
Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah
bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah
qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an
bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai
dengan ayat:[19]
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka
jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
e. Melihat Allah
Al-asy’ari
tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah
yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai
bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan
mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat.
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[20]
f. Keadilan
Pada
dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik
mutlak.[21]
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena
itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufr.[23]
6. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini
menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq
dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin
berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad
adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah
periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah
Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia
D. Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya Al-Maturidi
1. Definisi Aliran Maturidiyah
Berdasarkan
buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu,
dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur
al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[24]
Maturidiyah
adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam
membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk
menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu
juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli
Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak
rasional.
2. Sejarah Aliran Al-Maturidi
Abu Manshur
Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah
kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah
Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[25].
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya
Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa
khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan
dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil
Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula
karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid
dan sarah fiqih.
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte
Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da
Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua
aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan
untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang
berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum
tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum
Hanabilah.
3. Karya Aliran Al-Maturidi
a. Buku
Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran
Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia
menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan
keutamaan yang lebih besar kepada akal.
b. Ta’wilat Ahli
Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya
dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan
pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada
hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan
satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir
Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.
Al Maqalat,
peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa
perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya
tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
a. Akhdzu Al Syara’i
b. Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
c. Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
d. Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
e. Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
f. Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
g. Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi
h. Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
i. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
4. Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya
Tokoh
yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr
Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal
pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya
adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi
sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya
adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku
al-‘Aqa’idal Nasafiah.[26]
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini,
Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara
kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan,
yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan
golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
5. Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi
a. Akal dan wahyu
Dalam
pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal
dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan
akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal
dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah
melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan
tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya.
Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik
dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu
itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya
sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai
pembimbing
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[27]
Jadi,
yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk
karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi
tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut
Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala
sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan
sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak ada
peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan
ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam
diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia
sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya
manusia.[28]
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah
diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam
wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut
Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Dalam
hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan
keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat
Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya.
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain
adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari
dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya
yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna
sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya
terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan
oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat
22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di
dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan
antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi
(sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat
qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara
adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya
bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui,
kecuali dengan suatu perantara.[29]
g. Perbuatan manusia
Menurut
Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan
oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat
ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). setiap
perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di
bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di
kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
(1)
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan
manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya
(2) Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.
h. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal
di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan
sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang
berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik
tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu,
perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang
kafir atau murtad
i. Pengutusan Rasul
Pandangan
Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat
bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan
agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan
rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya
wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu
yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[30]
6. Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi
a. Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)
Yang
menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini
cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal
sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan,
menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan
dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Aliran maturidi
juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa
janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
b. Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)
Golongan
Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari
orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan
demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut
Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih
dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.
Aliran Maturidiyah
Bukhara lebih dekat kepada Asy'ariyah sedangkan aliran Maturidiyah
Samarkand dalam beberapa hal lebih dekat kepada
Mutazilah,terutama dalam masalah keterbukaan terhadap peranan akal.
[31]
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak
selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut
oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran
maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat
Islam.
7. Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam
Aliran
al-Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia
Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri
mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli, pandangannya yang
bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke
sesuatu yang kulliy. Aliran ini juga berusaha menghubungkan antara
fikir dan amal, mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh banyak ulama kalam namun masih berkisar pada
satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan yang juga dimiliki al-Maturidiyah bahwa
pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai
saling mengkafirkan sebagaimana yang pernah terjadi dikalangan
Khawarij, Rawafidh dan Qadariyah.[32] Aliran mi selanjutnya banyak
dianut oleh mazhab Hanafiyah.
E. Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran
Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa
Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat
Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan
sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah,
perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara
tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata
diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[33]
3. Tentang Al-Quran
Pandangan
Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama
mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka
berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu
makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat
bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah
ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang
mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur
ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada
pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya
sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan
pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat
jahat.[34]
7. Tentang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama
sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung informasi tentang
bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz
dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika
dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah
Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah
mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar
ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah
ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh
Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
Ø Bahwa pemakaian
istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang
yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat
kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak
sebab.
Ø Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak
menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini
menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib
dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.
F. Kesimpulan
Kelompok
Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi
terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok
Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode
dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan
Salaf.
Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki
beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an,
kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan.
Pokok-pokok
ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan
aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah.
Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran
mereka atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran
al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa
al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia
dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah
sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang
berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi
sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah
dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada
Asy’ariyah.