Total Tayangan Halaman

Senin, 05 Agustus 2013

''RINGKASAN ALMUSTHOLAH HADIST''

RINGKASAN ILMU MUSTHOLAH HADITS

 
OJO GAMPANG TEMEN MENUDUH QUNUT SUBUH ITU BID'AHBUNG,,,'' NGAJI DISEK SING TENAN.....''

 

Dalam istilah hadits tak luput dari tiga pembahasan, yaitu Shahih, Hasan, dan Dhaif.
1. HADITS SHAHIH adalah matan hadits yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah saw atau Shahabat, tidak syadz, tidak kemasukan illat, yg diriwayatkan oleh orang adil yang dhabith dari semisalnya, yg mampu dibuat pegangan dalam kemampuan dan penukilannya.
NOTE:
>matan: inti atau isi hadits.
>sanad: jalan yg menghantarkan pada matan.
>syadz: rawi tidak kuat dari semisalnya baik hafalan atau bilangannya.
>illat: pengibaratan sesuatu terhadap kecacatan hadits didalam masalah tertolaknya yang mampu diketahui secara hati-hati dari para perawi (orang yang meriwayatkan) hadits.
>adil: yaitu orang muslim berakal baligh yang selamat dari sifat fasik. Fasik adalah orang yg telah melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan selamat dari sifat yang menjatuhkan harga diri (muru’ah).
>dhabith hati dan tulisan.
Hati: hadits yg didengarnya mampu dimunculkan kapan saja.
Tulisan: penjagaan seorang rawi terhadap hadits yg ditulis mulai apa yang didengarnya dan disahihkannya sampai kitab tulisannya, dan tidak memberikan pada orang yang mungkin merubah tulisannya.Artinya syarat hadits shahih harus ada 5 perkara:
1.Sanadnya bersambung
2.Tidak syadz
3.Tidak kemasukan illat
4.Sifat adil
5.Dhabith2.HADITS HASAN adalah hadits yang diketahui jalan sanadnya, namun perawinya tak semasyhur hadits shahih.Artinya, perbedaan hadits hasan terletak pada sifat adil dan dhabith yg kurang, tidak seperti sifat pada hadits shahih yg kuat.
3.HADITS DHAIF adalah hadits yang kurang daripada derajat hadits hasan.
Hadits dhaif banyak sekali, diantaranya:
-mudthorib
-maqlub
-maudhu’
-munkar
-mursal
-mu’addhal
-munqhati’
-mu’allal
-syadz.

NB:
Diperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif selain yang madlu’ pada masalah selain sifat-sifat Allah dan hukum yg berkaitan halal dan haram. Yang boleh diambil dari hadits dhaif adalah seperti cerita-cerita, mauidzah, keutamaan amal dll yang tidak ada kaitannya dengan akidah dan hukum.

4.HADITS MARFU’ adalah hadits yg disandarkan pada nabi.
5.HADITS MAUQUF adalah hadits yg disandarkan pada shahabat.
6.HADITS MAQTHU’ adalah hadits yg disandarkan pada tabi’in.
7.HADITS MUSNAD adalah hadits yang bersambung pada Rasulullah dari para perawinya tanpa menjelaskan hukumnya.
Hadits musnad ini memuat hadits shahih, hasan, atau dhaif.

8.HADITS MUTTASIL ATAU MAUSUL adalah hadits sanadnya bersambung pada Rasulullah saw dengan cara mendengarkan oleh tiap-tiap perawi.
NB: NAMBAH KETERANGAN BUNG...''

Perbedaan antara hadits musnad, muttasil, dan marfu’ adalah:
Marfu’> dilihat dari segi keadaan matan hadits.
Muttasil> dilihat dari segi keadaan sanad hadits.
Musnad> dilihat dari segi matan dan sanad hadits.

9.HADITS MUSALSAL adalah hadits yang mempunyai sifat yang dijelaskan dari para perawi sampai pada Rasulullah baik berupa:
-ucapan seperti: ingatlah demi Allah telah menceritakan padaku seorang pemuda.
-tingkah seperti: fulan menceritakanku dalam keadaan berdiri atau tersenyum.
-ucapan dan tingkah seperti: hadits dari Anas yang dimana Rasulullah setelah berbicara pada Anas lalu Nabi menggenggam jenggotnya.

10.HADITS AZIZ adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi. Bila diriwayatkan oleh satu perawi dinamakan HADITS GHARIB.
11.HADITS MASYHUR adalah hadits yang diriwayatkan lebih dari tiga perawi.
NB:NAMBAH KETERANGAN LAGI BUNG....''

Hadits satu terkadang berupa Gharib, Aziz, atau Masyhur.

12.HADITS MU’AN’AN adalah hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafadz ‘an (dari).
13.HADITS MUBHAM adalah hadits yang tidak menyebutkan perawi, baik laki-laki atau perempuan dalam masalah matan atau sanad hadits.
14.HADITS ‘ULA adalah hadits yang perawinya sedikit, bila banyak dikatan HADITS NAZIL.
Artinya ditinjau dari dekat atau jauhnya sampai pada Rasulullah.

15.HADITS MURSAL adalah hadits yang sanad perawinnya dari kalangan shahabat ada yang gugur (tidak bersambung). Artinya seperti seorang Tabi’in meriwayatkan langsung disandarkan pada Rasulullah.
16.HADITS MUNQATHI’ adalah hadits yang sanadnya terputus.
MUNQOTI’ menurut pengertian yg masyhur adalah hadits yang diantara para perawi ada satu atau dua yang gugur sebelum sampai pada perawi kalangan shahabat.

17.HADITS MU’ADDHOL adalah hadits yang menggugurkan dua perawi.
18.HADITS TADLIS ada dua:
-hadits yang menggugurkan perawi dan berpindah pada perawi atasnya dengan menggunakan lafadz ‘an (dari) dan anna (sesungguhnya).
-hadits yang tidak menggugurkan perawi namun disandarkan pada sifat perawi baik berupa nama, nama kunyah, nama laqab, atau penisbatan terhadap kabilah, negara, pekerjaan dan lainnya yang tidak diketahui (tidak masyhur).

19.HADITS SYADZ adalah hadits yg salah satu perawi adil berbeda dengan para perawi adil lainnya, baik berupa tambahan atau pengurangan pada sanad atau matan hadits.
20.HADITS MAQLUB adalah hadits yang berupa:
-penggantian perawi sederajat agar menjadi hadits Gharib.
-penggantian sanad yg sempurna terhadap suatu matan hadits yg diriwayatkan dengan sanad lain. Artinya sebuah matan hadits diriwayatkan dari jalur sanad lain yang bertujuan mencoba hafalan apakah bisa luput atau tidaknya seorang penerima hadits, atau mampu menerima pelajaran atau tidak.

21.HADITS FARDU adalah hadits yg diriwayatkan baik seorang perawi adil, atau perawi banyak dari suatu negara, atau dicukupkan oleh perawi yang terbatas.
22.HADITS MU’ALLAL adalah hadits yg mempunyai illat yg samar atau tidak jelas yang menjadikan hadits tercacati.
23.HADITS MUDTHORIB adalah hadits yang mempunyai perbedaan sanad atau matan, baik dari satu perawi atau lebih.
24.HADITS MUDDARIJ adalah hadits yang sebagian lafadz riwayat hadits bersambung.
25.HADITS MUDABBAJ adalah hadits yg tiap teman meriwayatkan dari teman sederajat (sebaya) baik pengambilan dan umurnya dari guru-gurunya.
26.HADITS MUTTAFIQ adalah hadits yg lafadz dan tulisan mencocoki perawinya walaupun berbeda nama perawinya. Dan bila tidak mencocnki dinamakan HADITS MUFTARIQ.
27.HADITS MU’TALIF adalah hadits yang cocok perawinya hanya dari segi tulisan (bukan lafadznya). Kalau cocok tulisan dan lafadz dinamakan HADITS MUKHTALIF.
28.HADITS MUNKAR adalah hadits yang perawinya sendiri dan sifat adilnya tidak dianggap oleh perawi adil lainnya.
29.HADITS MATRUK adalah hadits yg seorang perawi menceritakan sendiri namun para muhadditsin menganggapnya dhaif. Artinya hadits ini dianggap tertolak.
30.HADITS MAUDLU’ adalah hadits yg dianggap bohong bila disandarkan pada Nabi (hadits palsu).
Seperti palsunya hadits LAA TUSAYYIDUNI FISSOLAH “janganlah menambahi kata sayid dalam sholat”.
[dari nadzam al-baiquniyah karya syeh Muhammad al-baiquniy dengan penambahan dan pengurangan seperlunya]

————————————-
NB:Rawi dan Perawi sama saja. Bila ada kesalahan, sudilah kiranya mengkritik.
Alloh wa rasuluh a’lam. Bila menarik ambil, copas, sebar, tag halal. Ndak usah izin.

Sudahkah kita memahaminya ????
Emka Shofa
==========================================================

Gelar-Gelar Ahli Hadits
Oleh: Bintu Masrur
1. Al Musnid, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik ia mengetahuinya atau tidak. Al musnid juga disebut dengan Al Thalib, Al Mubtadi, dan Al Rawi.
2. Thalib Al Hadist, yaitu orang yang sedang menuntut hadits.
3. Al Hafidz, yaitu
Ø Persamaan dari al Muhaddits, menurut mayoritas ahli hadits.
Ø Al Hafidz lebih tinggi derajatnya dari pada al Muhaddits, dengan sekiranya mengetahui apa yang ada dalam tiap-tiap tingkatan itu lebih banyak dari apa yang diketahuinya.
Ø Gelar untuk ahli hadis yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat menta’dilkan dan menjarhkan rawinya. Seorang al Hafidz harus menghafal hadits-hadits sahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), illat-illat hadits, dan istilah-istilah para muhaddits.
Ø Orang yang memadukan sifat-sifat muhaddits ditambah dengan banyaknya hafalan dan banyaknya jalur agar dapat disebut al Hafidz. Al Hafidz adalah orang yang menghafal 100.000 hadits baik dalam segi matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalur yang beragam, mengetahui yang shahih dan mengenal berbagai peristilahan yang digunakan dalam buku hadits.
Ø Al Mizzy mengatakan, al Hafidz adalah orang yang pengertiannya banyak dari pada yang tidak diketahuinya. Bila ia berhasil menghafal lebih dari 100.000 hadits lengkap dengan sanadnya, maka ia mencapai julukan Hafidz Hujjah. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain al Iraqi, Syarafuddin al Dimyathi, Ibnu Hajar al Atsqalani, dan Ibnu Daqiqil Id.
4. Al Muhaddits, Yaitu;
Ø Menurut muhadditsin mutaqaddimin, al hafidh dan al muhaddits itu searti.
Ø Menurut muhadditsin mutaakhkhirin, al hafidh itu lebih khusus daripada al-muhaddits.
Ø Al Taju al Subhi mengatakan, Al-muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad sanad, illat illat, nama nama rijal (rawi-rawi), ali (tinggi), dan nazil (rendah)nya suatu hadis, memahami kutubus sittah: Musnad Ahmad, Sunan al Baihaqi, Majmu Thabarani, dan menghafal hadis sekurang-kurangnya100 buah.
Ø Orang yang mahir dalam bidang hadits, baik dari segi riwayah maupun dirayahnya, mampu membedakan yang lemah dari yang shahih, mengenal ilmu-ilmu dan peristilahannya, mengenal yang mukhtalif dan mu’talif dari para perawinya, dan memperoleh semua itu dari imam-imam hadits, disamping mengetahui dalam kata-kata ghorib dalam hadits dan hal-hal lain, yang memungkinkan mengajarkannya kepada orang lain. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Atha ibn Abi Ribah (seorang mufti masyarakat Mekah, w. 115 H) dan Imam Al Zabidi (salah seorang ulama yang mengikhtisharkan kitab Bukhari Muslim).
5. Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah Hisyam ibn Urwah (w. 146 H), Abu Hudzail Muhammad ibn Al Walid (w. 149 H), dan Muhammad Abdullah ibn Amr (w. 242 H).
6. Al Hakim, yaitu orang yang mengetahui seluruh hadits yang pernah diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh (tercela)nya, ta’dil (terpuji)nya, dan sejarahnya. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang dapat diterima maupun yang ditolak. Ia harus dapat menghafal hadis lebih dari 300.000 hadis beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Ibn Dinar (w. 162 H), Al Laits ibn Sa’ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi (w. 204 H).
7. Amirul Mu’minin fi Al Hadits, yaitu;
Ø Julukan ini diberikan kepada orang yang populer pada masanya dalam bidang hafalan dan dirayah hadits, sehingga menjadi tokoh dan imam pada masanya. Julukan ini telah diberikan kepada orang-orang semisal Abdurrahman ibn Abdillah ibn Dzakwan al Madany (Abu az Zanad), Syu’bah ibn Hajjaj, Sufyan al Tsauriy, Imam Malik ibn Anas, Imam Bukhari, dan lain-lain. Mereka merupakan imam-imam hadits terkemuka, yang mendapat kesaksian imam-imam besar dan mayoritas umat mengenai keimanan mereka dan kedalaman mereka dalam bidang ini.
Ø Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah Khalifah Abu Bakar r.a. Para khalifah diberikan gelar demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan hadisnya. Para muhaddits pada masa itu seolah-olah berfungsi khalifah dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain Syu’bah ibn Hajjaj, Sufyan al Tsauri, Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad ibn Hambal, Al Bukhari, Ad Daruquthni, dan Imam Muslim.

Al Khatib, Dr. Muhammad ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadist Pokok-Pokok Ilmu Hadist.
Al Thalhan, Dr. Mahmud, Taisir Mushtholah Al Hadits, Al Haramain.
==========================================================

 http://kajianilmiahfafaabunawas.blogspot.com/2013/08/ringkasan-almustholah-hadist.html

Jangan Meremehkan Hadits Walau Ia Mursal
IMAM ALI IBNU AL MADINI merupakan hafidz hadits besar yang juga guru Imam Al Bukhari. Beliau suatu saat menyampaikan,”Tidak semestinya seseorang mendustakan hadits jika ia datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meski ia mursal. Sesungguhnya segolongan manusia telah menolak hadits Az Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa berbekam pada hari Sabtu atau Rabu maka ia terkena kusta…’
Sekelompok manusia telah melakukannya (hijamah di hari Sabtu dan Rabu) maka mereka terkena bala’. Diantara mereka adalah Utsman Al Batti ia terkena kusta, Ibnu Said At Tanuri ia terkena kusta, Abu Dawud ia terkena kusta serta Abdurrahaman, ia terkena bala’ yang keras.” (Ma’rifah Ar Rijal li Ibni Muharraz, 2/628)
Hadits mursal adalah hadits yang perawi sahabatnya jatuh, seperti seorang tabi’in menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, tanpa menyebut perawi dari kalangan sahabat.
==========================================================
Hadist Dho’if
Selasa, 25 Rabiul Akhir 1430 H / 21 April 2009

Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho’if seperti halnya hadist maudhu’ atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho’if itu?
Jawab:
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’. Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.

(Zainal mustofa Al-faqier Al-khaqier) Alumni pon-pes Miftakhul Mubtadi'ien Kepel Ampel Wuluhan Jember. santri Ter Ndableg dan TerMbeling....Lulusan 2004.

2 komentar:

  1. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah "meskipun mereka tidak mengamalkannya."
    Apakah yg anda tulis ini bisa dipertanggung jawabkan yg saya kasi tanda kutip "meskipun mereka tidak mengamalkannya."

    benarkah 4 imam yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak mengamalkan qunut ? coba jelaskan lebih rinci

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klu dirasa tulisan saya ada yg salah menurut anda itu sah sah saja, dan silahkan anda untuk meluruskanya, perihal pertanyaan anda saya kira

      Tulisan diatas disertai juga sumber refrensinya, silahkan anda cek sendiri dalam buku2 dan kitab2 yg mnjadi rujukanya. Kecuali anda bertanya bukan untuk tau tapi untuk menyulut perdebatan saja. Fikih bersifat istihadi karena berdiri diatas dalil yg dhonni,
      Silahkan saja abda Bukak kitab bidayatul mujtahid wanihayatul muktasid, dan madzahibul arbaah.
      Dalam hal Fatwa seorang mujtahid bersikap obyektif tidak sobyektif. Contoh Imam buhori meriwayatkan hadists yg tdak kunut dlm kitabnya, meski beliau bermadzhab syafii dlm fikihnya. Itu karena sikap tawadhuk dan ahlaqnya.

      Hapus