keterangan singkat tentang THORIQOH QODIRYYAH
بسم اللّٰه الرحمن الرحيم
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran
agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi
Rasul. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali melakukan
tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri
dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan.
Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan
kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks
tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus
diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah
kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai
kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai
Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk
pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi
Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561
H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn
Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M
dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah
meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak
diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin
Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali.
Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang
bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama
itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab
pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul
Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang
Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar
dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang
didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu
tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196
M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak
kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai
hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan
Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki,
Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad
ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India
misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku
keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631
M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat
Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada
ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai
derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang
menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat
yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang
berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M),
Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat
al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah,
Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di
Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah,
Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika
terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan
tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul
Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga
setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke
tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa
Jilala". Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri
kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat
Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk
mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan
tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang
baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang
harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa
Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat)
adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain
itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar,
Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau
lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus
enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir
semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita
harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan
dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi,
menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah
swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan
jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat
mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki
keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal
sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil
haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah
dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin
Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin
Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi
Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid
bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli
politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah
Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya.
Bai'at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti
pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan
salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan
membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar,
lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan
"infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS
Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha
Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan
itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid,
berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan
bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus
selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala
larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya
(mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan
pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti "jalan" sama seperti syariah,
sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna
mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan
yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,"
Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami
(Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang
melimpah ruah".
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna
semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum
Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif.
Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif
tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot
kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab
itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at
dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang
dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi
dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama
sufi di Indonesia.
>Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di
Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah
menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa,
seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya
Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan
Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten
adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah,
merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah.
Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke
Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama
ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie
Schimmel dalam bukunya "Mystical Dimensions of Islam" hal.236 yang
menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk
menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah
Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani
yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa
terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah
satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena
pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil
penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu
pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu
KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda
kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya,
Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan
Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak
Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat
Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang
berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai
Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab
Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah
Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah
tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad
saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas
ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh
Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib
Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil
Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul
Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma'rifat kepada Allah)
yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil,
5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib
Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah,
11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya,
16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20.
Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir
Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali
al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu
Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari
al-Saqathi, 31. Ma'ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho,
33. Musa al-Kadzim, 34. Ja'far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam
Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib,
39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt.
Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada
yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula
guru di antara para kiai itu sendiri.
WALLAHU A'LAM BI SHOWAB....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar