Total Tayangan Halaman

Senin, 05 Agustus 2013

Pengertian Hadits Mutawatir

Pengertian Hadits Mutawatir



  pengertian hadist mutawatir Mutawatir menurut bahasa berarti ‎ المتتابع‎ yang berarti yang berlanjut, ‎berurutan.‎ ‎ Artinya Sesuatu yang datang kemudian atau secara beriring-iring ‎antara yang satu dengan lainnya tanpa adanya jarak.‎
Sedangkan Sohari Sahrani dalam bukunya “ulumul hadits” mengutip beberapa ‎definisi yang menjelaskan tentang hadits mutawatir secara terminologi yaitu ‎terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut.‎
الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير لايمكن تواطئهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان ‏مستندهم الحس
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumah rawi yang ‎tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal sanad sampai akhir ‎sanad dan cara penyandaran mereka adalah pancaindra.‎
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطئهم على الكذب
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat ‎istiadat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.‎
Dalam kitab Al-Minhal al-Lathif  fi Ushulil Hadits asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy ‎juga menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu;‎
ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك ‏في جميع الطبقات ان تعددت.‏
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan ‎sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk ‎berdusta, dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra.‎ 
Dari beberapa definisi yang ada, dapat dirumuskan beberapa syarat yang ‎harus ada dalam hadist mutawatir yaitu ada 4 syarat: ‎
a)‎ Periwayatannya didukung oleh jumlah yang banyak
b)‎ Menurut logika dan kebiasaannya, tidak dimungkinkan para perawi ‎bersekongkol untuk berdusta
c)‎ Terdapat Jumlah perawi yang banyak pada setiap tingkatan, dari awal ‎sanad sampai akhir sanad
d)‎ Sandaran dalam periwayatan mereka menggunakan panca indra dan ‎bukan akal.‎ 
Ulama hadits masih berbeda pendapat tentang jumlah perawi, ada yang ‎menetapkan dengan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama ‎yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat ‎yang dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan para perawi ‎yang mustahil mereka sepakat berdusta. Sedangkan ulama yang mensyaratkan ‎adanya jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.‎ 
Beberapa pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:‎
a)‎ Abu at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan ‎dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi ‎vonis pada terdakwah.‎ ‎ Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur : 13.‎ 
b)‎ Ashab as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan ‎jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.‎ ‎ Juga ada yang ‎berdasarkan pada permasalahan li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9.‎ 
c)‎ As-Suyuthy dan Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang paling baik ‎adalah minimal 10 orang, sebab bilangan itu merupakan awal bilangan ‎banyak.‎ ‎ Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.‎
d)‎ Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 12 orang,‎ ‎ seperti jumlah ‎pemimpin yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12.‎ 
e)‎ Ada sebagian ulama yang menetapkan 20 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada ‎QS. 8. Al-Anfal : 65.‎ 
f)‎ Ada juga yang mengatakan minimal 40 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada QS. ‎‎8. Al-Anfal : 64.‎ 
g)‎ Ada juga yang menetapkan jumlah minimal 70 orang,‎ ‎ ini didasarkan ‎atas firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155.‎ 
Pada prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang ‎pasti benar-benar bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir ‎adalah maqbul (diterima) dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad atau ‎rijal (periwayat hadits). Bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun periwayatnya ‎adalah bukan seorang muslim. Maka ulama muhaddisin sepakat bahwa (hadist mutawatir adalah hujah kaum muslimin yg bersifat qhot'i) maka dari ‎itu wajib hukumnya untuk membenarkan dan mengamalkan kandungan-‎kandungan yang ada pada hadits mutawatir.‎ ‎ Terkait dengan ada atau tidak ‎tentang hadits mutawatir juga masih dipertentangkan oleh ulama. Adapun ‎menurut 1). Ibnu Hibban dan al-Hazimi tidak ada, 2). Ibnu Sholah ada, namun ‎sangat jarang, dan 3). Ibnu Hajar dan as-Suyuti ada.‎ setelah selesai membaca pengertian hadits mutawatir mari kita ketahui pembagian hadist mutawatir''

Pembagian Hadits Mutawatir


 Ada perbedaan pendapat ulama dalam pembagian hadits mutawatir. Sebagian ‎ulama menyebutkan pembagian hadits mutawatir kepada
3 bagian, yaitu: mutawatir ‎lafdzi, mutawatir maknawi, dan mutawatir amali.‎ ‎ Akan tetapi mayoritas ulama ‎membaginya menjadi 2 bagian, yaitu; mutawatir lafdzi dan mutawatir maknawi. ‎Sedangkan ada ‎

a)‎ Hadits mutawatir lafdhi, adalah hadits yang mutawatir secara lafadz dan ‎maknanya. Misalnya, hadits: ‎‏« مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ »‏‎ artinya “ ‎barang siapa yang sengaja berdusta dengan atas namaku, maka dia akan ‎mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”.‎
Hadits tersebut diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, dan diantara mereka ‎termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.‎ ‎ Terkait hadits tersebut, ‎menurut Abu Bakar Al-Bazzar diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan ‎sebagian ulama mengatakan bahwa itu diriwayatkan oleh 62 orang sahabat, ‎dengan susunan redaksi dan makna yang sama.‎ ‎ ‎
b)‎ Hadits mutawatir maknawi, adalah hadits yang mutawatir secara maknanya ‎dan tidak mutawatir secara lafalnya.‎ ‎ Artinya para periwayat hadits ‎berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, akan tetapi terdapat ‎kesatuan prinsip dalam maknanya. Misalnya, hadits-hadits yang menjelaskan ‎tentang mengangkat tangan dalam berdoa.‎
‎…‎أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ ، إِلاَّ فِى ‏الاِسْتِسْقَاءِ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ 
‎“… sesungguhnya Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangannya ‎begitu tinggi pada waktu berdoa, kecuali pada waktu berdoa memohon ‎hujan, beliau mengangkat kedua tangannya sampai terlihat kedua ketiaknya ‎yang putih”‎
Dalam redaksi pemberitaan yang lain dengan makna yang sama, disebutkan: ‎
‎…‎عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ ‏إِبْطَيْهِ.‏ 
‎“… dari sahabat Anas, dia berkata bahwa pernah melihat Rasulullah SAW ‎mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa sampai terlihat kedua ‎ketiaknya yang putih”‎
Walaupun kedua hadits di atas berbeda redaksinya dan bahkan beberapa ‎hadits serupa yang lainnya juga masih banyak, kesemuanya adalah hadits-‎hadits yang berbeda dalam redaksi, namun memiliki kadar kesamaan dalam ‎segi maknanya, yaitu menjelaskan keadaan Rasulullah mengangkat tangan ‎dalam berdoa, maka yang demikian adalah disebut hadits mutawatir maknawi''
wallahu a'lam bi showab.... ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar