CONTOH MAKALAH BALAGHOH ( Tasybih, Majaz, Isti’arah )
MAKALAH BALAGHOH
( Tasybih, Majaz, Isti’arah )
Oleh :
(Zainal mustofa Al-faqier Al-khaqier)
PENDAHULUAN
Menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
yang sangat indah dan sarat akan makna itu tidaklah mudah. Apalagi Al-Quran
merupakan mukjizat terindah dan teragung yang diberikan kepada nabi Muhammad.
Salah satu saran dari sekian
banyak disiplin ilmu yang dapat dipergunakan untuk mencapai maksud itu adalah
balaghoh, karena balaghoh merupakan disiplin ilmu yang berlandaskan kepada
kejernihan jiwa dan ketelitian yang menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan
yang sama di antara macam-macam uslub (ungkapan). Balaghoh mendatangkan makna
yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih.
Ilmu bayan terdiri atas empat
bahasan, yakni tasybih, hakikat dan majaz, isti’aroh, dan kinayah. Sementara
kinayah tidak saya tulis dan bahas bersama dalam makalah ini. Makalah yang disusun atas
tiga bagian ini, yaitu yang memaparkan tasybih, majaz, dan isti’aroh disajikan
secara sistematis dan menggunakan bahasa yang sederhana, guna memudahkan
pembaca memahaminya.
Sebelum
masuk ke bahasan, balaghoh itu sendiri adalah ungkapan yang benar dan fasih,
dengan menggunakan berbagai macam uslub. Fasih/fasahah bermakna jelas dan
terang. Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya,
dan baik susunannya. Jadi, kalimat yang fasahah itu harus sesuai kaidah sharaf
yang benar dan mudah dipahami. Selain itu, kata-kata yang menyusun kalimat itu
tidak tanafur sehingga tidak sulit didengar dan diucapkan, juga tidak
rancu susunannya. Kalimat yang rancu adalah kalimat yang tidak jelas maksudnya.
Kalimat yang fasih juga harus bebas dari kerancuan makna (ALIYAS MBULET....'')
Sedang
uslub adalah kata atau ungkapan yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih
menyentuh jiwa para pendengarnya. Uslub ada tiga macam; uslub ilmiah, uslub
adabi (sastra), dan uslub khithabi. Uslub ilmiah adalah uslub yang
mengedepankan akal dan berdialog dengan pikiran. Dalam uslub ini sangat
ditekankan kejelasan dan ketepatan argumentasinya. Uslub adabi lebih
mengedepankan keindahan nua. Sumbernya bisa dari khayalan yang indah, imajinasi
yang tajam, dan lain-lain. Sedang uslub khithabi lebih ditekankan pada
ketegasan makna dan redaksi, ketegasan argumentasi dan data, ddan keluasan
wawasan. Dalam uslub ini, pengulangan kata/kalimat, pemakaian sinonim,
pemberian contoh masalah, dan pemilihan kata-kata yang tegas adalah yang
menentukan kelebihan uslub ini.
PEMBAHASAN
Tasybih
A.
Pengertian
Tasybih
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan
sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat)
tasybih, baik disebutkan maupun tidak.
B.
Rukun-rukun Tasybih
1. Musyabbah
(sesuatu yang hendak diserupakan)
2. Musyabbah
bih (sesuatu yang diserupai)
3. Wajhus
syibhi (sifat yang terdapat pada kedua hal itu)
4. Adaatut
tasybih (huruf/kata yang menyatakan penyerupaan)
Musyabbah dan musyabbah bih disebut juga tharafait
tasybih.
C.
Pembagian Tasybih
1.
Tasybih mursal
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat
tasybihnya disebutkan, contoh :
أَنَا كَالمَاءِ
إنْ رَضِيتُ صَفَاءًا وَإذَا مَا سَخِطْتُ
كُنْتُ لَهِيبًا
Huruf yang
bergaris bawah adalah salah satu adat tasybih yakni كَ
2.
Tasybih muakkad
Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya tidak disebutkan, contoh :
أينَ أزْمَعتَ أيُّهَذا الهُمَامُ نَحنُ
نَبتُ الرُبَا وأنتَ الغَمَامُ
“kemanakah tuan hendak menuju, wahai Raja yang pemurah? Kami
adalah tumbuh-tumbuhan pegunungan dan Tuan adalah mendung”
Dalam bait ini adat tasybih tidak disebutkan,
karena penyair ingin menunjukkan bahwa musyabbah adalah musyabbah bih
itu sendiri. Oleh karena itu ia tidak menyebutkan adat tasybih yang memberi
kesan bahwa musyabbah lebih lemah dari musyabbah bih.
3.
Tasybih mujmal
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajh syibhnya,
contoh:
وَكَأَنَّ الشَمْسَ المُنِيرةَ دِينَارٌ جَلَّتهُ حَدَائِدَ الضَرَائِبِ
“Matahari yang bersinar itu bagaikan dinar yang tampak kuning
cemerlang yang ditempa besi cetakannya”
Penyair menyerupakan matahari ketika terbit dengan dinar
yang baru saja selesai dicetak. Ia tidak menyebutkan wajah syibhnya dan hanya
mengandalkan kita untuk menangkapnya sendiri, yakni warna kekuning-kuningannya
yang mengkilat.
4.
Tasybih mufashal
Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah syibhnya, contoh:
العَالِمُ سِرَاجُ أُمَّتِهِ فى الهِدَايَةِ وتَبْدِيدِ الظَّلاَمِ
“orang berilmu itu pelita bagi umatnya dalam memberi petunjuk
dan menghilangkan kegelapan”
Kalimat yang bergaris bawah di atas adalah wajh syibhnya.
Wajh syibhnya dijelaskan dan dirinci.
5.
Tasybih baligh
Tasybih baligh tasybih yang tidak disebutkan wajah syibh dan adat
tasybihnya, contoh:
أينَ أزْمَعتَ أيُّهَذا الهُمَامُ نَحنُ
نَبتُ الرُبَا وأنتَ الغَمَامُ
“kemanakah tuan hendak menuju, wahai Raja yang pemurah? Kami
adalah tumbuh-tumbuhan pegunungan dan Tuan adalah mendung”
Penyair tidak menyebutkan adat tasybih dan wajh
syibhnya, karena akan memberi kesan bahwa musyabbah lebih lemah dari
musyabbah bih, dan memaksakan bahwa kesamaan sifat dari kedua hal itu
hanya pada satu sifat, dan tidak pada sifat yang lain.
D.
Tasybih
Tamtsil
Tasybih tamtsil adalah tasybih di mana wajh syibh
nya berupa sifat/gambaran secara menyeluruh, yang diambil dari beberapa hal.
Dan jika sebaliknya, maka disebut tasybih ghoiru tamtsil/tasybih mufrad.
Contoh Tasybih tamtsil :
وكَأنَّ الهلالَ
نونُ لُجَينٍ غَرِقَت في صَحِيفةٍ
زَرقَاءَ
“seakan-akan bulan sabit itu pedang dari perak yang tenggelam
dalam piring besar biru”
Pada bait ini, penyair menyerupakan bulan sabit yang
putih berkilau dengan keadaan pedang yang terbuat dari perak dan disimpan dalam
piringan besar berwarna biru. Wajh syibh nya adalah gambaran yang diambil dari
beberapa hal, yakni sesuatu berwarna putih, berbentuk melengkung (sabit),
terletak di suatu tempat yang berwarna biru.
Contoh Tasybih ghoiru tamtsil/mufrad :
هُوَ بَحر السَماح
والجود فازْدادْ مِنهُ قُربا تَزدَادْ
مِنَ الفَقرِ بُعدَا
“ia adalah lautan kemurahan. Dekatlah kepadanya, maka kamu akan
bertambah jauh dari kefakiran”
Penyair menyerupakan kemurahan orang yang dipujanya
dengan lautan. Ia juga mengimbau kepada orang-orang untuk mendekat padanya,
agar terjauhkan dari kefakiran. Wajh syibh nya adalah suatu sifat yang
hanya dimiliki bersama oleh 2 hal, yakni orang yang dipuja dan laut, sama-sama
memiliki sifat murah hati.
E.
Tasybih
Dhimniy
Tasybih
dhimniy adalah tasybih dimana musyabbah dan musyabbah bihnya tidak dirangkai
dalam bentuk seperti biasa, hanya terkandung dalam makna. Syair-syair tasybih
dimniy mengandung unsur-unsur tasybih tapi secara tersirat. Tersirat berarti
tidak jelas. Syair-syair berikut mengandung tasybih, tapi tidak tegas (tasybih
dhimniy):
لاَ تُنكِرِى عَطَلَ الكَرِيمِ مِن الغِنَى فَالسَّيلُ حَربٌ لِلمَكَانِ العَالِى
“Jangan kau ingkari orang dermawan yang tidak memiliki kekayaan,
karena banjir adalah musuh bagi tempat yang tinggi”
كَرَمٌ تَبَيَّنَ فِي كَلاَمِكَ مَاثِلاً وَيَبِينَ
عِتقُ الخَيلِ مِن أَصوَاتِهَا
“Dalam pembicaraanmu terkesan kebangsawananmu karena kuda yang
istimewa itu dapat diketahui melalui ringkikannya”
Pada
syair pertama dikatakan bahwa “jangan kau ingkari orang dermawan yang tidak
memiliki kekayaan, sebab puncak-puncak gunung yang merupakan tempat tinggi
tidak dapat digenangi oleh air banjir”. Dalam kalimat ini, penyair secara
tersirat menyerupakan si dermawan yang tidak memiliki kekayaan itu dengan
puncak gunung yang tidak pernah dilanda banjir. Penyair tidak mengatakan
langsung seperti itu, namun menggunakan kalimat tersendiri yang mencakup makna
tersebut.
Syair
kedua tidak berbeda dengan syair pertama yang mencakup makna tersirat. Di mana
penyair menyerupakan keadaan pembicaraan yang memberi kesan kebangsawanan orang
yang berbicara dengan keadaan ringkikan kuda yang istimewa, yang menunjukkan
bahwa kuda itu berasal dari keturunan yang baik.
F.
Tasybih Maqlub
Tasybih
maqlub adalah tasybih di mana musyabbah didakwakan/dibalik menjadi musyabbah
bih, dan sebaliknya, musyabbah bih menjadi musyabbah.
Dalam taasybih ini diserupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, tapi kemudian
makna tasybih itu diselewengkan karena wajh syibh lebih utama atau lebih
kuat daripada musyabbah. Tasybih maqlub bermaksud untuk melebih-lebihkan
bahwa wajh syibh lebih kuat dari musyabbah.
مَن قَاسَ جَدوَاكَ يَومًا بِالسُحُب أخطَأََ مَدحَكَ
السُّحُبُ تُعطِي وَتَبكِي وأنتَ تُعطِي وَتَضحَكُ
“Barangsiapa
membandingkan kedermawanan di suatu hari dengan hujan, maka ia telah salah dalam
memujimu. Awan itu member sambil menangis, sedang kamu memberi dengan tertawa”.
Penyair
menyerupakan awan/hujan dengan kedermawanan. Padahal sudah pasti bahwa
awan/hujan itu lebih dahsyat/lebih kuat daripada kedermawanan. Dan yang biasa
kita dengar adalah kedermawanan diserupakan dengan awan/hujan, akan tetapi
dalam syair ini disebutkan tasybih yang sebaliknya.
G.
Maksud dan Tujuan Tasybih
1.
Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu
pada musyabbah: ketika sesuatu yang asing/aneh disandarkan
pada musyabbah,dan keanehan itu tidak hilang sebelum dijelaskan keanehan
yang sama itu pada kasus lain. Contoh:
كَمْ أبٍ قَدْ عَلاَ بِابنٍ ذُرَا شَرَفٍ كَمَا عَلاَ بِرَسول الله
عَدْنَانُ
“banyak sekali puncak kemuliaan seorang ayah itu karena
kemuliaan anaknya, seperti Adnan mencapai puncak kemuliaan karena kemuliaan
Rasulullah saw”
Sesuatu yang aneh disini adalah meningkatnya kemuliaan. Seorang
ayah, puncak kemuliaannya adalah karena kemuliaan anaknya, keanehan itu tidak
akan diketahui jika tidak disebutkan pula pada kasus lain, yakni Adnan mencapai
puncak kemuliaan, juga karena kemuliaan orang lain, Rasulullah saw.
2.
Menjelaskan
keadaan musyabbah: jika musyabbah tidak diketahui sifatnya sebelum
ada tasybih yang menjelaskan/menyebutkan sifatnya itu. Contoh:
أرَى كُلَّ ذِي جُودٍ إليكَ مَصِيرُهُ كَأَنَّكَ
بَحرٌ والمُلوكُ جَدَاوِلٌ
“saya melihat semua orang dermawan menuju kepadamu, seakan-akan
engkau adalah laut dan raja-raja adalah sungai-sungai kecil”
Pada baris pertama hanya disebutkan “saya melihat
semua orang dermawan menuju kepadamu”, dan tidak akan diketahui sifatnya
musyabbah, jika baris kedua tidak disebutkan, “seakan-akan engkau adalah
laut dan raja-raja adalah sungai-sungai kecil”.
3.
Menjelaskan
kadar keadaan musyabbah: bila
musyabbah sudah diketahui keadaannya secara global, dan tasybih didatangkan
dengan tujuan menjelaskan rincian keadaannya. Contoh:
لي مَنزِلٌ كوِجَار الضَّبِّ أنزِلُهُ ضَنكٌ
تَقارَبَ قُطرَاهُ فَقَد ضَاقَا
أراهُ قالَبَ جِسمي حينَ أدخُلُهُ فَما
أمُدُّ به رِجلا ولا ساقا
“Rumahku
yang kudiami sempit bagaikan liang biawak, yang kedua sisi-sisinya berdekatan
sehingga benar-benar sempit. Saya harus memutar-mutar badan ketika memasukinya
sehingga saya tidak dapat lagi meluruskan kaki dan betis”
Pada bait di atas keadaan musyabbah benar-benar
dijelaskan dengan sangat rinci. Rumah penyair berukuran kecil dan sempit. Ia
menjelaskan keadaan keseluruhan rumahnya dengan sangat rinci, setelah ia
sebutkan sifat secara umum rumahnya (bahwa rumahnya sesempit lubang biawak),
dan baru ia jelaskan rinciannya.
4.
Menegaskan
keadaan musyabbah: bila
sesuatu yang disandarkan pada musyabbah membutuhkan penegasan dengan
contoh. Contoh:
فَضْلُ ذِي العِلمِ وَإن أخْفَاهُ كَالمِسكِ يُستَرُ ثُمَّ لا يَمنَغُ ذالك
رَائِحَتَهُ أن تَفوحَ
“kemuliaan orang yang berilmu meskipun ia merahasiakan ilmunya,
adalah seperti minyak kesturi yang tertutup rapi, namun baunya tetap semerbak”
Dalam
syair ini, diserupakan kemuliaan orang yang berilmu dengan minyak kesturi.
Walaupun ia merahasiakan ilmunya, tetap terlihat bahwa ia orang berilmu.
Seperti minyak kesturi, kalaupun ditutup rapat-rapat, tetap akan tercium juga
wanginya.
5.
Memperindah
atau memperburuk musyabbah. Contoh:
ما هُوَ عَبدٌ لَكِنَّهُ وَلَدُ خَوَّلَنيه
المُهَيمِنُ الصَمَدُ
وشَدَّ أزرِي بِحُسنِ خِدمَتِهِ فَهْوَ
يَدِي والذِرَاعُ والعَضُدُ
“Ia bukanlah seorang budak, melainkan anak yang dikuasakan Allah
yang Maha kuasa lagi bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dengan pelayanannya
yang bagus, ia sangat membantuku. Maka ia adalah tanganku, hastaku, dan bahuku”
Bait ini menunjukkan bahwa penyair begitu menyukai
seseorang tersebut (musyabbah). Ia menyerupakan orang tersebut seperti
tangan, hasta, dan bahunya, di mana ia juga menyukai segala sesuatu tentang
dirinya. Dan sampai menyerupai orang tersebut dengan beberapa dari anggota
tubuhnya sendiri yang ia sukai.
H.
Balaghoh
Tasybih dan Pengaruhnya
-
Balaghoh
tasybih terletak pada dakwaan di mana musyabbah adalah musyabbah bih
itu sendiri (musyabbah dan musyabbah bih adalah hal yang satu)
-
Balaghoh
tasybih muncul jika tasybih itu membawa kita dari suatu keadaan kepada keadaan
baru yang menyerupainya dan punya nilai lebih. Dan jika penyerupaan itu susah
dipahami/jauh dari kehendak hati, maka tasybih itu akan semakin indah dan
mengagumkan.
-
Nilai
balaghoh tasybih dilihat dari segi jarang dan jauhnya sasaran, serta dari kadar
imaginasinya. Tasybih yang semakin rendah tingkatan balaghohnya adalah tasybih
yang disebutkan seluruh rukun/unsurnya. Karena seperti telah disebutkan di
atas, bahwa balaghoh tasybih terletak pada dakwaan di mana musyabbah
adalah musyabbah bih itu sendiri (tasbybih baligh), sedang keberadaan adat
tasybih dan wajh syibh akan menghalangi dakwaan ini. Dan tasybih
yang dibuang/tidak disebutkan adat dan wajh syibhnya
tingkat balaghohnya akan meningkat. Adapun tasybih yang paling tinggi tingkatan
balaghohnya adalah jenis tasybih baligh, seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Hakikat dan Majaz
Hakikat
adalah lafadz yang menunjukkan makna asli. Sedang majaz adalah lafadz yang
tidak menunjukkan makna asli. Contoh:
الأسد : الحيوان
المفترس (الحقيقة)
الرجل الشجاع (المجاز)
Majaz dibagi menjadi tiga yaitu majaz
lughawi, mursal, dan aqli.
·
Majaz lughawi adalah lafadz yang digunakan bukan makna sebenarnya, karena ada hubungan disertai karinah
yang mencegah peletakkan makna sesungguhnya. Karinah adalah kata yang
mencegah peletakkan makna asli.
قَامَت تُظَلِّلُنِي مِن الشَّمسِ نَفسٌ أحَبُّ إليََّ مِن نَفسِي
قَامَت تُظَلِّلُنِي وَمِن عَجَبٍ شَمسٌ تُظَلِّلُنِي مِن الشَّمسِ
“Telah
berdiri menaungiku dari teriknya matahari, seorang yang lebih aku cintai
daripada diriku sendiri. Ia telah menaungiku, amat mengherankan, bila ada
matahari menaungiku dari teriknya matahari”
Kata assyamsu
pada baris kedua bait kedua menyatakan dua makna. Makna pertama adalah makna
majazi berarti orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai kecemerlangan
matahari, sedang makna kedua adalah makna hakiki, yakni matahari yang ada di
langit. Bila diperhatikan, makna majazi dan makna hakiki ini berkaitan.
Kaitan/hubungan kedua makna tersebut disebut dengan musyaabahah
(saling menyerupai).
·
Majaz Aqli
Menyandarkan fi’il atau kata yang serupa kepada apa yang
bukan perbuatannya. Karinahnya seperti majaz lughawi, yakni menghalangi
peletakkan/penyandaran makna sebenarnya. Penyandaran dari majaz aqli adalah
penyandaran pada sabab fi’il, waktu fi’il atau mashdarnya, atau penyandaran
fa’il pada maf’ulnya, atau sebaliknya maf’ul pada fa’ilnya.
نَهَارُ الزَّاهِدِ
صَائِمٌ وَلَيلُهُ قَائِمٌ
“Siangnya Zahid berpuasa dan
malamnya berdiri (shalat)”
Dalam syair ini, puasa disandarkan kepada siang, bukan
kepada Zahid di mana ia adalah pelaku. Padahal siang itu tidak berpuasa yang
berpuasa adalah orang yang hidup pada siang itu. Dan berdiri shalat disandarkan
kepada malam. Padahal malam itu berdiri, tap yang berdiri adalah orang yang
shalat pada malam itu. Jadi, pada syair ini fi’il/kata yang serupa dengannya
disandarkan pada kata yang bukan tempat sandaran sebenarnya. Penyandaran majaz
aqli dalam syair ini adalah waktu fi’il.
·
Majaz Mursal
Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan pada makna
asal, karena tidak ada hubungan musyabahah, dan karinahnya menghalangi
pemahaman makna asli.
Hubungan makna hakiki dan makna majazi dalam majaz mursal
ini ada beberapa, yakni :as-sababiyyah, al-musabbabiyyah, al-juz’iyyah,
al-kulliyah, al-mahaliyyah, al-haliyyah.
قال تعالى : وَيُنَزِّلُ
لَكُم مِن السَّمَاء رِزقًا .........
“... dan menurunkan untukmu rizki
dari langit”
Yang dimaksud rizki pada ayat ini adalah hujan. Rizki
tidak diturunkan oleh Allah dari langit, melainkan air hujan, di mana dengan
air itu tumbuh-tumbuhan menjadi hidup dan menjadi sumber rizki bagi kita.
Demikianlah, maka rizki adalah musabbab/akibat dari turunnya hujan. Jadi
hubungannya adalah al-musabbabiyyah.
Balaghoh Majaz Mursal dan
Aqli
Jika kita perhatikan contoh-contoh majaz mursal dan majaz
aqli di atas, kebanyakan majaz itu mengemukakan makna singkat. Seperti contoh
berikut :
هَزَمَ القائِدُ الجَيشَ (komandan itu
menyisihkan pasukan musuh)
Keringkasan
ungkapan tersebut adalah salah satu jenis balaghoh.
Di samping itu,
dalam majaz mursal ada kemahiran memilih titik singgung antara makna asli dan
majazi, seperti menyebut intelijen dengan mata, menyebut telinga dengan orang
yang mudah tersinggung, dan contoh lainnya. Atau dalam majaz aqli ada
penyandaran sesuatu kepada sebabnya, tempat dan waktunya karena balaghoh memang
mengharuskan pemilihan sebab yang kuat, tempat dan waktu yang khusus juga.
Dan jika kita
perhatikan lagi, kebanyakan majaz mursal dan aqli menggunakan ungkapan yang
mubalaghoh (berlebih-lebihan) dan berpengaruh, menjadikan majaz itu menarik
hati. Seperti contoh berikut :
لَستُ أدرِي أهُوَ
فى أنفِهِ أم أنفُهُ فِيهِ
“saya tidak tahu apakah ia yang berada di hidungnya,
ataukah hidungnya yang ada pada dia”
Dalam buku referensi penulis, disebutkan bahwa majaz
mursal masuk bagian dalam majaz lughawi.
Bagian lain
dari
majaz lughawi adalah isti’aroh. Berikut penjelasan mengenai isti’aroh.
Isti’aroh
Isti’aroh
adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah
bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah
(saling menyerupai). Isti’aroh ada dua macam, yaitu :
1. Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahnya.
Contoh dari isti’aroh tashrihiyyah:
كَانَ أخِي يَقرِي
العَينَ جَمَالاً وَالأُذُنَ بَيَانًا
“Saudaraku
menjamu mata dengan keindahan, dan telinga dengan kejelasan”
Memberi
kenikmatan mata dengan keindahan dan memberi kenikmatan telinga dengan kejelasan diserupakan
dengan menjamu tamu. Jadi, menyuguh mata dan telinga itu maksudnya memberi
kenikmatan. Memberi kenikmatan sebagai isti’aroh tasrihiyyah.
Sedang karinahnya adalah jamaalan
dan bayaanan. Disini, musyabbahnya dibuang, yaitu memberi
kenikmatan.
2. Isti’aroh
Makniyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbah bihnya.
Dan menggunakan salah satu sifat khas dari musyabbah bih untuk menggantikannya.
Contoh dari isti’aroh makniyyah :
فُلاَنٌ يَرمِي بِطَرفِهِ
حَيثُ أَشَارَ الكَرَمُ
“Fulan
melempar matanya sebagaimana isyarat kedermawanannya”
Sifat
dermawan diserupakan dengan manusia. Lalu musyabbah bihnya
(manusia) dibuang dan digantikan dengan salah satu sifatnya yaitu asyaaro
(berisyarat). Sifat asyaaro ini sebagai isti’aroh makniyyah. Dan
isyarat kepada kemuliaan sebagai karinahnya.
3.
Isti’aroh Ashliyyah, yaitu isti’aroh yang menggunakan isim jamid.
Contoh dari isti’aroh makniyyah ashliyyah :
يَمُجُّ ظَلاَمًا فِي نَهَارٍ لِسَانُهُ وَيَفهَمُ عَمَّن قَالَ مَا لَيسَ
يَسمَعُ
“Lidah pena itu meludahkan kegelapan di siang hari dan ia paham
apa-apa yang dikatakan seseorang tanpa melalui pendengaran”
Pada sya’ir ini, pena (لسانه) diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah
bihnya dibuang dan diganti dengan salah satu sifat khasnya yaitu lidah.
Jadi isti’arahnya adalah isti’aroh makniyyah. Dan lafadz-lafadz
yang digunakan sebagai isti’aroh adalah isim jamid, sehingga disebut isti’aroh
makniyyah ashliyyah.
Contoh dari isti’aroh tashrihiyyah ashliyyah :
أُحِبُّكَ يَا شمَْسَ الزَّمَانِ وَبَدرَهُ وَإن
لاَمَنِي فِيكَ السُّهَا وَالفَرَاقِدُ
“Aku cinta kamu wahai matahari dan bulan zaman ini, sekalipun
bintang-bintang yang samar dan yang jauh mencaci makiku karena menyukaimu”
Pada bait ini, kata ganti ‘kamu’ diserupakan ddengan
matahari dan bulan, karena sama-sama berkedudukan tinggi. Musyabbah bihnya
(asy-syams dan al-badr) itu sebagai isti’aroh tashrihiyyah. Sedang lafadz yang digunakan adalah isim
jamid.
4.
Isti’aroh
Tabaiyyah, adalah isti’aroh yang
menggunakan lafadz isim musytaq/fi’il.
Contoh dari isti’aroh tashrihiyyah tabaiyyah :
وَردٌ إذا وَرَدَ البُحَيرَةَ شَارِبًا وَرَدَ
الفُرَاتَ زَئِيرُهُ وَالنِّيلاَ
“Apabila si merah itu datang ke danau untuk minum, maka
raungannya sampai ke sungai Eufrat dan Nil”
Pada syair ini, sampainya raungan singa ke wilayah sungai
Eufrat diserupakan dengan sampainya air karena sama-sama mencapai tujuan. Musyabbah
bihnya (warada) itu sebagai isti’aroh tashrihiyyah. Sedang lafadz dalam
isti’aroh tersebut adalah isim musytaq, bukan jamid.
5.
Isti’aroh Murasyahah,
adalah isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan
musyabbah bih.
Contoh Isti’aroh Murasyahah :
خُلُقُ فُلاَنٍ أَرَقُّ مِنْ أنفَاسِ الصَّبَاءِ إذا غَازَلَت أزهَارَ الرُّبَا
“Akhlak Fulan itu lebih lembut daripada napas angin timur ketika
bercanda dengan bunga-bunga dataran tinggi”
Pada bait ini, isti’aroh makniyyah terdapat pada
kata ‘ash-shobaa’ (angin yang berhembus dari timur), karena angin diserupakan
dengan manusia (dibuang musyabbah bihnya dan diganti dengan kata
yang menunjukkan sifat khasnya, yaitu anfaas). Anfaas menjadi
karinah makniyyah. Sedang isti’aroh murasyahah terdapat pada kata
ghaazalat
6.
Isti’aroh Mujarrodah,
adalah Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah.
Contoh isti’aroh mujarrodah :
كَانَ فُلاَنٌ أَكتَبَ النَّاسَ إذَا شَرِبَ قَلَمُهُ مِن دَوَاتِهِ أو غَنَّى
فَوقَ قِرطَاسِهِ
“Fulan adalah orang yang paling hebat tulisannya, ketika penanya
minum tinta dan menari di atas kertasnya”
Pada bait ini, terdapat isti’aroh mujarrodah,
yakni terdapat kata-kata yang relevan dengan musyabbah, yaitu kata ‘dawaatihi’
dan ‘qirthasihi’. Karinahnya qalam (minum dan menari).
7.
Isti’aroh
Muthlaqoh, adalah isti’aroh yang
tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih atau
musyabbah.
إنِّي شَدِيدُ العَطَشِ إلَى لِقَائِك
“Sesungguhnya saya sangat haus untuk bertemu denganmu”
Kerinduan diserupakan dengan kehausan karena yang dituju
sama. Karinahnya adalah kata ‘ilaa liqaa ika’, jadi isti’arohnya
adalah isti’aroh muthlaqoh.
8.
Isti’aroh
Tamtsiliyyah, adalah suatu susunan
kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan
antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah yang mencegah
peletakkan pada makna asli.
Contoh
isti’aroh tamtsiliyyah,
وَمَن يَكُ ذَافَمٍ مُرِّ مَرِيضٍ يَجِد
مُرًّا بِه المَاءَ الزُلالا
“Barang siapa merasa pahit mulutnya karena sakit, niscaya air
tawar terasa pahit olehnya”
Bait tersebut menunjukkan makna hakiki, yakni orang yang
sakit mulutnya terasa pahit ketika minum air tawar. Namun, penyair tidak
menggunakannya untuk makna itu, tetapi ditujukan pada orang-orang yang mencela
syairnya karena mereka tidak punya bakat syair. Musyabbahnya adalah
keadaan orang yang mencela syair, dan musyabbah bihnya keadaan
orang yang sakit yang berasa pahit jika minum air tawar. Susunan kalimat
tersebut dinamakan isti’aroh tamtsiliyyah.
Balaghotul Isti’aroh
Tidak beda jauh dengan balaghoh tasybih, di
mana nilai tasybih yaitu pada penyusunan kata-katanya dan pada pembuatan
musyabbah bih yang jauh dari jangkauan hati kecuali hati orang yang
berjiwa seni. Sedang nilai isti’aroh dari segi lafadznya adalah bahwa
susunan kalimatnya seakan-akan tidak mengindahkan tasybih, karena saking
indahnya dan tasybihnya terselubung, mengharuskan kita untuk mengkhayalkan
sendiri gambaran barunya.
Oleh
karena itu, nilai isti’aroh dalam balaghoh lebih besar bahkan
dari tasybih baligh, Karena tasybih baligh walaupun disusun tanpa
musyabbah dan musyabbah bih, tasybihnya masih terlihat jelas.
Berbeda dengan isti’aroh, di mana tasybihnya tersembunyi.
Adapun
nilai isti’aroh dari segi rekayasa dan keindahan berilusi dan
pengaruhnya dalam jiwa para pendengarnya adalah adanya kesempatan yang leluasa
utuk berkreasi, dan adanya semacam perlombaan bagi ahli sastra.
Gambaran
dari contoh-contoh syair yang telah disebutkan di atas tidak diragukan lagi
sangat indah dan senantiasa manis didengar serta menyenangkan sepanjang masa.
KESIMPULAN
Dari paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki
kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menyebutkan unsur-unsurnya,
yaitu musyabbah, musyabbah buh, adat tasybih, dan wajh syibh.
Walaupun demikian, ada juga jenis tasybih yang tidak
menyebutkan salah satu atau bahkan salah dua dari empat unsur tersebut. Tasybih
akan semakin tinggi tingkatannya jika tidak menyebutkan musyabbah dan musyabbah
bihnya. Tasybih ini disebut tasybih baligh. Dan sebaliknya, akan semakin rendah
tingkatannya jika disebutkan seluruh unsur-unsurnya.
Majaz dibagi menjadi tiga yaitu majaz
lughawi, mursal, dan aqli.
Ketiga majaz tersebut sama-sama mengungkapkan sesuatu
dengan makna tidak sebenarnya. Kebalikan dari hakikat yang mengungkapkan makna
asli sebenarnya.
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya
(musyabbah/musyabbah bih). Dan hubungan antara makna hakiki dan majazinya
adalah musyabahah (saling melengkapi). Nilai isti’aroh dilihat dari segi lafadz
dan rekayasa keindahannya. Dari segi lafadznya, tasybih dalam susunan
kalimatnya terselubung/tersembunyi. Dan dari segi rekayasa keindahannya, adalah
adanya kesempatan yang leluasa utuk berkreasi, dan adanya semacam perlombaan
bagi ahli sastra.
WALLAHU A'LAM BI SHOWAB.....SEMOGA BERMANFA'AT SEKEDAR UNTUK PENGETAHUAN/CONTOH BAGI PARA PELAJAR YG INGIN BELAJAR MEMBUAT MAKALAH.
WALLAHU A'LAM BI SHOWAB.....SEMOGA BERMANFA'AT SEKEDAR UNTUK PENGETAHUAN/CONTOH BAGI PARA PELAJAR YG INGIN BELAJAR MEMBUAT MAKALAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar