Total Tayangan Halaman

Selasa, 06 Agustus 2013

CONTOH MAKALAH BALAGHOH(Tastbih.Majaz,Isti'arah)

CONTOH MAKALAH BALAGHOH ( Tasybih, Majaz, Isti’arah )





MAKALAH BALAGHOH

( Tasybih, Majaz, Isti’arah )






Oleh :

(Zainal mustofa Al-faqier Al-khaqier)







PENDAHULUAN



Menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang sangat indah dan sarat akan makna itu tidaklah mudah. Apalagi Al-Quran merupakan mukjizat terindah dan teragung yang diberikan kepada nabi Muhammad.

Salah satu saran dari sekian banyak disiplin ilmu yang dapat dipergunakan untuk mencapai maksud itu adalah balaghoh, karena balaghoh merupakan disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian yang menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang sama di antara macam-macam uslub (ungkapan). Balaghoh mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih.

Ilmu bayan terdiri atas empat bahasan, yakni tasybih, hakikat dan majaz, isti’aroh, dan kinayah. Sementara kinayah tidak saya tulis dan bahas bersama dalam makalah ini. Makalah yang disusun atas tiga bagian ini, yaitu yang memaparkan tasybih, majaz, dan isti’aroh disajikan secara sistematis dan menggunakan bahasa yang sederhana, guna memudahkan pembaca memahaminya.

Sebelum masuk ke bahasan, balaghoh itu sendiri adalah ungkapan yang benar dan fasih, dengan menggunakan berbagai macam uslub. Fasih/fasahah bermakna jelas dan terang. Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya, dan baik susunannya. Jadi, kalimat yang fasahah itu harus sesuai kaidah sharaf yang benar dan mudah dipahami. Selain itu, kata-kata yang menyusun kalimat itu tidak tanafur sehingga tidak sulit didengar dan diucapkan, juga tidak rancu susunannya. Kalimat yang rancu adalah kalimat yang tidak jelas maksudnya. Kalimat yang fasih juga harus bebas dari kerancuan makna (ALIYAS MBULET....'')

Sedang uslub adalah kata atau ungkapan yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih menyentuh jiwa para pendengarnya. Uslub ada tiga macam; uslub ilmiah, uslub adabi (sastra), dan uslub khithabi. Uslub ilmiah adalah uslub yang mengedepankan akal dan berdialog dengan pikiran. Dalam uslub ini sangat ditekankan kejelasan dan ketepatan argumentasinya. Uslub adabi lebih mengedepankan keindahan nua. Sumbernya bisa dari khayalan yang indah, imajinasi yang tajam, dan lain-lain. Sedang uslub khithabi lebih ditekankan pada ketegasan makna dan redaksi, ketegasan argumentasi dan data, ddan keluasan wawasan. Dalam uslub ini, pengulangan kata/kalimat, pemakaian sinonim, pemberian contoh masalah, dan pemilihan kata-kata yang tegas adalah yang menentukan kelebihan uslub ini.





PEMBAHASAN



Tasybih



A.    Pengertian Tasybih

Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan maupun tidak.



B.     Rukun-rukun Tasybih

1.  Musyabbah (sesuatu yang hendak diserupakan)

2.  Musyabbah bih (sesuatu yang diserupai)

3.  Wajhus syibhi (sifat yang terdapat pada kedua hal itu)

4.  Adaatut tasybih (huruf/kata yang menyatakan penyerupaan)

Musyabbah dan musyabbah bih disebut juga tharafait tasybih.



C.    Pembagian Tasybih

1.      Tasybih mursal

Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan, contoh :

أَنَا كَالمَاءِ إنْ رَضِيتُ صَفَاءًا وَإذَا مَا سَخِطْتُ كُنْتُ لَهِيبًا

Huruf yang bergaris bawah adalah salah satu adat tasybih yakni كَ



2.      Tasybih muakkad

Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya tidak disebutkan, contoh :

أينَ أزْمَعتَ أيُّهَذا الهُمَامُ     نَحنُ نَبتُ الرُبَا وأنتَ الغَمَامُ

“kemanakah tuan hendak menuju, wahai Raja yang pemurah? Kami adalah tumbuh-tumbuhan pegunungan dan Tuan adalah mendung”



Dalam bait ini adat tasybih tidak disebutkan, karena penyair ingin menunjukkan bahwa musyabbah adalah musyabbah bih itu sendiri. Oleh karena itu ia tidak menyebutkan adat tasybih yang memberi kesan bahwa musyabbah lebih lemah dari musyabbah bih.



3.      Tasybih mujmal

Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajh syibhnya, contoh:

وَكَأَنَّ الشَمْسَ المُنِيرةَ دِينَارٌ جَلَّتهُ حَدَائِدَ الضَرَائِبِ

“Matahari yang bersinar itu bagaikan dinar yang tampak kuning cemerlang yang ditempa besi cetakannya”



Penyair menyerupakan matahari ketika terbit dengan dinar yang baru saja selesai dicetak. Ia tidak menyebutkan wajah syibhnya dan hanya mengandalkan kita untuk menangkapnya sendiri, yakni warna kekuning-kuningannya yang mengkilat.



4.      Tasybih mufashal

Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah syibhnya, contoh:

العَالِمُ سِرَاجُ أُمَّتِهِ فى الهِدَايَةِ وتَبْدِيدِ الظَّلاَمِ

“orang berilmu itu pelita bagi umatnya dalam memberi petunjuk dan menghilangkan kegelapan”



Kalimat yang bergaris bawah di atas adalah wajh syibhnya. Wajh syibhnya dijelaskan dan dirinci.



5.      Tasybih baligh

Tasybih baligh tasybih yang tidak disebutkan wajah syibh dan adat tasybihnya, contoh:

أينَ أزْمَعتَ أيُّهَذا الهُمَامُ     نَحنُ نَبتُ الرُبَا وأنتَ الغَمَامُ

“kemanakah tuan hendak menuju, wahai Raja yang pemurah? Kami adalah tumbuh-tumbuhan pegunungan dan Tuan adalah mendung”

Penyair tidak menyebutkan adat tasybih dan wajh syibhnya, karena akan memberi kesan bahwa musyabbah lebih lemah dari musyabbah bih, dan memaksakan bahwa kesamaan sifat dari kedua hal itu hanya pada satu sifat, dan tidak pada sifat yang lain.



D.    Tasybih Tamtsil

Tasybih tamtsil adalah tasybih di mana wajh syibh nya berupa sifat/gambaran secara menyeluruh, yang diambil dari beberapa hal. Dan jika sebaliknya, maka disebut tasybih ghoiru tamtsil/tasybih mufrad.

Contoh Tasybih tamtsil :

وكَأنَّ الهلالَ نونُ لُجَينٍ      غَرِقَت في صَحِيفةٍ زَرقَاءَ

“seakan-akan bulan sabit itu pedang dari perak yang tenggelam dalam piring besar biru”



Pada bait ini, penyair menyerupakan bulan sabit yang putih berkilau dengan keadaan pedang yang terbuat dari perak dan disimpan dalam piringan besar berwarna biru. Wajh syibh nya adalah gambaran yang diambil dari beberapa hal, yakni sesuatu berwarna putih, berbentuk melengkung (sabit), terletak di suatu tempat yang berwarna biru.



Contoh Tasybih ghoiru tamtsil/mufrad :

هُوَ بَحر السَماح والجود فازْدادْ      مِنهُ قُربا تَزدَادْ مِنَ الفَقرِ بُعدَا

“ia adalah lautan kemurahan. Dekatlah kepadanya, maka kamu akan bertambah jauh dari kefakiran”



Penyair menyerupakan kemurahan orang yang dipujanya dengan lautan. Ia juga mengimbau kepada orang-orang untuk mendekat padanya, agar terjauhkan dari kefakiran. Wajh syibh nya adalah suatu sifat yang hanya dimiliki bersama oleh 2 hal, yakni orang yang dipuja dan laut, sama-sama memiliki sifat murah hati.



E.     Tasybih Dhimniy

Tasybih dhimniy adalah tasybih dimana musyabbah dan musyabbah bihnya tidak dirangkai dalam bentuk seperti biasa, hanya terkandung dalam makna. Syair-syair tasybih dimniy mengandung unsur-unsur tasybih tapi secara tersirat. Tersirat berarti tidak jelas. Syair-syair berikut mengandung tasybih, tapi tidak tegas (tasybih dhimniy):



لاَ تُنكِرِى عَطَلَ الكَرِيمِ مِن الغِنَى     فَالسَّيلُ حَربٌ لِلمَكَانِ العَالِى

“Jangan kau ingkari orang dermawan yang tidak memiliki kekayaan, karena banjir adalah musuh bagi tempat yang tinggi”



كَرَمٌ تَبَيَّنَ فِي كَلاَمِكَ مَاثِلاً            وَيَبِينَ عِتقُ الخَيلِ مِن أَصوَاتِهَا

“Dalam pembicaraanmu terkesan kebangsawananmu karena kuda yang istimewa itu dapat diketahui melalui ringkikannya”



Pada syair pertama dikatakan bahwa “jangan kau ingkari orang dermawan yang tidak memiliki kekayaan, sebab puncak-puncak gunung yang merupakan tempat tinggi tidak dapat digenangi oleh air banjir”. Dalam kalimat ini, penyair secara tersirat menyerupakan si dermawan yang tidak memiliki kekayaan itu dengan puncak gunung yang tidak pernah dilanda banjir. Penyair tidak mengatakan langsung seperti itu, namun menggunakan kalimat tersendiri yang mencakup makna tersebut.

Syair kedua tidak berbeda dengan syair pertama yang mencakup makna tersirat. Di mana penyair menyerupakan keadaan pembicaraan yang memberi kesan kebangsawanan orang yang berbicara dengan keadaan ringkikan kuda yang istimewa, yang menunjukkan bahwa kuda itu berasal dari keturunan yang baik.



F.     Tasybih Maqlub

Tasybih maqlub adalah tasybih di mana musyabbah didakwakan/dibalik menjadi musyabbah bih, dan sebaliknya, musyabbah bih menjadi musyabbah. Dalam taasybih ini diserupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, tapi kemudian makna tasybih itu diselewengkan karena wajh syibh lebih utama atau lebih kuat daripada musyabbah. Tasybih maqlub bermaksud untuk melebih-lebihkan bahwa wajh syibh lebih kuat dari musyabbah.

مَن قَاسَ جَدوَاكَ يَومًا      بِالسُحُب أخطَأََ مَدحَكَ

السُّحُبُ تُعطِي وَتَبكِي      وأنتَ تُعطِي وَتَضحَكُ

“Barangsiapa membandingkan kedermawanan di suatu hari dengan hujan, maka ia telah salah dalam memujimu. Awan itu member sambil menangis, sedang kamu memberi dengan tertawa”.



Penyair menyerupakan awan/hujan dengan kedermawanan. Padahal sudah pasti bahwa awan/hujan itu lebih dahsyat/lebih kuat daripada kedermawanan. Dan yang biasa kita dengar adalah kedermawanan diserupakan dengan awan/hujan, akan tetapi dalam syair ini disebutkan tasybih yang sebaliknya.



G.    Maksud dan Tujuan Tasybih

1.           Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah: ketika sesuatu yang asing/aneh disandarkan pada musyabbah,dan keanehan itu tidak hilang sebelum dijelaskan keanehan yang sama itu pada kasus lain. Contoh:

كَمْ أبٍ  قَدْ عَلاَ بِابنٍ ذُرَا شَرَفٍ               كَمَا عَلاَ بِرَسول الله عَدْنَانُ

“banyak sekali puncak kemuliaan seorang ayah itu karena kemuliaan anaknya, seperti Adnan mencapai puncak kemuliaan karena kemuliaan Rasulullah saw”



Sesuatu yang aneh disini adalah meningkatnya kemuliaan. Seorang ayah, puncak kemuliaannya adalah karena kemuliaan anaknya, keanehan itu tidak akan diketahui jika tidak disebutkan pula pada kasus lain, yakni Adnan mencapai puncak kemuliaan, juga karena kemuliaan orang lain, Rasulullah saw.



2.           Menjelaskan keadaan musyabbah: jika musyabbah tidak diketahui sifatnya sebelum ada tasybih yang menjelaskan/menyebutkan sifatnya itu. Contoh:

أرَى كُلَّ ذِي جُودٍ إليكَ مَصِيرُهُ               كَأَنَّكَ بَحرٌ والمُلوكُ جَدَاوِلٌ

“saya melihat semua orang dermawan menuju kepadamu, seakan-akan engkau adalah laut dan raja-raja adalah sungai-sungai kecil”



Pada baris pertama hanya disebutkan “saya melihat semua orang dermawan menuju kepadamu”, dan tidak akan diketahui sifatnya musyabbah, jika baris kedua tidak disebutkan, “seakan-akan engkau adalah laut dan raja-raja adalah sungai-sungai kecil”.



3.      Menjelaskan kadar keadaan musyabbah: bila musyabbah sudah diketahui keadaannya secara global, dan tasybih didatangkan dengan tujuan menjelaskan rincian keadaannya. Contoh:

لي مَنزِلٌ كوِجَار الضَّبِّ أنزِلُهُ                   ضَنكٌ تَقارَبَ قُطرَاهُ فَقَد ضَاقَا

أراهُ قالَبَ جِسمي حينَ أدخُلُهُ                 فَما أمُدُّ به رِجلا ولا ساقا

Rumahku yang kudiami sempit bagaikan liang biawak, yang kedua sisi-sisinya berdekatan sehingga benar-benar sempit. Saya harus memutar-mutar badan ketika memasukinya sehingga saya tidak dapat lagi meluruskan kaki dan betis”



Pada bait di atas keadaan musyabbah benar-benar dijelaskan dengan sangat rinci. Rumah penyair berukuran kecil dan sempit. Ia menjelaskan keadaan keseluruhan rumahnya dengan sangat rinci, setelah ia sebutkan sifat secara umum rumahnya (bahwa rumahnya sesempit lubang biawak), dan baru ia jelaskan rinciannya.



4.           Menegaskan keadaan musyabbah: bila sesuatu yang disandarkan pada musyabbah membutuhkan penegasan dengan contoh. Contoh:



فَضْلُ ذِي العِلمِ وَإن أخْفَاهُ كَالمِسكِ يُستَرُ ثُمَّ لا يَمنَغُ ذالك رَائِحَتَهُ أن تَفوحَ

“kemuliaan orang yang berilmu meskipun ia merahasiakan ilmunya, adalah seperti minyak kesturi yang tertutup rapi, namun baunya tetap semerbak”



Dalam syair ini, diserupakan kemuliaan orang yang berilmu dengan minyak kesturi. Walaupun ia merahasiakan ilmunya, tetap terlihat bahwa ia orang berilmu. Seperti minyak kesturi, kalaupun ditutup rapat-rapat, tetap akan tercium juga wanginya.



5.      Memperindah atau memperburuk musyabbah. Contoh:

ما هُوَ عَبدٌ لَكِنَّهُ وَلَدُ                خَوَّلَنيه المُهَيمِنُ الصَمَدُ

وشَدَّ أزرِي بِحُسنِ خِدمَتِهِ          فَهْوَ يَدِي والذِرَاعُ والعَضُدُ

“Ia bukanlah seorang budak, melainkan anak yang dikuasakan Allah yang Maha kuasa lagi bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dengan pelayanannya yang bagus, ia sangat membantuku. Maka ia adalah tanganku, hastaku, dan bahuku”



Bait ini menunjukkan bahwa penyair begitu menyukai seseorang tersebut (musyabbah). Ia menyerupakan orang tersebut seperti tangan, hasta, dan bahunya, di mana ia juga menyukai segala sesuatu tentang dirinya. Dan sampai menyerupai orang tersebut dengan beberapa dari anggota tubuhnya sendiri yang ia sukai.



H.    Balaghoh Tasybih dan Pengaruhnya

-   Balaghoh tasybih terletak pada dakwaan di mana musyabbah adalah musyabbah bih itu sendiri (musyabbah dan musyabbah bih adalah hal yang satu)

-   Balaghoh tasybih muncul jika tasybih itu membawa kita dari suatu keadaan kepada keadaan baru yang menyerupainya dan punya nilai lebih. Dan jika penyerupaan itu susah dipahami/jauh dari kehendak hati, maka tasybih itu akan semakin indah dan mengagumkan.

-   Nilai balaghoh tasybih dilihat dari segi jarang dan jauhnya sasaran, serta dari kadar imaginasinya. Tasybih yang semakin rendah tingkatan balaghohnya adalah tasybih yang disebutkan seluruh rukun/unsurnya. Karena seperti telah disebutkan di atas, bahwa balaghoh tasybih terletak pada dakwaan di mana musyabbah adalah musyabbah bih itu sendiri (tasbybih baligh), sedang keberadaan adat tasybih dan wajh syibh akan menghalangi dakwaan ini. Dan tasybih yang dibuang/tidak disebutkan adat dan wajh syibhnya tingkat balaghohnya akan meningkat. Adapun tasybih yang paling tinggi tingkatan balaghohnya adalah jenis tasybih baligh, seperti telah dijelaskan sebelumnya.





Hakikat dan Majaz



Hakikat adalah lafadz yang menunjukkan makna asli. Sedang majaz adalah lafadz yang tidak menunjukkan makna asli. Contoh:

الأسد : الحيوان المفترس (الحقيقة)

         الرجل الشجاع (المجاز)



Majaz dibagi menjadi tiga yaitu majaz lughawi, mursal, dan aqli.

·              Majaz lughawi adalah lafadz yang digunakan bukan makna sebenarnya, karena ada hubungan disertai karinah yang mencegah peletakkan makna sesungguhnya. Karinah adalah kata yang mencegah peletakkan makna asli.



قَامَت تُظَلِّلُنِي مِن الشَّمسِ   نَفسٌ أحَبُّ إليََّ مِن نَفسِي

قَامَت تُظَلِّلُنِي وَمِن عَجَبٍ   شَمسٌ تُظَلِّلُنِي مِن الشَّمسِ

“Telah berdiri menaungiku dari teriknya matahari, seorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Ia telah menaungiku, amat mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari teriknya matahari”



Kata assyamsu pada baris kedua bait kedua menyatakan dua makna. Makna pertama adalah makna majazi berarti orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai kecemerlangan matahari, sedang makna kedua adalah makna hakiki, yakni matahari yang ada di langit. Bila diperhatikan, makna majazi dan makna hakiki ini berkaitan. Kaitan/hubungan kedua makna tersebut disebut dengan musyaabahah (saling menyerupai).



·         Majaz Aqli

Menyandarkan fi’il atau kata yang serupa kepada apa yang bukan perbuatannya. Karinahnya seperti majaz lughawi, yakni menghalangi peletakkan/penyandaran makna sebenarnya. Penyandaran dari majaz aqli adalah penyandaran pada sabab fi’il, waktu fi’il atau mashdarnya, atau penyandaran fa’il pada maf’ulnya, atau sebaliknya maf’ul pada fa’ilnya.

نَهَارُ الزَّاهِدِ صَائِمٌ وَلَيلُهُ قَائِمٌ

“Siangnya Zahid berpuasa dan malamnya berdiri (shalat)”



Dalam syair ini, puasa disandarkan kepada siang, bukan kepada Zahid di mana ia adalah pelaku. Padahal siang itu tidak berpuasa yang berpuasa adalah orang yang hidup pada siang itu. Dan berdiri shalat disandarkan kepada malam. Padahal malam itu berdiri, tap yang berdiri adalah orang yang shalat pada malam itu. Jadi, pada syair ini fi’il/kata yang serupa dengannya disandarkan pada kata yang bukan tempat sandaran sebenarnya. Penyandaran majaz aqli dalam syair ini adalah waktu fi’il.



·         Majaz Mursal

Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan pada makna asal, karena tidak ada hubungan musyabahah, dan karinahnya menghalangi pemahaman makna asli.

Hubungan makna hakiki dan makna majazi dalam majaz mursal ini ada beberapa, yakni :as-sababiyyah, al-musabbabiyyah, al-juz’iyyah, al-kulliyah, al-mahaliyyah, al-haliyyah.

قال تعالى : وَيُنَزِّلُ لَكُم مِن السَّمَاء رِزقًا .........

“... dan menurunkan untukmu rizki dari langit”



Yang dimaksud rizki pada ayat ini adalah hujan. Rizki tidak diturunkan oleh Allah dari langit, melainkan air hujan, di mana dengan air itu tumbuh-tumbuhan menjadi hidup dan menjadi sumber rizki bagi kita. Demikianlah, maka rizki adalah musabbab/akibat dari turunnya hujan. Jadi hubungannya adalah al-musabbabiyyah.



Balaghoh Majaz Mursal dan Aqli



Jika kita perhatikan contoh-contoh majaz mursal dan majaz aqli di atas, kebanyakan majaz itu mengemukakan makna singkat. Seperti contoh berikut :

هَزَمَ القائِدُ الجَيشَ (komandan itu menyisihkan pasukan musuh)

Keringkasan ungkapan tersebut adalah salah satu jenis balaghoh.

Di samping itu, dalam majaz mursal ada kemahiran memilih titik singgung antara makna asli dan majazi, seperti menyebut intelijen dengan mata, menyebut telinga dengan orang yang mudah tersinggung, dan contoh lainnya. Atau dalam majaz aqli ada penyandaran sesuatu kepada sebabnya, tempat dan waktunya karena balaghoh memang mengharuskan pemilihan sebab yang kuat, tempat dan waktu yang khusus juga.

Dan jika kita perhatikan lagi, kebanyakan majaz mursal dan aqli menggunakan ungkapan yang mubalaghoh (berlebih-lebihan) dan berpengaruh, menjadikan majaz itu menarik hati. Seperti contoh berikut :

لَستُ أدرِي أهُوَ فى أنفِهِ أم أنفُهُ فِيهِ

“saya tidak tahu apakah ia yang berada di hidungnya, ataukah hidungnya yang ada pada dia”



Dalam buku referensi penulis, disebutkan bahwa majaz mursal masuk bagian dalam majaz lughawi.

Bagian lain dari majaz lughawi adalah isti’aroh. Berikut penjelasan mengenai isti’aroh.



Isti’aroh

Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai). Isti’aroh ada dua macam, yaitu :



1.      Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahnya.

Contoh dari isti’aroh tashrihiyyah:

كَانَ أخِي يَقرِي العَينَ جَمَالاً وَالأُذُنَ بَيَانًا

“Saudaraku menjamu mata dengan keindahan, dan telinga dengan kejelasan”



Memberi kenikmatan mata dengan keindahan dan memberi kenikmatan telinga dengan kejelasan diserupakan dengan menjamu tamu. Jadi, menyuguh mata dan telinga itu maksudnya memberi kenikmatan. Memberi kenikmatan sebagai isti’aroh tasrihiyyah. Sedang karinahnya adalah  jamaalan dan bayaanan. Disini, musyabbahnya dibuang, yaitu memberi kenikmatan.

2.      Isti’aroh Makniyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbah bihnya. Dan menggunakan salah satu sifat khas dari musyabbah bih untuk menggantikannya.

Contoh dari isti’aroh makniyyah :

فُلاَنٌ يَرمِي بِطَرفِهِ حَيثُ أَشَارَ الكَرَمُ

“Fulan melempar matanya sebagaimana isyarat kedermawanannya”



Sifat dermawan diserupakan dengan manusia. Lalu musyabbah bihnya (manusia) dibuang dan digantikan dengan salah satu sifatnya yaitu asyaaro (berisyarat). Sifat asyaaro ini sebagai isti’aroh makniyyah. Dan isyarat kepada kemuliaan sebagai karinahnya.



3.      Isti’aroh Ashliyyah, yaitu isti’aroh yang menggunakan isim jamid.

Contoh dari isti’aroh makniyyah ashliyyah :

يَمُجُّ ظَلاَمًا فِي نَهَارٍ لِسَانُهُ           وَيَفهَمُ عَمَّن قَالَ مَا لَيسَ يَسمَعُ

“Lidah pena itu meludahkan kegelapan di siang hari dan ia paham apa-apa yang dikatakan seseorang tanpa melalui pendengaran”



Pada sya’ir ini, pena (لسانه) diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bihnya dibuang dan diganti dengan salah satu sifat khasnya yaitu lidah. Jadi isti’arahnya adalah isti’aroh makniyyah. Dan lafadz-lafadz yang digunakan sebagai isti’aroh adalah isim jamid, sehingga disebut isti’aroh makniyyah ashliyyah.

Contoh dari isti’aroh tashrihiyyah ashliyyah :

أُحِبُّكَ يَا شمَْسَ الزَّمَانِ وَبَدرَهُ       وَإن لاَمَنِي فِيكَ السُّهَا وَالفَرَاقِدُ

“Aku cinta kamu wahai matahari dan bulan zaman ini, sekalipun bintang-bintang yang samar dan yang jauh mencaci makiku karena menyukaimu”



Pada bait ini, kata ganti ‘kamu’ diserupakan ddengan matahari dan bulan, karena sama-sama berkedudukan tinggi. Musyabbah bihnya (asy-syams dan al-badr) itu sebagai isti’aroh tashrihiyyah. Sedang lafadz yang digunakan adalah isim jamid.



4.      Isti’aroh Tabaiyyah, adalah isti’aroh yang menggunakan lafadz isim musytaq/fi’il.

Contoh dari isti’aroh tashrihiyyah tabaiyyah :

وَردٌ إذا وَرَدَ البُحَيرَةَ شَارِبًا         وَرَدَ الفُرَاتَ زَئِيرُهُ وَالنِّيلاَ

“Apabila si merah itu datang ke danau untuk minum, maka raungannya sampai ke sungai Eufrat dan Nil”



Pada syair ini, sampainya raungan singa ke wilayah sungai Eufrat diserupakan dengan sampainya air karena sama-sama mencapai tujuan. Musyabbah bihnya (warada) itu sebagai isti’aroh tashrihiyyah. Sedang lafadz dalam isti’aroh tersebut adalah isim musytaq, bukan jamid.

5.      Isti’aroh Murasyahah, adalah isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.

Contoh Isti’aroh Murasyahah :

خُلُقُ فُلاَنٍ أَرَقُّ مِنْ أنفَاسِ الصَّبَاءِ إذا غَازَلَت أزهَارَ الرُّبَا

“Akhlak Fulan itu lebih lembut daripada napas angin timur ketika bercanda dengan bunga-bunga dataran tinggi”



Pada bait ini, isti’aroh makniyyah terdapat pada kata ‘ash-shobaa’ (angin yang berhembus dari timur), karena angin diserupakan dengan manusia (dibuang musyabbah bihnya dan diganti dengan kata yang menunjukkan sifat khasnya, yaitu anfaas). Anfaas menjadi karinah makniyyah. Sedang isti’aroh murasyahah terdapat pada kata ghaazalat



6.      Isti’aroh Mujarrodah, adalah Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.

Contoh isti’aroh mujarrodah :

كَانَ فُلاَنٌ أَكتَبَ النَّاسَ إذَا شَرِبَ قَلَمُهُ مِن دَوَاتِهِ أو غَنَّى فَوقَ قِرطَاسِهِ

“Fulan adalah orang yang paling hebat tulisannya, ketika penanya minum tinta dan menari di atas kertasnya”



Pada bait ini, terdapat isti’aroh mujarrodah, yakni terdapat kata-kata yang relevan dengan musyabbah, yaitu kata ‘dawaatihi’ dan ‘qirthasihi’. Karinahnya qalam (minum dan menari).



7.      Isti’aroh Muthlaqoh, adalah isti’aroh yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih atau musyabbah.

إنِّي شَدِيدُ العَطَشِ إلَى لِقَائِك

“Sesungguhnya saya sangat haus untuk bertemu denganmu”



Kerinduan diserupakan dengan kehausan karena yang dituju sama. Karinahnya adalah kata ‘ilaa liqaa ika’, jadi isti’arohnya adalah isti’aroh muthlaqoh.



8.      Isti’aroh Tamtsiliyyah, adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah yang mencegah peletakkan pada makna asli.

Contoh isti’aroh tamtsiliyyah,

وَمَن يَكُ ذَافَمٍ مُرِّ مَرِيضٍ         يَجِد مُرًّا بِه المَاءَ الزُلالا

“Barang siapa merasa pahit mulutnya karena sakit, niscaya air tawar terasa pahit olehnya”



Bait tersebut menunjukkan makna hakiki, yakni orang yang sakit mulutnya terasa pahit ketika minum air tawar. Namun, penyair tidak menggunakannya untuk makna itu, tetapi ditujukan pada orang-orang yang mencela syairnya karena mereka tidak punya bakat syair. Musyabbahnya adalah keadaan orang yang mencela syair, dan musyabbah bihnya keadaan orang yang sakit yang berasa pahit jika minum air tawar. Susunan kalimat tersebut dinamakan isti’aroh tamtsiliyyah.





Balaghotul Isti’aroh



Tidak beda jauh dengan balaghoh tasybih, di mana nilai tasybih yaitu pada penyusunan kata-katanya dan pada pembuatan musyabbah bih yang jauh dari jangkauan hati kecuali hati orang yang berjiwa seni. Sedang nilai isti’aroh dari segi lafadznya adalah bahwa susunan kalimatnya seakan-akan tidak mengindahkan tasybih, karena saking indahnya dan tasybihnya terselubung, mengharuskan kita untuk mengkhayalkan sendiri gambaran barunya.

Oleh karena itu, nilai isti’aroh dalam balaghoh lebih besar bahkan dari tasybih baligh, Karena tasybih baligh walaupun disusun tanpa musyabbah dan musyabbah bih, tasybihnya masih terlihat jelas. Berbeda dengan isti’aroh, di mana tasybihnya tersembunyi.

Adapun nilai isti’aroh dari segi rekayasa dan keindahan berilusi dan pengaruhnya dalam jiwa para pendengarnya adalah adanya kesempatan yang leluasa utuk berkreasi, dan adanya semacam perlombaan bagi ahli sastra.

Gambaran dari contoh-contoh syair yang telah disebutkan di atas tidak diragukan lagi sangat indah dan senantiasa manis didengar serta menyenangkan sepanjang masa.





KESIMPULAN

Dari paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menyebutkan unsur-unsurnya, yaitu musyabbah, musyabbah buh, adat tasybih, dan wajh syibh.

Walaupun demikian, ada juga jenis tasybih yang tidak menyebutkan salah satu atau bahkan salah dua dari empat unsur tersebut. Tasybih akan semakin tinggi tingkatannya jika tidak menyebutkan musyabbah dan musyabbah bihnya. Tasybih ini disebut tasybih baligh. Dan sebaliknya, akan semakin rendah tingkatannya jika disebutkan seluruh unsur-unsurnya.

Majaz dibagi menjadi tiga yaitu majaz lughawi, mursal, dan aqli.

Ketiga majaz tersebut sama-sama mengungkapkan sesuatu dengan makna tidak sebenarnya. Kebalikan dari hakikat yang mengungkapkan makna asli sebenarnya.

Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah bih). Dan hubungan antara makna hakiki dan majazinya adalah musyabahah (saling melengkapi). Nilai isti’aroh dilihat dari segi lafadz dan rekayasa keindahannya. Dari segi lafadznya, tasybih dalam susunan kalimatnya terselubung/tersembunyi. Dan dari segi rekayasa keindahannya, adalah adanya kesempatan yang leluasa utuk berkreasi, dan adanya semacam perlombaan bagi ahli sastra.

WALLAHU A'LAM BI SHOWAB.....SEMOGA BERMANFA'AT SEKEDAR UNTUK PENGETAHUAN/CONTOH BAGI PARA PELAJAR YG INGIN BELAJAR MEMBUAT MAKALAH. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar