Terbunuhnya Al-Hasan dan Al-Husein
DI TULIS DAN DI SALIN OLEH: ZAINAL MUSTOFA DARI SUMBERNYA
KITAB:
Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Al-Hasan dan Al-Husein adalah putera dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak perempuannya Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Mereka termasuk kalangan ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapat pujian-pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya beliau bersabda:
إِنَّ الْحَسَنَ وَ الْحُسَيْنَ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا. (أخرجه البخاري مع الفتح ٧/٤٦٤، ٢۷٥٢؛ والترمذى وأحمد عن ابن عمر)
Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husein adalah kesayanganku dari dunia. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz VII, hal. 464, hadits 3753 dan Tirmidzi, Ahmad dari Ibnu Umar)
Juga bersabda:
الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ. (رواه الترمذى والحاكم والطبراني وأحمد وغيرهم عن أبى سعيد ورواه أيضا عشرة فى الصحابة صححه الألبانى فى الصحيحة ص ٤٢٢، ٧٩٦)
Al-Hasan dan Al-Husein adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah. (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abi Sa’id al-Khudri; dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani dalam Silsilah Hadits Shahih, hal 423, hadits no. 796 dan beliau berkata hadits ini diriwayatkan pula dari 10 shahabat)
Sedangkan khusus tentang keutamaan Hasan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَسَنُ مِنِّى والْحُسَيْنُ مِنْ عَلِيٍّ. (أخرجه أبو داود وأحمد والطبرانى عن المقدام بن معدى كرب؛ وصححه الألبانى فى الصحيحة ص ٤٥٠، ۸١١)
Al-Hasan dariku dan Al-Husein dari Ali. (HR. Abu Dawud, Ahmad, Thabrani dari Miqdam Ibnu Ma’di Karib; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Shahih, hal 450, hadits no. 711)
عَنِ الْبَرَاءِ بْنُ عَازِبٍ قَالَ
رَأَيْتُ الْحَسَنَ بْنِ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم وَهُوَ يَقُوْلُ: ((اللَّهُمَّ إِنِّى أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ)). (رواه البخارى مع الفتح ٧/٤۷٤، ٢٧٤٩؛ ومسلم بشرح النووى، ١٥/١۸٩ حديت رقم ٦٢٠۸)
Dari Barra’ bin ‘Azib, dia berkata: Aku melihat
Al-Hasan bin Ali di atas pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah
dia.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarah Nawawi, juz XV, hal 189, hadits no. 6208)
Sedangkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-Hasan dengan lafadz:
اللَّهُمَّ إِنِّى أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ وَأَحِبَّ مَنْ يُحِبُّهُ. (رواه مسلم بشرح النووى ١٥/١۸۸ رقم ٦٢٠٦)
Ya Allah sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang mencintainya. (HR. Muslim dengan Syarah Nawawi, juz XV, hal. 188, hadits no. 6206)
Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ. (رواه البخارى مع الفتح ٧/٤٦٤ رقم ٣۷٥٢)
Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Abu Bakrah berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas mimbar sedangkan Al-Hasan di sampingnya, beliau melihat kepada
manusia sesekali dan kepadanya sesekali yang lain dan bersabda:
ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٤٦٣ رقم ٤۷٤٦)
Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 4746)
Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3
Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz
ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan
terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.”
Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa
yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199).
Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah
untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari
Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali
telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda
ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat
bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah
membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah
-dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika
mereka saling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia?
Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan
menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua
orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan
Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua
kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah
kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatanginya, berbicara
dengannya dan memohon padanya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin
Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap
kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٦٤۷ رقم ٢۷٠٤)
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga
Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan
kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein
menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak
mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang
akan datang….” (lihat AlBidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum
Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan
radhiyallahu ‘anhu sebagai
‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian
mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan
mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib
mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari
dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama-
adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan
keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka,
bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang
bersumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan.
Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali
radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap
amiril mukminin Mu’awiyah,
maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini
adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka.
(Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim hal. 197-198).
Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka
sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau
mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka meyakini kemaksuman
Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam
yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak
ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena Allah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal
karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam
sejarah siapa yang membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh
pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya: “Kami
mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: pertama, bahwa
dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari
Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah.
Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada
salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang
kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari
kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan
Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak
semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang
bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan tidak
didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada persaksian yang
dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan
meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga
Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.
Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya
Beliau dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-tahnik (yakni
mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan
ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan menamakannya Al-Husein.
Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal. 152.
Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal Qawashim: “Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu). Kemudian
Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk
membai’at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa
mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu
Zubair mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah
Al-Husein. Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil
telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang
memanggilnya. “Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau
mengambil peringatan” (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibnu
Abbas kepada Al-Husein -pent.). Tetapi beliau radhiyallahu ‘anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan
menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau
mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan
dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh
ketuaan. Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki
pembela-pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan
dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr
Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein, maka datang kepada kita
musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al-Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232)
Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya ‘Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein‘ adalah
bahwa niat Al-Husein dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan
bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan
tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan darah
Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin
Al-Khatib dalam ta’liq-nya terhadap buku Al-Awashim Minal Qawashim.
Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid,
Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah bin Ziyad untuk membunuhnya.
Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke
front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Mekah.
Namun mereka tetap membunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga beliau
meninggal dengan syahid radhiyallahu ‘anhu. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Al-Husein
terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat
terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad
di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya
dan dari para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi’ (terputus)
dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat
tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat
tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan
besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin
Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah
pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah
‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad,
bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad.
Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang
memerintahkan untuk membunuhnya (Husein) dan memerintahkan untuk
membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun
dibunuh karena itu.
Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang
tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam,
melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah
orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan
kedustaan mereka.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 507-508)
Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah dalam
masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala
Al-Husein dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini
yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan,
paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509)
Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma terbunuh
pada hari Jum’at, pada hari ‘Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61
H dalam usia 54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati Al-Husein dan
mengampuni seluruh dosadosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan
semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab
yang pedih. Amin.
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu’awiyyah
Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nya sebagai berikut:
Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan
masalah Yazid bin Muawiyyah dan tidak pula membicarakannya termasuk
masalah Dien. Hingga terjadilah setelah itu beberapa perkara, sehingga
manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan bisa jadi mereka
menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya. Sedangkan kebanyakan
Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian suatu kaum
dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid
termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat
petunjuk.
Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang berlawanan:
Sisi pertama, mereka yang mengucapkan
bahwa dia kafir zindiq dan bahwasanya dia telah membunuh salah seorang
anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membunuh
shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan
Madinah) untuk menebus dendam keluarganya yang dibunuh dalam keadaan
kafir seperti kakek ibunya ‘Utbah bin Rab’iah, pamannya Al-Walid dan
selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula bahwa dia terkenal dengan
peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.
Pada sisi lain, ada yang meyakini bahwa
dia (Yazid) adalah imam yang adil, mendapatkan petunjuk dan memberi
petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau pembesar shahabat serta
salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian dari mereka meyakini
bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa barangsiapa
tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia dalam
neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin ‘Adi bahwa
dia adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang
berhenti (tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka
karena ucapan mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh
Hasan bertambahlah perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa.
Mereka ghuluw kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan
perkara-perkara yang menyelisihi apa yang ada di atasnya Syaikh ‘Adi
yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena jalan beliau
sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid’ah-bid’ah yang seperti itu,
kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi
mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin ‘Adi sehingga terjadilah
fitnah yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.
Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman.
Karena sesungguhnya Yazid bin Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah
Utsman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu dan tidak pernah bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
tidak pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para ulama. Dia tidak
pula terkenal dalam masalah Dien dan keshalihan. Dia termasuk kalangan
pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan pula zindiq. Dia memegang
kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai oleh sebagian kaum
muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain. Dia memiliki keberanian
dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan kemaksiatan-kemaksiatan
sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.
Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu:
1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu ‘anhu sedangkan
Yazid tidak memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan
kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi taringnya
dengan besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia
memerintahkan untuk melarang Husein dengan melepaskannya dari urusan
walaupun dengan memeranginya. Tetapi para utusannya melebihi dari apa
yang diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan mendorong ‘Ubaidillah
bin Ziyad untuk membunuhnya. Ibnu Ziyad pun menyakitinya dan ketika
Al-Husein radhiyallahu ‘anhu meminta agar dia dibawa menghadap
Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang kafir
bersama tentara Yazid -pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya
dan tetap menawannya. Atas perintah Umar bin Sa’d, maka mereka membunuh
beliau dan sekelompok Ahlul Bait radhiyallahu ‘anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk
musibah besar, karena sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein -dan ‘Utsman
bin ‘Affan sebelumnya- adalah penyebab fitnah terbesar pada umat ini.
Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi
Allah. Ketika keluarga beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi Yazid bin Mua’wiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke Madinah.
Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas
pembunuhan Husein dan berkata: “Aku sebenarnya meridlai ketaatan
penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein.” Tetapi dia tidak menampakkan
pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula
membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan kedustaan-kedustaan atasnya.
2. Ahlil Madinah membatalkan bai’atnya kepada Yazid
dan mereka mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun
mengirimkan tentara kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan
jika mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari mereka akan memasuki
Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka. Setelah tiga hari,
tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka, merampas
harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita yang suci,
kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan mengepungnya.
Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung
Mekkah dan hal ini merupakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya.
Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para
imam-imam umat ini adalah mereka tidak melaknat dan tidak mencintainya.
Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada ayahku:
“Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid.”
Maka beliau rahimahullah menjawab: “Wahai anakku, apakah akan mencintai
Yazid seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?” Aku bertanya:
“Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya?” Beliau menjawab:
“Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang?”
Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan
kepadanya: “Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin Mu’awiyyah?” Dia
berkata: “Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah
melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?”
Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin
adalah raja dari raja-raja (Islam -pent). Mereka tidak mencintainya
seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula
melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang
muslim secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya
dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu: Bahwa seseorang yang
dipanggil dengan Hammar sering minum khamr. Acap kali dia didatangkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dicambuknya. Maka
berkatalah seseorang: “Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia
didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. ” (HR. Bukhari)
Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan laknat terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi pelakunya.
Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya
karena dia seorang muslim yang memegang pemerintahan di zaman para
shahabat dan dibai’at oleh mereka. Serta mereka berkata: “Tidak
benar apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki
kebaikan-kebaikan, atau dia melakukannya dengan ijtihad.”
Pendapat yang benar adalah apa yang
dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa mereka tidak
mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di
samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah
masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau
dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَأَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِى يَغْزُوْنَ مَدِيْنَةَ قَيْصَرَ مَغْفُوْرٌ لَهُمْ. (رواه البخارى)
Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari)
Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya.
Catatan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah
itu dengan ucapannya: “Kadang-kadang sering tertukar antara Yazid bin
Mu’ awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal sesungguhnya
Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat, bahkan orang-orang
pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu Sufyan bin
Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang pemimpin Syam
yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika
pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berjalan bersamanya
ketika mengantarkannya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka
berkatalah Yazid bin Abu Sufyan: “Wahai khalifah Rasulullah, naiklah!
(ke atas kendaraan) atau aku yang akan turun.” Maka berkatalah Abu
Bakar: “Aku tidak akan naik dan engkau jangan turun, sesungguhnya aku
mengharapkan hisab dengan langkah-langkahku ini di jalan Allah. Ketika
beliau wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu Mu’awiyah untuk menggantikan kedudukannya.
Kemudian Mu’awiyah mempunyai anak yang bernama
Yazid di zaman pemerintahan ‘Utsman ibnu ‘Affan dan dia tetap di Syam
sampai terjadi peristiwa yang terjadi.
Yang wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan
berpaling dari membicarakan Yazid bin Mu’awiyah serta bencana yang
menimpa kaum muslimin karenanya dan sesungguhnya yang demikian merupakan
bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah. Karena dengan sebab
itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin Mu`awiyah termasuk
kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan tokoh-tokoh orang
shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah kesalahan
yang nyata.” (Diambil dari Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)
Bid’ah-bid’ah yang Berhubungan dengan Terbunuhnya Al-Husein
Kemudian muncullah bid’ah-bid’ah yang banyak yang
diadakan oleh kebanyakan orang-orang terakhir berkenaan dengan perisiwa
terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya dan lain-lain. Mulailah
mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada hari terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari ‘Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri, mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah (para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan ahlul bait serta kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Husein radhiyallahu ‘anhu telah dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan mati syahid pada hari ‘Asyura dan
Allah telah menghinakan pembunuhnya serta orang yang mendukungnya
atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang
sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya
adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah
dibesarkan pada masa kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah,
jihad, dan kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana
apa yang telah didapati oleh ahlul bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya.
Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyari’atkan untuk mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika musibah dalam ucapannya:
…وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
…. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orangyang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka
itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 155-157)
Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan menyeru
dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana
diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ، وَشَقَّ الْجُيُوْبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ. (رواه البخارى ومسلم)
Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata: “Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ
الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ فِى اْلأَحْسَابِ
وَالطَّعْنُ فِى اْلأَنْسَابِ وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُجُوْمِ
وَالنِّيَاحَةُ. (رواه مسلم)
Empat perkara yang terdapat pada umatku dari
perkara perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga
dengan kedudukan, mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan
bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَإِنَّ النَّائِحَةَ إِذَا لَمْ
تَتُبْ قَبْلَ الْمَوْتِ جَائَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهَا سِرْبَالٌ
مِنْ قَطِرَانِ، وَدَرْعٌ مِنْ لَهَبِ النَّارِ. (صحيح رواه أحمد والطبرانى والحاكم)
Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak
bertaubat sebelum matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan
atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-macam.
Demikianlah keadaan orang yang meratapi
mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek bajunya dan
lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu
kezaliman terhadap orang-orang mukmin (para shahabat), melaknat mereka,
mencela mereka, serta sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul bid’ah dalam kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah lebih mengetahuinya.
Maraji’:
Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.