(PPMM) KEPEL-AMPEL-WULUHAN-JEMBER-JAWATIMUR 8-JANUARI-2013
(JTM) JAM'IYYAH TALAMIDZIL MA'AKHID
FORUM BAHSUL MASA'IL KANG SANTRI SE JAWATIMUR
Bismillahirrokhmanirrokhim......
(JTM) JAM'IYYAH TALAMIDZIL MA'AKHID
FORUM BAHSUL MASA'IL KANG SANTRI SE JAWATIMUR
Bismillahirrokhmanirrokhim......
PENDAHULUAN
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok,
juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu
masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
Dalam makalah ini tidak akan membahas keseluruhan kaidah tersebut, akan tetapi hanya akan membahas enam kaidah saja, diantaranya:
- الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
- الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
- الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
- اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز (Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)
- الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن (Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Yang Terdekat)
- اذا تعذر الاصل يصار الى البدل ( Apabila Sukar Menggunakan Hukum Asal Maka Bisa Menjadikan Penggantinya Sebagai Hukum)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)A. Pengertian
kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam relasi sosial maupun indifidualnya adalah keterlepasannya dari tanggung jawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak indifidu dengan hak indifidu lainnya. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa, pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai dengan kondisi asal.
Kontruksi kaidah ini berasal dari hadis Nabi saw, yang berbunyi:
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه . رواه و مسلم و أبو داود و الترمذى والنسائ و ابن ماجه و أحمد
Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).B. Indikasi Dalil
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a alaih) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, terdakwa adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan” (menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya.
Kewajiban mendatangkan saksi bagi pendakwa dan keharusan bersumpah bagi terdakwa diatas, berlaku selama tidak bertentangan denagn kenyataan yang tampak (al-zhahir). Al-zhahir, dalam persoalan ini bisa dilihat atau difahami dari makna eksplisit maupun implisit. Misalkan ada seorang lelaki bernama Zaini yang mendakwa Aisyah yang telah dewasa, bahwa orang tua Aisyah telah menikahkannya dengan Zaini sebelum meminta izin kepada Aisyah. Pada awalnya, Zaini memang telah meminang Aisyah dan pinangan itu diterima oleh orang tua Aisyah, bahkan orang tuanya langsung mengikatnya melalui tali pernikahan. Ketika orang tua Aisyah menyampaikan perihal pernikahannya itu, wanita pemalu ini hanya diam saja. Padahal diamnya Aisyah bukan karena ia menerima pernikahan sepihak itu, melainkan lebih disebabkan oleh karakter pribadinya yang memang pendiam.
Tak lama berselang, datanglah Zaini yang mendakwa kesediaan Aisyah untuk menjadi istrinya. Padahal hati Aisya sama sekali tidak tertarik pada pemuda ini. Karena itulah, Aisyah akhirnya memberanikan diri untuk menjawab sebagai dakwaan atas dakwaan Zaini. Dia secara tegas mengatakan: “Aku menolaknya”. Nah, dalam kasus ini, yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. Sebab, sekalipuin Zaini berpegang pada hukum asal berupa tiadanya penolakan Aisyah, namun karena ucapan Aisyah sesuai dengan realitas yang tampak (zhahir), yakni, bahwa diri Aisyah belum dimiliki oleh siapapun yang juga merupakan hukum asal, maka yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah.
2. Kaidah الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
Sub-kaidah ini menandaskan, bahwa, pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai tidak memiliki hak apa-apa, sebelum hak tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah:
a.Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal, bahwa ia belum memperoleh keuntungan atau sudah mendapat keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu yang dibenarkan karena dari awal adanya ikatan mudlarabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedang keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).
b.Seseorang makan makanan milik orang lain, ia mengatakan bahwa pemiliknya telah mengizinkan, padahal pemilik makanan itu mengingkarinya. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum yang asal, makan makanan orang lain itu tidak boleh.
c.Usman berhutang kepada Umar dan mengaku telah membayar, sebaliknya Umar mengatakan bahwa, hutang itu belum dilunasi. Dalam hal ini keingkaran Umar yang dibenarkan, sebab menurut asalnya, memang belum adanya pelunasan.
3. Kaidah الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
Definisi
Dalam bahasa Arab dikenal istilah haqiqah dan majaz, yang memiliki kemiripan dengan makna hakiki dan makna kiasan dalam bahasa Indonesia, walaupun tidak sama persis. Haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya tanpa ada pembiasaan. Sedangkan majaz adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna kedua). Tema ini akan sangat penting untuk dikaji karena berkaitan dengan hukum formal, terutama bagi mereka yang tahu betul tentang bahasa Arab, walaupun tema kita ini tidak berkutat pada orang Arab atau yang berbahasa Arab saja.
Dalam bahasa Arab, kata-kata selamanya tidak akan berubah dari makna haqiqah menjadi makna majaz, selama tidak ada hal-hal yang menuntut kearah perubahan itu. Diantara hal-hal yang mengantarkan sebuah kata pada makna majaz-nya adalah apabila hati seseorang akan lebih cepat menangkap makna majaz dibandingkan makna haqiqahnya. Contoh kemudahan penangkapan makna majaz adalah seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan makan pohon. Ucapan seperti ini secara spontan akan dapat dipahami sesuai dengan makna majaz-nya, yakni memakan buah yang dihasilkan oleh pohon itu. Sehingga orang tersebut tidak akan dianggap melanggar sumpah kecuali memakan buahnya.
Sedangkan contoh-contoh pemaknaan kata yang belum membias ke makna majaz (masih dalam lingkup haqiqah) adalah sebagai berikut:
- Orang yang besumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan penjualan apapun. Dengan sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah ketika mewakilkan penjualan dan pembeliannya itu pada orang lain. Menurut Al Suyuthi, hal ini karena ucapan tersebut diberlakukan sesuai dengan makna haqiqah-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang hanya dilakukan oleh diri sendiri.
- Ungkapan seseorang yang akan mewakafkan hartanya pada orang yang hafal Al Quran, maka ucapan ini tidak memasukkan orang yang hafal Al Quran dan pada akhirnya lupa.karena orang yang pernah hafal Al Quran lalu lupa, tidak termasuk dalam “wilayah kata” orang hafal dalam makna hakikinya, kecuali harus merambah pada tinjauan majaz, dalam hal ini adalah majaz mursal.
Hakikat adalah pendapat mu’tabar yang diunggulkan dan merupakan asal, sedangkan majaz merupakan cabang dari hakikat, dan posisi majaz berada pada urutan kedua setelah hakikat. Sebagai contoh makna hakiki pada lafad nikah menurut Abu Hanifah adalah bersetubuh, bukan bermakna majazi yaitu akad, berdasarkan dalil Al Quran yang berbunyi: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. Al Nisa’: 22). namun jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua. kaidah ini mempunyai beberapa contoh antara lain:
- Seseorang bersumpah tidak makan pohon, sumpah tersebut tidak berarti ia makan batang kayunya, tetapi menurut makna majaz (kiasan) adalah makan buahnya.
- Seseorang yang berjanji tidak akan menginjakkan telapak kakinya dirumah itu, maksud dari sumpah itu menurut kebiasaan adalah masuk. Seandainya dia meletakkan telapak kakinya ke dalam rumah itu tanpa memasukkan badannya, maka dia tidak termasuk melanggar sumpah. Dan jika dia masuk kedalam rumah itu dengan berkendaraan meskipun dia tidak meletakkan telapak kakinya, maka dia dianggap melanggar sumpahnya.
(Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Adalah Waktu Yang Terdekat)
kaidah ini menandaskan, bahwa, apabila terjadi perbedaan waktu pada perkara baru, maka harus ditentukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa sekarang, yaitu; mengambil masa yang paling dekat, dan tidak memilih masa yang lalu pada suatu peristiwa yang masih diragukan kapan terjadinya. Karena banyak terjadi perbedaan hukum pada suatu peristiwa disebabkan perbedaan tanggal peristiwa itu, ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat. Mengambil masa yang paling dekat ini disepakati karena dilihat dari dua aspek; pertama, wujudnya peristiwa tersebut, kedua, sangkaan yang kuat peristiwa tersebut baru saja terjadi.
- Seorang yang wudlu dari air sumur, kemudian dia sholat, setelah sholat dia melihat bangkai tikus didalam sumur itumak dia tidak wajib mengqodho sholatnya, kecuali dia yakin bahwa dia wudlu dengan air yang najis.
- Seseorang melihat air mani dikainnya dan dia tidak ingat kapan dia bermimpi. Maka dia harus mengulangi sholatnya yang telah dilakukan sejak bangun dari tidurnya yang terakhir.
- Team dokter berhasil memisahkan bayi kembar siam. Beberapa hari kemudian salah seoprang bayi kembar itu mati, dalam kejadian seperti ini team dokter tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas kematian itu. Karena kemungkinan sekali kematian itu lantaran faktor-faktor lain yang dekat dengan saat kematian.
- Seorang pembeli pesawat TV menggugat penjualnya, lantaran setiba dirumah TV rusak tidak hidup. Gugatan pembeli tidak dapat diterima, karena menurut asalnya pesawat TV itu terjual dalam keadaan baik, dan kemungkinan besar, kerusakan terjadi ketika dalam perjalanan kerumahnya.
A. Dasar-Dasar Kaidah
Kaidah ini mempunyai beberapa dalil diantaranya :
- Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 184.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ
تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin.- Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 196
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى
الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ
عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
apabila kamu Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.- Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 238-239
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ
تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.. Jika kamu dalam
keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah
(shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.- Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ
فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.- Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 43
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ
dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu.- Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.B. Indikasi Dalil
Dalil-dalil yang terkandung dalam kaidah ini memberi pengertian bahwa; suatu hukum yang harus dilaksanakan, namun jika menemui jalan buntu dan tidak mungkin untuk melakukannya atau terhalang oleh perkara lain, maka bisa beralih menggunakan hukum lain sebagai pengganti, karena menjadikan hukum lain sebagai pengganti hanya diperbolehkan ketika hukum asal tidak dapat dilakukan. Sebagaimana contoh dibawah ini:
- Seseorang mengambil barang orang lain, dan ia berniat mengembalikan, namun barang tersebut hilang, maka ia dapat mengembalikan pengganti yang mirip dengan barang yang diambil.
- Seseorang yang menjalani eksekusi karena memotong telinga kanan orang lain, maka telinga kanannya harus dipotong sebagai padanannya, tetapi jika ia tidak mempunyai telinga kanan, hanya telinga kiri, maka pemotongan telinga kiri sudah dianggap cukup.
BAB III
PENUTUP
A. SimpulanDemikianlah, dengan memahami berbagai macam perbedaan yang telah kita paparkan dimuka dapat kami simpulkan:
- Sebenarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kawajiban melakukan dan tidak melakukan sesuatu.
- Sebenarnya pada diri manusia tidak hak apa-apa terhadap terhadap sesamanya, dan seseorang tidak dapat menuduh orang lain kecuali ada indikasi kuat dan jelas.
- Bila suatu ucapan bisa diartikan secara hakiki dan bisa jadi pula diartikan secara majazi, maka arti hakiki yang harus dipegang.
- Jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua
- Ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat.
- Ketika hukum asal tidak bisa difungsikan maka boleh menggunakan hukum pengganti sebagai padanannya.
1. PONPES MIFTAKHUL MUBTADIIEN-KEPEL-AMPEL-WULIHAN-JEMBER JAWATIMUR Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, vol.1, cet. II (Surabaya; Khalista, 2006)
2. Mujib, Abdul , Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, cet. V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001)
3. Bisri, Moch. Adib, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, cet.I (Kudus; Menara Kudus, 1977)
4. Al Burnu, Moch. Sidqi bin Ahmad, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati, vol I (tt, Muassah Al Risalah, 1983)
5. Rizqa, Mustafa Ahmad, Syarh Qawaid Al Fiqhiyyah, vol. I ( Damasqus, Dar Al Qalam, 1996)
6. Al Suyuti, Abi Al Fadl Jalal Al Din Abd Al Rahman, Al Asybah wa Al Nadhair, vol III (Beirut-Libanon; Muassasah Al Kutub Al Tsaqofiyyah, 1999)
7. Hakim, Abdul Hamid, Al Sulam, vol.II (Jakarta; Maktabah Al Sa’diyyah Putra,tt)
[2] Ibid, hal: 162
[3] Moch. Adib Bisri, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, cet.I (Kudus; Menara Kudus, 1977) hal: 10. lihat pula Abdul Mudjib dalam bukunya Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, cet. V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001) hal: 23
[4] Majaz mursal adalah kata kiasan yang antara makna asal dan makna kiasannya ada kaitan bukan kategori serupa. Teliti lebih lanjut dalam Al Syaikh Baha’ Al Din Abi Hamid Ahmad bin Ali bin Abd Al Kafi Al Subuki Arus Al Afrah, Dar Al Kutub Al Arabi Beirut, Libanon. Vol 1. th 2001, II /244. kata hafal Al Quran adalah dalam sudut pandang majaz mursal dapat bermakna orang yang pernah hafal. Dalam tinjauan majaz ini, kata hafal Al Quran adalah kata yang penyebutannya sesuai dengan ungkapan yang dapat menjangkau keadaan yang terjadi pada masa lampau (pernah hafal).
[5] Moch. Sidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati, vol I (tt, Muassah Al Risalah, 1983) hal: 190.
[6] Mustafa Ahmad Rizqa, Syarh Qawaid Al Fiqhiyyah, vol. I ( Damasqus, Dar Al Qalam, 1996) hal: 79
[7] Loc.cit. Moch. Sidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati. hal: 106.
[8] Abi Al Fadl Jalal Al Din Abd Al Rahman Al Suyuti, Al Asybah wa Al Nadhair, vol III (Beirut-Libanon; Muassasah Al Kutub Al Tsaqofiyyah, 1999) hal: 82. Lihat juga pada Abdul Mudjib dalam bukunya Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, vol V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001) hal: 24
[9] Op.cit. Moch. Sidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati, hal: 111
[10] Ibid, hal: 112
PENGERTIAN QAWAID FIQHIYYAH DAN QAWAID USHULIYYAH
Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Pendahuluan
2. : Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
3. : Pengertian Qaidah Ushuliyyah
4. : Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
5. : Kegunaan Kaidah Fikih
6. : Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
7. : Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
8. : Daftar Pustaka
2. Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
|
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
|
|||
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
3. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
4. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a. Kaidah :
”Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang”
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
5. Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
b. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih, dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum islam (rûh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
f. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasaan ilmu dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
6. Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
a. Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
b. Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
c. Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
d. Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
e. Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
7. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
a) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
b) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
c) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
d) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis, seperti :
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
8. Daftar Pustaka
b. Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 2007)
b. Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2006).
c. Abdul Salam, Zarkasji, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Lembaga Studi Islam, Yogyakarta. 1994).
d. Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pengantar Hukum.
[2] Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), cet. I
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
[4] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
[5] Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm. 11
[6] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet.
[7] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5
WALLAHU ALAM BI SHOWAB... semoga bermanfa'at...aamien.... (Al-faqier Al-khaqier Al-dho'if) zainal mustofa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar