Pebandingan Hukum Syara’
(Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i)
1. Pengertian hukum syara’(hukum taklifi dan wadh’i)
Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan “syara”. Hukum secara etimologi(bahasa) berarti “memutuskan, menetapkan, dan
menyelesaikan”. Secara istilah hukum merupakan ‘seperangkat peraturan
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu
negara atau sekelompok masyarakat,berlaku dan bersifat mengikat untuk
seluruh anggota masyarakatnya’.
Kata syara’ secara etimologi berarti “jalan,jalan yang bisa dilalui
air”. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT,
dengan cara beribadah kepada Nya.
Bila kata hukum di padukan dengan kata syara’ yaitu “hukum
Syara’” akan berarti ‘seperangkat peraturan ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama islam”.
Dalam ilmu ushul fiqh, hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu:
A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf(balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110)
Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah
SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya,
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu:
a. Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
1. Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
a. Wajib muthlaq
Yaitu
kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah
bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’
b. Wajib muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
v Wajib muwassa’
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu. contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
v Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
v Wajib dzu syahnaini
Yaitu
kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya
mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
2. Pembagian wajib dari segi pelaksana.
v Wajib ‘ain
v Wajib kifayah
3. Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
v Wajib muhaddad
Kewajiban yang ditentukan kadarnya. contoh : zakat
v Wajib ghairu muhaddad
Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
4. Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.
v Wajib mu’ayyan.
Wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
v Wajib mukhayyar.
Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan
arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan
yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di
sisi Allah Swt. Dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari
Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunat)”.
Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
Mandub(sunah) dibagi menjadi;
1. Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
v Sunah muakkadah
Yaitu
perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang
menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
v Sunah ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.
2. Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
v Sunah hadyu
Yaitu
perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah
yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat.
Contohnya shalat hari raya.
v Sunah zaidah
Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
v Sunah nafal
Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.[3]
c. Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti,
yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf
maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan
maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”.
Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil
yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan
oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
d. Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti.
Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila
ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan membuat perkara
baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada
maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan
yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
e. Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum
wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya
sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:
1. Sebab
Menurut
istilah syara’sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan
sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu
menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi
asas terbentuknya sesuatu hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah hukum
dan sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan.
Sebagai contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya
berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT: Oleh
itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau
mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…(al-Baqarah: 185)
Demikian juga Allah SWT mengharuskan untuk mengqasarkan shalat sekiranya berada dalam keadaan musafir.
Firman Allah SWT: Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa mengqasarkan (memendekkan) sembahyang…(an-Nisa':
101) Melalui dua contoh di atas, kita dapat memahami bahawa melihat
anak bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa, manakala musafir menjadi
sebab keharusan shalat secara qasar.
2. Syarat
Hukum
wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan
syar’i (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak
sah pelaksanaan suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat
tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika
ketiadaannya. Namun, tidak semestinya wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu.
Misalnya:
· Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat.
· Adanya perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat.
Pembagian syarat ada tiga macam, yaitu;
v Syarat ‘aqli
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya pahammenjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
v Syarat ‘adli
artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
v Syarat syar’i
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i
menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu,
mani juga disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum
itu tidak dapat dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab
terjadinya hukum taklifi sudah ada, ia masih lagi belum berlaku
sekiranya ada mani'.
Sebagai
contoh, dalam hukum faraid, pertalian darah adalah menjadi sebab yang
membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga telah wujud disebabkan salah
seorang daripada keduanya telah meninggal dunia.
Namun begitu, sekiranya ada mani', maka pewarisan harta tidak boleh berlaku.
Sebagai contoh, mani' yang
menghalang pewarisan harta ialah perbezaan agama berdasarkan hadis
Rasulullah SAW: "Orang kafir tidak mewarisi pusaka orang Islam dan orang
Islam tidak mewarisi pusaka orang kafir (riwayat Ahmad)."
Pusaka
juga terhalang sekiranya salah seorang adalah pembunuh kepada pihak
kedua. Ini berasaskan sabda Rasulullah SAW: "Pembunuh tidak berhak
mendapat harta warisan (riwayat An- Nasa'i dan Al-Baihaqi)."
Demikian juga, hukuman qisas juga terhalang sekiranya si pembunuh adalah bapa kepada mangsa yang dibunuh.
4. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’i yaitu:
1. Shah , yaitu akibat hukum
dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah
terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah terhindar dari
semua mani’.
Misalnya;
Shalat
dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan
oleh orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan
haidh (berhadast)
2. Bathal
, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab
atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’ yang
menghalanginya.
Misalnya:
Shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya, akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.
5. Azimah dan Rukhsah
Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas
(Al-Qur’an dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: Kewajiban salat lima
waktu dan puasa Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging
babi.
Sedangkan
Rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai
keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan-keadaan khusus.
Sebagai contohDiperbolehkannya memakan bangkai bagi seorang mukallaf dalam keadaan darurat, meskipun pada dasarnya bangkai haram hukumnya.
SUMBER TULISAN:
[1] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset. hal 333
[2] Amir syarifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:Fajar interpratama offset. Hal 356
[3] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset hal 363.
Wallahu a'lam bi showab....semoga bermanfa'at.... (Al-faqier Al-khaqier) Zainal mustofa
Casinos that accept bitcoins on the platform.
BalasHapusCasinos that accept bitcoins, 토토 라이브스코어 such 강원 랜드 후기 as Jackpotjoy 다파벳 Casino, This is the first of many casinos with the virtual currency 토토 라이브스코어 of fiat currency. However, 토토 사이트 목록